Menuju konten utama

Aksi Mogok Karyawan, Ada Apa dengan Google?

Kamis, 1 November 2018 karyawan Google mogok sebagai upaya protes terhadap cara Google menangani kasus pelecehan seksual.

Karyawan Google melakukan mogok kerja sebagai bentuk protes atas tuduhan pelecehan seksual terhadap eksekutif pada Kamis, November 1, 2018, di New York. AP / Bebeto Matthews

tirto.id - Pada Kamis, 1 November 2018, ribuan karyawan Google di berbagai negara melakukan aksi mogok dan demonstrasi. Seperti dikutip dari The Telegraph, aksi tersebut merupakan bentuk protes terhadap adanya dugaan Google telah melindungi karyawan senior yang melakukan pelecehan seksual. Kejadian ini tentu mencoreng citra Google yang memiliki motto perusahaan “Don’t Be Evil”.

Dalam aksi tersebut, lebih dari seribu karyawan di kantor pusat perusahaan di Mountain View, California membawa spanduk bertuliskan “Bangkit untuk perempuan Google” dan “Bertindaklah sekarang untuk masa depan kita”. Para pekerja itu pun juga meneriakkan “Hak-hak perempuan adalah hak-hak pekerja” dan “Tidak OK, Google!”.

The Telegraph melaporkan bahwa aksi itu tak hanya dilakukan di California, tapi juga di London, Zurich, Dublin, Haifa, dan Singapura. Saat bersamaan, saham Alphabet Inc, induk usaha Google melorot pada hari yang sama dan sehari setelahnya.

Protes tersebut bahkan didukung oleh manajemen melalui sebuah kiriman di jejaring sosial internal Google yang menyarankan sebuah aksi “women’s walk” untuk memperoleh ratusan suara. Di aksi tersebut para pekerja turun ke jalan untuk berbagi cerita tentang pelecehan yang mereka alami di Google. Salah seorang app developer bahkan menyatakan bahwa mereka tak akan membiarkan anaknya untuk memilih pekerjaan di bidang teknologi.

Cathay Bi, salah seorang penyelenggara aksi mengatakan bahwa dirinya termasuk karyawan yang mengalami pelecehan seksual di Google, “Saya mengalami pelecehan seksual di Google [dan] saya merasa tidak aman membicarakannya. Rasa tidak aman itulah yang membuat kita ada di sini hari ini,” ungkap Bi dilansir The Telegraph.

Menyeret Nama Andy Rubin

Aksi yang dilakukan oleh para karyawan Google itu sempat jadi sorotan The New York Times dalam artikel yang berjudul “How Google Protected Andy Rubin, the ‘Father of Android’”. Di situ tertulis bahwa Google telah memberi Andy Rubin, pencipta perangkat lunak Android sebuah perpisahan bak pahlawan saat Rubin meninggalkan Google pada Oktober 2014 lalu.

“Saya berharap semoga Andy mendapatkan yang terbaik selanjutnya,” ungkap Direktur Utama Google Larry Page. “Dengan Android, dia menciptakan sesuatu yang sangat luar biasa – dengan lebih dari satu miliar pengguna yang menyukainya,” tambahnya.

Pada seremoni itu nama Rubin begitu harum berkat jasanya membuat sesuatu yang besar. Namun, The New York Times,

dalam ulasannya menyinggung di balik kebanggaan para petinggi Google terhadap Rubin, bahwa ada "borok" yang tersimpan. Google tentu saja tidak membuka kasus tuduhan kepada Rubin yang dianggap telah melakukan pelecehan seksual kepada salah satu pekerja Google yang terjadi pada 2013.

Masih dalam laporan New York Times, Google melakukan penyelidikan dan menyimpulkan bahwa tuduhan tersebut dapat dipercaya. Setelah kejadian itu, berselang setahun, faktanya Rubin mengundurkan diri dari Google.

Juru bicara Rubin, Sam Singer membantah tuduhan pelecehan dan kaitannya dengan keputusan Rubin yang angkat kaki dari Google. “Secara khusus saya tegaskan tidak pernah memaksa seorang wanita untuk berhubungan seks di kamar hotel. Tuduhan palsu ini adalah bagian dari fitnah oleh mantan istri saya untuk menjatuhkan saya selama proses perceraian dan perebutan hak asuh,” kilah Rubin.

src="//mmc.tirto.id/image/2018/11/04/google-walkout--mild--sabit.jpg" width="860" alt="Infografik Google Wolkout" /

Belajar dari Nike

Dalam artikel berjudul “How Google’s employee walkout will strengthen the company’s reputation” dalam The Conversation yang ditulis oleh Michael Etter, aksi mogok yang dilakukan oleh ribuan karyawan Google tersebut mengejutkan banyak orang. Selama ini, orang melihat bahwa karyawan Google merupakan karyawan yang bahagia, dengan suasana kantor yang menyenangkan, dan saling menginspirasi.

Protes dari pekerja ini tentu saja memiliki dampak negatif, tapi di balik itu aksi mogok tersebut sebenarnya bisa memperkuat reputasi Google karena memiliki karyawan yang peduli pada lingkungan kerjanya. Ini terbukti dari jumlah karyawan Google yang melakukan mogok mencapai 60 persen.

“Ini menandakan bahwa karyawan Google yakin bahwa mereka dapat membedakan dan tidak takut akan pembalasan karena melakukan hal itu, bahkan CEO Sundar Pichai mendukung pemogokan,” tulis Etter.

Etter menyarankan bahwa sebaiknya Google memiliki manajemen respons yang baik. Penanganan terhadap aksi ini berpotensi untuk memperkuat posisi Google seperti yang dilakukan Nike. Pada April 2018 lalu, The New York Times pernah memuat laporan berjudul “At Nike, Revolt Led by Women Leads to Exodus of Male Executive”. Pada laporan tersebut diceritakan tentang kehidupan kerja di kantor pusat Nike di Beaverton, Oregon, AS, yang tak ramah terhadap perempuan.

Perempuan menjadi terpinggirkan dan memiliki peluang karier yang kurang baik, belum lagi kasus pelecehan. Mereka pun berontak dengan mengumpulkan survei soal diskriminasi gender dan pelecehan, lalu melaporkan ke manajemen tertinggi perusahaan pada awal Maret 2018. Akhirnya, Nike melakukan perombakan besar-besaran.

Kejadian itu sempat membuat Nike terpuruk. The New York Times melaporkan saham Nike sempat mengalami penurunan 1,21 persen menjadi 68,50. Namun, setelah perombakan, Nike perlahan bangkit. Seperti dikutip dari The Wall Street Journal Nike mampu mengembalikan kenaikan penjualan sebesar 4 persen.

Apakah Google mampu mengikuti jejak Nike?

Baca juga artikel terkait PELECEHAN SEKSUAL atau tulisan lainnya dari Widia Primastika

tirto.id - Sosial budaya
Penulis: Widia Primastika
Editor: Suhendra