tirto.id - Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengungkap alasan perpanjangan relaksasi restrukturisasi kredit perbankan hingga 31 Maret 2023, dari semula hanya sampai 31 Maret 2022. Ketua OJK Wimboh Santoso sebut strategi itu untuk mempercepat ketahanan ekonomi di masa pemulihan ekonomi usai terimbas pandemi.
"Kami terus mencari cara lain agar kita bisa bertahan dalam kondisi apa pun bahkan sudah mulai berkembang mempercepat proses recovery. Ini in line dengan stimulus yang kita harapkan pada 2023 sudah normal kembali semuanya dan untuk itu ini perpanjangan menjadi 2023 sangat relevan” kata dia dalam diskusi virtual, Rabu (8/9/2021).
Wimboh menjelaskan, perpanjangan relaksasi restrukturisasi kredit ini juga memberikan waktu kepada perbankan untuk membentuk cadangan yang cukup agar tidak terjadi cliff effect. Adapun perpanjangan relaksasi dari restrukturisasi kredit juga dilakukan untuk memberikan kepastian baik bagi perbankan maupun pelaku usaha dalam menyusun rencana bisnis 2022 sehingga dapat lebih tepat dalam mengatur kembali cashflow.
OJK sebelumnya memutuskan memperpanjang masa relaksasi restrukturisasi kredit perbankan ini selama satu tahun. Hingga saat ini perbankan terus melanjutkan kinerja membaik, seperti pertumbuhan kredit yang positif mulai Juni dan angka loan at risk (LaR) yang menunjukkan tren menurun, tapi masih relatif tinggi. Sedangkan angka NPL sedikit mengalami peningkatan dari 3,06 persen pada Desember 2020, menjadi 3,35 persen pada Juli 2021.
Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan Heru Kristiyana mengatakan, perpanjangan relaksasi restrukturisasi kredit merupakan bagian dari kebijakan countercyclical dan menjadi salah satu faktor pendorong yang diperlukan untuk menopang kinerja debitur, perbankan,dan perekonomian secara umum.
“Perpanjangan restrukturisasi hingga 2023 diperlukan dengan tetap menerapkan manajemen risiko, mengingat adanya perkembangan varian delta dan pembatasan mobilitas, sehingga butuh waktu yang lebih bagi perbankan untuk membentuk Cadangan Kerugian Penurunan Nilai (CKPN) dan bagi debitur untuk menata usahanya agar dapat menghindari gejolak ketika stimulus berakhir,” kata Heru dalam keterangan resmi, Kamis (2/9/2021).
Penerapan manajemen risiko dalam relaksasi restrukturisasi tetap menjadi pedoman dalam pelaksanaan kebijakan ini yang terdiri dari:
1. Kriteria Debitur restrukturisasi yang layak mendapatkan perpanjangan. Penerapan Self assessment terhadap debitur yang dinilai mampu terus bertahan, masih memiliki prospek usaha, dan oleh karena itu layak mendapatkan perpanjangan.
2. Kecukupan Pembentukan CKPN. Terhadap debitur-debitur yang dinilai tidak lagi mampu bertahan setelah diberikan restrukturisasi pada tahap pertama,bank diminta mulai membentuk CKPN.
3. Prasyarat Pembagian Deviden. Dalam hal bank akan melakukan pembagian dividen, agar mempertimbangkan ketahanan modal atas tambahan CKPN yang harus dibentuk untuk mengantisipasi potensi penurunan kualitas kredit restrukturisasi
4. Stress testing dampak restrukturisasi terhadap permodalan dan likuiditas Bank Ketentuan lengkap mengenai kebijakan perpanjangan relaksasi restrukturisasi kredit ini akan dimuat dalam POJK tentang Perubahan Kedua atas POJK Stimulus COVID-19 yang akan segera diterbitkan.
Dalam Rapat Dewan Komisioner OJK yang dilakukan Kamis (2/9/2021) memutuskan untuk mengeluarkan POJK tentang Perubahan Kedua atas POJK Kebijakan Stimulus BPR/BPRS.
POJK perpanjangan relaksasi restrukturisasi kredit akan mengatur penetapan kualitas aset dan restrukturisasi kredit atau pembiayaan yang mendukung stimulus pertumbuhan ekonomi terhadap Bank Umum Konvensional (BUK), Bank Umum Syariah (BUS), atau Unit Usaha Syariah (UUS) serta debitur yang terkena dampak penyebaran vid 19 termasuk debitur usaha mikro, kecil, dan menengah berlaku sampai dengan 31 Maret 2023.
Sementara mengenai ketentuan dana pendidikan perbankan,kualitas Agunan Yang Diambil Alih (AYDA) serta Liquidity Coverage Ratio (LCR) dan Net Stable Funding Ratio (NSFR) serta Capital Conservation Buffer (CCB) tetap hanya akan berlaku sampai 31 Maret 2022.
OJK pada Maret 2020 telah mengeluarkan kebijakan quick response atas dampak penyebaran COVID-19 dengan menerbitkan POJK 11/POJK.03/2020 tentang Stimulus Perekonomian Nasional Sebagai Kebijakan Countercyclical Dampak Penyebaran COVID-19 yang berlaku sampai dengan 31 Maret 2021.
Kemudian, dengan mempertimbangkan kondisi pandemi menjelang akhir 2020 yang belum menunjukkan perbaikan, OJK melalui POJK No. 48/POJK.03/2020 tentang Perubahan atas POJK Stimulus COVID-19 melakukan perpanjangan kebijakan relaksasi dengan menekankan kewajiban penerapan manajemen risiko dan prinsip kehati-hatian dalam penerapan stimulus, serta menambahkan kebijakan terkait dengan likuiditas dan permodalan bank hingga 31 Maret 2022.
Preposisi Juli 2021, outstanding restrukturisasi COVID-19 sebesar Rp 778,9 triliun dengan jumlah debitur mencapai 5 juta dan 71,53% di antaranya adalah debitur UMKM. Outstanding Kredit restrukturisasi COVID-19 ini menunjukkan penurunan bila dibandingkan dengan posisi di awal penerapan stimulus.
Kebijakan relaksasi restrukturisasi kredit ini juga diharapkan memberikan kepastian bagi perbankan maupun pelaku usaha dalam menyusun rencana bisnis 2022, khususnya mengenai skema penanganan debitur restrukturisasi dan skema pencadangan.
Penulis: Selfie Miftahul Jannah
Editor: Abdul Aziz