Menuju konten utama

Aktivis: DKN Bentukan Jokowi Jangan Jadi Lembaga Pemberi Impunitas

Undang-undang mengamanatkan kejahatan HAM mesti diselesaikan melalui mekanisme hukum, bukan kekeluargaan.

Aktivis: DKN Bentukan Jokowi Jangan Jadi Lembaga Pemberi Impunitas
Penyintas bersama peserta Aksi Kamisan melakukan Aksi Diam di seberang Istana Negara, Jakarta, Kamis (31/5/2018). Kamisan kali ini merupakan peringatan Aksi Kamisan yang sudah berjalan sepuluh tahun dan untuk pertama kalinya penyintas bertemu Presiden Jokowi di Istana Negara. tirto.id/Arimacs Wilander

tirto.id - Langkah Presiden Joko Widodo (Jokowi) membentuk Dewan Kerukunan Nasional yang salah satu tugasnya menyelesaikan kejahatan HAM masa lalu melalui pendekatan non-yudisial menuai kecaman para aktivis. Pemerintah dinilai melanggar peraturan yang ada.

“Pemerintah tidak menghormati dan menghargai undang-undang yang ada,” kata pengacara publik Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta M. Isnur kepada Tirto, Selasa (5/6).

Isnur mengatakan pelaku kejahatan harus diadili di pengadilan. Ini sejalan dengan Undang-Undang Komnas HAM dan perintah konstitusi yang menyatakan Indonesia merupakan negara hukum. “Bagaimana mungkin pemerintah pemerintah menabrak undang-undang? Presiden bisa dituduh melanggar konstitusi,” ujarnya.

Isnur mengingatkan langkah utama yang harusnya dilakukan negara adalah menegakkan hukum bagi pelaku, merehabilitasi korban, baru kemudian mengusahakan rekonsiliasi. Ia khawatir pendekatan non-yudisial dalam penyelesaian kejahatan HAM di masa lalu justru akan menyakiti para korban. Sebab, hal itu sama saja dengan negara memberikan impunitas bagi pelaku kejahatan HAM.

“Impunitas adalah upaya untuk tidak membawa pelanggar HAM ke pengadilan. Ini (mekanisme nonyudisial) bagian dari impunitas,” ujarnya.

Isnur mengatakan Jokowi sebagai presiden mestinya mendorong penyelesaian kejahatan HAM secara hukum. Sebab hal itu telah menjadi janji kampanyenya di Pilpres 2014 lalu dan janjinya saat bertemu dengan para aktivis aksi Kamisan di Istana Negara.

“Kalau [mengacu] konsep yang dia bangun di Nawacita [misi Jokowi-JK saat kampanye], sebenarnya bisa semua [kasus HAM diselesaikan secara hukum],” ujar Isnur.

Direktur Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Asfinawati menolak pembentukan DKN jika lembaga itu nantinya ingin menyelesaikan kejahatan HAM masa lalu dengan mekanisme non-yudisial. Sebab menurutnya undang-undang hanya mengenal pendekatan hukum bagi para pelanggar HAM berat.

“Kami menolak sejak awal Dewan Kerukunan Nasional dengan model wewenang begini,” kata Asfin.

Keharusan menyelesaikan kejahatan HAM melalui sidang pengadilan terdapat dalam TAP MPR XVII/1998 dan Undang-Undang No.26/2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia dan. Pasal 43 sampai 44 mengatur tentang pembentukan Pengadilan HAM Ad Hoc. Sedangkan Pasal 46 mengatur tentang tidak berlakunya ketentuan kadaluwarsa dalam pelanggaran HAM yang berat. Sehingga ketentuan tersebut memastikan kasus-kasus yang terjadi sebelum diundangkannya UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM dapat diadili.

Seingat Asfin, konsep pembentukan DKN mulanya bertujuan mengatasi masalah intoleransi di Indonesia. Ia tidak tahu mengapa sekarang DKN malah mengurus persoalan kejahatan HAM masa lalu yang sudah menjadi wewenang Komnas HAM. Selain itu, Asfin mengatakan tidak semua kejahatan HAM bisa diselesaikan dengan pendekatan budaya atau kekeluargaan. Sebab menurutnya pendekatan itu merupakan bentuk penyelewengan mekanisme yang sudah ada.

“Mereka [pemerintah] perlu baca putusan MK tentang judicial review Undang-Undang KKR,” ujar Asfina.

Menyelesaikan kejahatan HAM di masa lalu merupakan amanat reformasi yang mesti dituntaskan pemerintah. Ia mengingatkan upaya rekonsiliasi tidak berarti memaafkan para pelaku begitu saja. “Mungkin ada satu atau dua kasus yang lebih cocok dengan rekonsiliasi tetapi gak bisa semua kasus,” katanya.

“Negara harus mengakui, membuka dulu siapa pelaku, operasi institusi apa, untuk kepentingan apa.”

Asfin mendesak Jokowi membatalkan pembentukan DKN. “Karena ini mencoreng janji dia di Nawacita,” katanya.

Infografik CI Dewan Kerukunan Nasional

Komisioner Komnas HAM Amiruddin Al Rahab menegaskan pihaknya telah melaporkan hasil penyelidikan kasus kejahatan HAM berat masa lalu kepada Kejaksaan Agung. Seperti misalnya kasus Talang Sari, penculikan aktivis, dan kerusuhan Mei 1998. Tinggal sekarang bagaimana pemerintah melalui jaksa agung menindaklanjuti laporan itu secara hukum.

Amiruddin mengatakan Komnas HAM tidak pernah diajak bicara soal pembentukan DKN. Namun ia menegaskan pelanggaran HAM berat merupakan tindak pidana yang mesti diselesaikan secara hukum. “Masa tindak pidana diselesaikan secara budaya,” ujarnya.

Pembentukan DKN telah disepakati dalam rapat kabinet paripurna yang dipimpin Presiden Joko Widodo di Istana Bogor, Rabu (4/1/2016). Setelah lebih dari dua tahun pemerintah mulai menyelesaikan konsep pembentukan DKN dengan menggelar rapat di kantor Kemenkopolhukam, Selasa (5/6).

Mantan Meteri Kehakiman Muladi mengatakan DKN bertugas mencegah, mengantisipasi, dan menyelesaikan konflik yang berskala nasional. Muladi menyebut akan ada 17 orang yang bertugas di DKN, terdiri dari tokoh agama dan tokoh masyarakat.

Menurut Muladi, DKN akan difokuskan untuk menyelesaikan konflik sosial menjelang dan saat pilkada atau pemilu. Pendekatan non-yudisial menjadi senjata lembaga itu.

Selain Muladi, ada juga mantan ketua Mahkamah Konstitusi dan ahli hukum tata negara Jimly Asshiddiqie. Ia menjelaskan DKN akan berperan menyelesaikan kasus pelanggaran HAM masa lalu. Menurutnya DKN akan menghidupkan lagi mekanisme mediasi dan pendekatan berbasis budaya serta tradisi dalam menyelesaikan masalah HAM masa lalu, serta guna mencegah konflik serupa di masa depan.

"Itu [pendekatan budaya] kan kekayaan kita, jadi jangan semuanya diselesaikan dengan pendekatan hukum apalagi hukum pidana kaku, keras. Kalau semua masalah diselesaikan dengan cara hukum, nanti penuh penjara," ujar Jimly.

Eks Ketua Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) itu menyebut penyelesaian masalah menggunakan jalur hukum tak selalu membuahkan hasil positif. Menurutnya, proses pidana hanya memunculkan 30 persen pelaku yang bertobat setelah menjalani hukuman. Sisanya, ada 30 persen terpidana yang dendam dan sisanya menjadi lebih jahat dibanding sebelumnya.

Baca juga artikel terkait PELANGGARAN HAM atau tulisan lainnya dari Muhammad Akbar Wijaya

tirto.id - Hukum
Reporter: Lalu Rahadian
Penulis: Muhammad Akbar Wijaya
Editor: Maulida Sri Handayani