tirto.id - Rasio utang pemerintah terhadap produk domestik bruto (PDB) diperkirakan mencapai 43,76-44,28 persen pada 2022. Angka ini terungkap dalam rancangan postur makro fiskal 2022 sebagai konsekuensi defisit yang cukup tinggi di kisaran 4,51-4,85 persen PDB.
Kenaikan rasio utang ini melanjutkan peningkatan yang sudah terjadi sejak periode pertama Presiden Joko Widodo dan semakin pesat akibat pandemi COVID-19. Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mencatat rasio utang 2015 hanya menyentuh 27,45 persen PDB, lalu ditutup di 30,18 persen PDB per 2019 yang menjadi akhir periode pertama Jokowi.
Rasio utang naik drastis menjadi 37,6 persen PDB per 2020 dan diperkirakan naik 3 persen menjadi 41,09 persen PDB pada 2021. Pada 2022, kenaikannya diperkirakan 3 persen lagi menjadi maksimal 44,28 persen PDB.
Bila tren kenaikan 3 persen ini terus berlanjut sampai 2024, bukan tak mungkin rasio utang RI menyentuh 50 persen PDB. Apabila itu terjadi, maka Jokowi akan menutup periode ke-2 pemerintahannya dengan rasio utang yang hampir menyentuh posisi krisis 1998 yaitu 55,2 persen PDB.
Meski terus naik, rasio utang ini dipandang masih berada dalam batas “aman” oleh pemerintah. Pasalnya, angka tersebut masih di bawah batas aman yang disyaratkan Undang-Undang Keuangan Negara yaitu 60 persen PDB.
Rasio Indonesia juga jauh di bawah negara lainnya. Proyeksi Utang Publik IMF 2020 mencatat rasio utang Singapura akan mencapai 131,2 persen PDB, Jepang 266,2 persen PDB, Perancis 118,7 persen PDB, dan Italia 161,8 persen PDB.
Tak heran bila Menteri Keuangan Sri Mulyani percaya diri Indonesia masih jauh lebih baik. Meski demikian, Sri Mulyani memastikan pemerintah tak akan terlena. Pengelolaan utang akan dilakukan berhati-hati sekaligus menjaga APBN tetap sehat.
“Pembiayaan tahun 2022 akan terus dijaga secara prudent di dalam kondisi global yang terus dinamis, termasuk tren dari suku bunga global serta pemulihan ekonomi global,” ucap Sri Mulyani dalam Rapat Koordinasi Pembangunan Pusat 2021 secara virtual, Kamis (29/4/2021).
Kenaikan Rasio Utang Perlu Diantisipasi
Kenaikan rasio utang terhadap PDB ini dinilai mengkhawatirkan oleh Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Abdul Manap Pulungan. “Menurut saya, kenaikan [rasio utang] ini harus diantisipasi,” ucap Manap saat dihubungi repoter Tirto, Jumat (30/4/2021) pekan lalu.
Manap mengungkapkan salah satu faktornya yakni tren penerimaan pajak yang menurun dan memengaruhi kemampuan bayar pemerintah, bahkan sebelum pagebluk. Kemenkeu mencatat rasio perpajakan RI pada 2015 sempat mencapai 10,76 persen PDB, lalu turun ke 9,76 persen PDB per 2019.
Negara lain yang rasio utangnya jauh lebih besar. Per 2019, OECD mencatat rasio pajak Jepang masih mencapai 32 persen PDB, Italia 42,4 persen PDB, dan Perancis 45,4 persen PDB. Sementara per 2019 Bank Dunia mencatat rasio pajak Singapura mampu mencapai 13,32 persen PDB.
Kondisi makin mengkhawatirkan saat rasio pajak RI pada 2020 anjlok signifikan ke level 7,9 persen PDB. Pemerintah pun menargetkan rasio pajak kembali naik menjadi 8,18 persen PDB pada 2021 dan 8,37-8,42 persen PDB pada 2022.
Manap meragukan target tersebut lantaran pemerintah kerap gagal mencapai target penerimaan. Pada 2018, ada defisit atau shortfall dari target penerimaan pajak senilai Rp110 triliun dan naik menjadi Rp245,5 triliun per 2019. Pada 2020 shortfall hanya Rp128,8 triliun, turun seiring pemangkasan target penerimaan pajak sesuai Perpres Nomor 72 Tahun 2020.
Manap melanjutkan, faktor lain yang juga tak kalah penting adalah bunga utang RI yang notabene menjadi salah satu termahal di dunia. World Government Bonds mencatat imbal hasil utang 10 tahun Indonesia berkisar 6,57 persen. Angka itu lebih tinggi dari negara-negara lain, yakni Singapura 1,61 persen, Jepang 0,087 persen, Italia 0,872 persen, dan Perancis 0,158 persen.
Tingginya bunga utang ini menambah runyam kondisi kemampuan bayar Indonesia. Saat penerimaan terus turun, utang yang diterbitkan juga tergolong mahal. Ke depannya, kata Manap, beban bunga utang bakal cukup berat sehingga berpotensi menggerogoti penerimaan pajak yang seharusnya bisa membiayai APBN.
Sementara itu, kepemilikan asing dalam utang RI sudah berkurang dari 30,17 persen per Maret 2020 menjadi 25 persen per Januari 2021. Hal ini menjadi sinyal positif karena semakin kecil kepemilikan asing, risiko utang RI semakin berkurang sehingga relatif tidak terlalu terdampak saat pasar keuangan dunia bergejolak.
Kendalikan Belanja dan Genjot Penerimaan
Manap menyarankan agar pemerintah mengecek ulang prioritas belanja, terlebih saat pandemi belum berakhir. Belanja yang belum prioritas seperti infrastruktur dan proyek pemerintah bisa ditunda ditunda dahulu.
Tanpa langkah itu, Manap ragu bila kenaikan rasio utang bisa ditekan apalagi surut. Bisa jadi rasio utang di 50 persen PDB per 2024 bukan lagi hal mustahil.
“Fokus saja dengan relevan yang ada di depan dulu. Pikirkan untuk stop dulu belanja-belanja yang tidak penting,” ucap Manap.
Pendapat senada juga disampaikan Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Mohammad Faisal. Pengendalian belanja menjadi penting lantaran pemerintah memiliki komitmen untuk mengembalikan defisit di bawah 3 persen per 2023. Menurut Faisal, apabila belanja pemerintah masih seperti biasa, maka ke depannya akan sulit mengontrol kenaikan utang.
Alternatifnya, menurut Faisal, pemerintah bisa menggali potensi pajak yang ada di dalam negeri. Ia mengatakan khususnya mereka yang fulusnya terus bertambah meski dilanda pandemi. Ia bilang pemerintah bisa memulai dari golongan atas atau orang kaya.
“Pajak ke yang kaya itu harus dikejar,” ucap Faisal kepada reporter Tirto, Jumat (30/4/2021).
Penulis: Vincent Fabian Thomas & Selfie Miftahul Jannah
Editor: Gilang Ramadhan