tirto.id - Greenpeace Indonesia menilai keberadaan Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja, sebelumnya Cipta Lapangan Kerja (Cilaka) akan memperparah krisis iklim. Sejumlah kebijakan dianggap kurang berpihak pada pelestarian hutan maupun jauh dari komitmen mengurangi energi fosil.
“Di saat masyarakat dunia sedang bergulat melawan bencana banjir dan kekeringan akibat krisis iklim, Indonesia justru semakin mengedepankan dan memberi karpet merah untuk industri kotor demi menggenjot investasi yang jadi penyebab krisis iklim,” kata Juru Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia Satrio Swandiko Prilianto dalam keterangan tertulis di laman greenpeace.org.
Salah satu poin yang dianggap memperparah krisis iklim salah satunya terkait penghapusan pasal yang mengandung prinsip tanggung jawab mutlak atau strict liability bagi korporasi ketika terjadi kebakaran hutan.
Hal itu terlihat jelas dari hilangnya ketentuan “tanpa perlu pembuktian unsur kesalahan” dalam Pasal 88 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH).
Lalu terhadap Pasal 49 UU No 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, juga diubah meniadakan kewajiban tanggung jawab terhadap kebakaran di areal konsesi.
Lainnya, Greenpeace menyoroti upaya pemerintah yang mengerdilkan peran analisis mengenai dampak lingkungan (Amdal) dan menghapus Izin Lingkungan.
Dalam UU No 32 tahun 2009 Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH) terdapat Pasal 35 yang mewajibkan pengusaha mengantongi izin lingkungan di samping Amdal dan Upaya Pengelolaan Lingkungan Hidup (UKL) dan Upaya Pemantauan Lingkungan Hidup (UPL).
Namun, dalam RUU Cilaka Pasal 35, 36, dan 38 tentang izin lingkungan dihapus.
Lalu ketentuan Amdal dalam Pasal 26 UU No. 32 Tahun 2009 juga diubah menjadi lebih umum yaitu cukup melibatkan masyarakat yang terkena dampak dan selebihnya diatur dalam Peraturan Pemerintah. Ketentuan komisi Amdal di daerah yang menilai dokumen itu pun dalam Pasal 29-31 ikut dihapus.
Terakhir, Greenpeace menyoroti karpet merah yang diberikan pemerintah kepada pengusaha batu bara. RUU Cilaka misalnya mengubah Pasal 83 UU No. 4 Tahun 2009 tentang Minerba agar luas wilayah izin usaha penambahan khusus (WIUPK) bisa naik dari 15 ribu hektare menjadi 25 ribu hektare.
Ada juga perubahan pada Pasal 47 ayat (2) dalam RUU Cilaka yang membuat izin bisa dipegang hingga 40 tahun.
Di sisi lain keinginan pemerintah menolkan royalti batu bara dalam Pasal 128A RUU Cilaka juga dinilai bermasalah. Meski alasannya untuk mendorong perusahaan yang mau hilirisasi, Greenpeace menilai pelonggaran itu akan melanggengkan batu bara sebagai energi kotor.
Belum lagi klaim gasifikasi batu bara juga bakal memuluskan klaim semu kalau komoditas itu adalah golongan energi baru terbarukan.
“Batu bara telah meninggalkan jejak kerusakan lingkungan dari hulu ke hilir. Ironis sekali, Omnibus Law justru mendorong hilirisasi batubara dengan memberi semua keistimewaan yang tidak didapatkan oleh energi terbarukan yang sudah jelas bersih,” ucap Satrio.
Penulis: Vincent Fabian Thomas
Editor: Abdul Aziz