tirto.id - Pada 18 Juli silam, akun Youtube America’s Got Talent kembali memublikasikan video penampilan Demian Aditya sebagai seorang escape artist. Kali ini, ia mencoba menantang maut dengan membiarkan diri terikat rantai yang terkunci dan terborgol, dimasukkan ke dalam peti yang diletakkan di kedalaman sekitar 3 meter dari permukaan tanah. Dalam waktu sekitar 1,5 menit, bersamaan dengan beberapa kru menimbun tanah ke atasnya, ia mesti meloloskan diri. Dengan harap-harap cemas, para juri, pembawa acara, para peserta lain, penonton, serta istri Demian menyaksikan aksi membahayakan ini.
Di tengah aksi, kamera yang memantau aksi Demian sempat mengalami gangguan sehingga khalayak yang menyaksikan kian tegang menantinya. Istri Demian pun histeris melihat sang escape artist tak kunjung keluar dari peti yang terus ditimbun tanah. Tak dinyana, di tengah situasi tegang set pertunjukan Demian, laki-laki itu muncul di panggung dengan kostum serupa para kru dan bertopi kupluk. Kontan khalayak menjadi lega dan tak henti bertepuk tangan untuk keberhasilan Demian.
Sebelum memulai aksinya, di panggung yang sama, Demian berkata bahwa penampil lain yang disaksikannya di internet pernah melakukan hal serupa, tetapi gagal dan meninggal. Howie Mandel, salah satu juri acara tersebut, sempat bertanya, “Kamu melihat orang lain ‘membunuh dirinya’ dan terdorong untuk melakukan hal yang sama?”
“Saya ingin menjadi orang yang berhasil melakukan aksi ini,” jawab Demian dengan tenang dalam video yang telah ditonton lebih dari 6 juta kali itu.
Terlepas apakah pertunjukan ini viral berkat penguasaan trik Demian atau disempurnakan oleh dramatisasi orang-orang yang terlibat dalam video, ada satu hal yang menarik disoroti dari aksi-aksi semacam ini. Demian tentunya bukan orang pertama dan satu-satunya yang berani membuat aksi menantang maut. Segelintir orang pun memilih melakukan hal-hal berisiko tinggi, bahkan yang mengancam nyawa. Tak semata-mata untuk keperluan komersial atau mencari sensasi, sebagian orang melakukan hal ini untuk sejumlah alasan lainnya.
Apa saja yang memotivasi mereka beraksi seperti ini?
Dilansir situs Popular Social Science, meskipun sesungguhnya manusia memiliki mekanisme natural untuk menghindari bahaya, otak manusia juga dilengkapi dengan mekanisme "ganjaran" yang teraktivasi saat menghadapi pengalaman ekstrem. Ketika seseorang melakukan aksi ekstrem, otak akan melepaskan hormon dopamin yang menciptakan perasaan optimis dan bahagia. Perasaan semacam inilah yang menjadi ganjaran atas aksi ekstrem yang telah dilakukan seseorang.
Tingginya level dopamin yang diproduksi saat melakukan hal ekstrem lambat laun menimbulkan perasaan nyaman yang, tak jarang, membuat seseorang merasa ketagihan. Selain karena kecanduan, para penggemar aksi ekstrem juga kerap menyatakan bahwa tindakan-tindakan yang mereka pilih mengubah hidupnya. Dalam jangka panjang, bukan tidak mungkin pengalaman-pengalaman ini mendorong perkembangan diri dan menimbulkan rasa menghargai hidup.
Dengan mengalami hal-hal membahayakan atau menakutkan, sebagian orang akan merasakan suatu kepuasan tersendiri. “Aku berhasil menaklukkannya” atau “Aku sukses melewatinya” adalah pikiran-pikiran yang lumrah muncul di kepala orang-orang penggemar hal ekstrem. Inilah yang lantas mendongkrak kepercayaan diri sehingga mereka pun tertarik untuk terus melakukan hal sejenis, bahkan yang levelnya lebih tinggi lagi. Tidak hanya itu, melakukan aktivitas yang membahayakan nyawa juga membuat orang-orang mengenali atau mengetes batas kemampuan diri sendiri.
Dalam kasus para pendaki gunung, misalnya. Bukan perkara mudah untuk dapat mencapai puncak; diperlukan latihan khusus, perencanaan, kerja sama—bila mendaki dalam kelompok— dan kedisiplinan tinggi untuk melakukannya. Kualitas-kualitas macam ini bisa jadi merupakan bagian dari kehidupan personal maupun profesional yang dijalani seseorang sehari-hari.
Dikutip dari New York Post, orang-orang yang memilih mendaki gunung dalam kelompok akan "dipaksa" untuk bekerja sama untuk mencapai satu tujuan. Ketika dipaksa bekerja sama inilah mereka mengetahui batas-batas diri mereka dan memutuskan untuk melanjutkan aksi penuh tantangan dan risiko besar atau tidak. Saat melakukan aksi ekstrem dan menghadapi tekanan bersama-sama, potensi terciptanya ikatan antara orang-orang yang terlibat pun akan muncul.
Motivasi mendapat "ganjaran" dari melakukan aksi ekstrem juga didapati dari orang-orang yang melakukan selfie di tempat-tempat berbahaya. Namun secara khusus, ganjaran yang diincar oleh orang-orang ini adalah pengakuan dari sekitarnya atau berupa likes di media sosial. Diwartakan The Conversation, orang-orang ini ingin hidup atau pengalamannya dipandang luar biasa sehingga tak segan-segan mengambil risiko tinggi ketika mengambil gambar diri.
Sementara dalam kasus khusus seperti situasi perang, motivasi melakukan aksi mengancam jiwa berbeda lagi. Contohnya pada 1992, saat pengepungan terjadi di Sarajevo. Ketika itu, tempat-tempat pertunjukan di sana terpaksa ditutup lantaran kondisi yang tak kondusif. Lantas, sekelompok profesional dan pencinta teater membuat keputusan berani dengan menciptakan SARTR (SArajevski Ratni TeataR) alias Sarajevo War Theater di tengah situasi perang.
Meskipun tahu risiko kematian terus mengintai mereka sepanjang pengepungan di Sarajevo, sebagian orang tetap nekat pergi menonton pertunjukan SARTR, demikian ditulis Silvija Jestrovic (2012) dalam buku Performance, Space, Utopia: Cities of War, Cities of Exile. Mengapa?
Dalam kondisi penuh ketegangan, seni menjadi kebutuhan manusia untuk kabur dari realitas. Dengan menonton pertunjukan, mereka dapat mengisi kebutuhan spiritual, sama halnya dengan makan dan minum untuk memuaskan kebutuhan fisik.
Tak perlu buru-buru mengernyitkan dahi saat mendengar orang sekitar menyatakan ingin menjajal hal-hal ekstrem. Dari beberapa kasus ini dapat dipahami bahwa tidak melulu mereka melakukannya atas dasar narsisisme atau mengejar atensi publik. Bisa jadi motivasi pengembangan diri yang memicu menggandrungi hal ekstrem berupa aksi-aksi menantang maut.
Penulis: Patresia Kirnandita
Editor: Zen RS