Menuju konten utama

Aksi Warga Tuban Beli Mobil Cermin Minimnya Literasi Keuangan

Warga Tuban yang berbondong-bondong beli mobil setelah dapat uang tiba-tiba adalah contoh buruknya literasi keuangan.

Aksi Warga Tuban Beli Mobil Cermin Minimnya Literasi Keuangan
Warga menerawang uang rupiah saat sosialisasi Pekan Quick Response Code Indonesia Standard (QRIS) Nasional 2020 dan sosialisasi mata uang rupiah di Bandung, Jawa Barat, Kamis (12/3/2020). ANTARA FOTO/M Agung Rajasa/hp.

tirto.id - Aksi warga tiga desa di Tuban, Jawa Timur beramai-ramai membeli mobil usai menjual tanah ke PT Pertamina tak bijak dari sudut pandang pengelolaan keuangan. Rezeki nomplok itu tak akan bertahan lama dan sewaktu-waktu warga akan kekurangan bahkan kemungkinan terburuk jatuh miskin.

Pengalaman warga lain bisa jadi preseden. Video dokumenter Watchdoc dengan judul “Samin vs Semen” yang terbit 2015 lalu memuat cerita pahit sejumlah warga Tuban setelah 20 tahun menjual tanah ke pabrik semen. Ketika ditanya apakah uang itu masih ada, seorang warga yang kebetulan lewat menjawab, “Ya, habis. Malah sekarang kekurangan” (menit ke-32).

Jawaban serupa muncul dari warga lain yang mengaku menjual tanah seluas tiga hektare dengan harga Rp600 ribu per meter. Ia berkata, “uangnya habis untuk beli sepeda motor. Sekarang rusak semua.” Ia juga berkata: “Sekarang menyesal di belakang. Tanah dikuasai pabrik semua. Anak banyak, tak ada yang digarap.”

Perencana keuangan sekaligus pendiri Finansia Consulting Eko Endarto menjelaskan apa yang keliru dari cara warga dalam membelanjakan uang tersebut. “Mereka sebenarnya jadi menuju ke kemiskinan. Aset produktif mereka hilang,” ucap Eko kepada reporter Tirto, Rabu (24/2/2021).

Idealnya warga Tuban tak terburu-buru membelanjakan uang untuk keperluan konsumtif seperti mobil, sebab itu mereka lakukan dari kehilangan aset produktif berupa tanah atau sawah yang seharusnya bisa menghasilkan uang. Eko mengatakan uang hasil aset produktif yang hilang seharusnya beralih ke aset produktif lain sehingga nilai asetnya tidak turun bahkan terus naik sehingga warga tambah sejahtera. Misalnya untuk memulai bisnis, membuat toko-warung, bahkan membangun indekos untuk mengantisipasi kedatangan pekerja dari luar saat pembangunan kilang rampung.

Di sisi lain, komoditas seperti mobil jelas harganya akan turun seiring waktu. Belum lagi risiko-risiko lain yang mengintai seperti kecelakaan dan kemalingan.

Jika dipersentasekan, total uang yang semestinya dibelikan aset produktif lain minimal 90 persen, katanya. Alokasi dana untuk membeli barang-barang konsumtif tak boleh lebih dari 10 persen.

Lebih luas ketimbang kekeliruan membelanjakan uang hasil proyek, menurut Eko kejadian ini mengungkap sisi lain dari penanganan warga terdampak pembebasan lahan dan proyek strategis nasional (PSN). Menurutnya, apa yang dilakukan pemerintah atau perusahaan untuk sekadar memberikan ganti rugi tak cukup. Mereka semestinya juga memberi pendampingan atau pendidikan literasi keuangan.

Tanpa edukasi, pemerintah dan perusahaan sama saja membiarkan warga dengan uang miliarannya menjadi mangsa para pencari peluang bisnis. Dari yang legal seperti agen mobil, sales, bank, sampai yang ilegal seperti investasi bodong.

“Ketika ada pembebasan tanah, minimal ada pembekalan sedikit. Mereka harus tahu ke mana uang itu sebaiknya dialokasikan,” ucap Eko.

Peneliti dari Center of Reform on Economics (CORE) Yusuf Rendy Manilet mengatakan edukasi keuangan penting karena memang warga memiliki masalah akut soal itu. Menurut survei Otoritas Jasa Keuangan (OJK) 2019, tingkat literasi keuangan di Indonesia baru mencapai 38 persen. Angka ini tidak banyak beranjak dari posisi tahun 2014 yang menurut S&P Global berkisar 32 persen sekaligus masih di bawah Singapura 59 persen dan Malaysia 36 persen.

Dari sisi tingkat inklusi keuangan yang terkait ketersediaan akses pada layanan finansial, Indonesia juga masih relatif tertinggal. Menurut Survei OJK inklusi keuangan RI masih berada di angka 76, di bawah Singapura 98 persen, Malaysia 85 persen, dan Thailand 82 persen.

Yusuf tahu tak ada aturan tertulis yang menyebutkan pemerintah bertanggung jawab atas hal ini. Namun minimal mereka tak lepas tangan, katanya, paling tidak bisa menggandeng pihak ketiga. “Bisa jadi bagian lembaga-lembaga seperti NGO untuk memberikan advokasi ke masyarakat,” ucap Yusuf kepada reporter Tirto, Rabu.

Corporate Secretary Subholding Refining & Petrochemical PT Kilang Pertamina Internasional Ifki Sukarya mengatakan program pendampingan sebenarnya sudah berjalan bahkan sudah mencapai 10 kloter di tahun 2019. Program itu terhenti karena kendala COVID-19 yang menerjang mulai tahun lalu 2020.

Sebelum Pertamina berhasil melanjutkan program pendampingan ini, ia tak menampik sejumlah masyarakat terlanjur membelanjakan uangnya seperti yang viral di media sosial kemarin. Meski demikian, ia memastikan program pendampingan lanjutan ini akan segera direalisasikan.

Pertamina katanya sudah menggandeng sejumlah universitas untuk mendidik agar masyarakat dapat mempergunakan uangnya dengan baik. Sebagian bahkan diberi pelatihan wirausaha agar uangnya dapat digunakan untuk lebih produktif.

“Itu akan dipercepat untuk tim segera bisa ke lapangan. Saya sudah minta secepatnya. Tahu sendiri, kan, ya, diberitakan, ramai pasti. Di lapangan banyak sales, asuransi, dan sebagainya,” ucap Ifki kepada reporter Tirto, Rabu.

Baca juga artikel terkait LITERASI KEUANGAN atau tulisan lainnya dari Vincent Fabian Thomas

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Vincent Fabian Thomas
Penulis: Vincent Fabian Thomas
Editor: Rio Apinino