Menuju konten utama

Aksi Laskar Merah PKI di Cirebon Tahun 1946

Suasana revolusi yang panas memantik konflik antara Laskar Merah (PKI) dengan TRI di Cirebon. Sempat menguasai kota, Laskar Merah berhasil digulung.

Header Mozaik Laskar Merah. tirto.id/Tino

tirto.id - Diawali oleh Henk Sneevliet pada tahun 1914 dengan nama ISDV, ajaran Marxisme semakin berkembang di tengah kapitalisme Belanda di Hindia Belanda. Melalui Semaun, Marxisme berkembang dalam tubuh Sarekat Islam, organisasi massa yang besar pada awal masa pergerakan, hingga menjelma menjadi Partai Komunis Indonesia.

Meski Dikenal oleh masyarakat awam sebagai partai yang lekat dengan pemberontakan hingga dinyatakan sebagai partai terlarang, ada satu peristiwa yang jarang diingat dari sepak terjang PKI di Indonesia yaitu upaya Putch PKI legal yang dipimpin Mr. Mohamad Jusuf di Cirebon tahun 1946.

Putch adalah "satu aksi gerombolan kecil yang bergerak diam-diam dan tak berhubungan dengan rakyat banyak."

Kelahiran Kembali PKI Setelah Proklamasi

Sebelum terbentuknya PKI legal di bawah kepemimpinan Jusuf, status PKI adalah partai terlarang setelah peristiwa tahun 1926. Momentum Jusuf mendirikan PKI legal setelah dikeluarkan dan ditandatanganinya Maklumat X 3 November 1945 oleh Mohammad Hatta selaku Wakil Presiden mengenai pendirian partai-partai.

Sejumlah tokoh PKI tidak seluruhnya menyetujui gagasan Jusuf. Orang-orang seperti Amir Syariffudin, Soedisman, Wikana, serta Abdoelmadjid justru tergabung dalam PKI bawah tanah (PKI ilegal).

“... aparat organisasi PKI waktu itu praktis tidak memiliki garis komando. Hanya satu kelompok yang memikirkan pembangunan kembali partai, yaitu dari sel Mr. Jusuf," tulis Soe Hok Gie dalam Orang-orang di Persimpangan Kiri Jalan (2005, hlm. 58).

Sejak dirintis oleh Jusuf pada 21 Oktober 1945 dan diresmikan pada tanggal 7 November 1945, PKI legal mendapat respons yang baik hingga mampu membuka cabang di sejumlah daerah, salah satunya di Cirebon, dan berhasil membentuk satuan laskar yang bernama Laskar Merah.

Selain itu dalam melaksanakan propagandanya, PKI menerbitkan sebuah jurnal Bintang Merah sekaligus sebagai corong partai. Harry A. Poeze dalam Tan Malaka, Gerakan kiri, dan Revolusi Indonesia jilid 2: Maret 1946-Maret 1947 (2009, hlm. 42) menyatakan, “Hingga Desember 1945 PKI sudah mempunyai 16 cabang.”

“Tujuannya mencerminkan akar nasionalismenya: dengan nasionalisasi tanah, soviet-soviet kaum tani, dan revolusi sosial sebagai semboyan-semboyannya. Untuk sementara PKI bawah-tanah mentolelir PKI Jusuf, menunggu kesempatan sampai wewenangnya terpulihkan," tulis Harry A. Poeze dalam Madiun, 1948: PKI Bergerak (2011, hlm. 6).

Kongres PKI di Cirebon

Gerakan PKI di bawah Jusuf diawali dengan diselenggarakannya kongres di Gedung Bioskop “Rex” Cirebon pada 6-10 Februari 1946. Kongres pertama setelah proklamasi ini dihadiri 3.000 orang peserta.

Kongres ini menetapkan manifestasi partai, yaitu memutuskan bahwa pemerintah wajib melindungi dan memfasilitiasi segala macam aliran politik, kebebasan berpolitik termasuk bagi anggota TKR, dan menuntut diadakannya konsolidasi bersama rakyat sebelum berunding dengan Van Mook.

Selain itu, Jusuf juga menyatakan tuntutan untuk diselenggarakannya pemilihan umum. Terdapat syarat yang tidak biasa dalam tuntutan penyelenggaraan pemilihan umum ini, yakni hak pilih tidak diberikan kepada pemilih yang buta huruf, padahal saat itu buta huruf sangat tinggi.

Tuntutan pemilihan umum tidak lain merupakan buntut kekecewaan Jusuf dan kawan-kawan kepada Sukarno yang dianggap sebagai kolaborator Jepang. Dan setelah proklamasi pemerintah dianggap tidak bisa berbuat banyak.

Sikap anti-imperialisme dan anti-kapitalisme yang digaungkan pemerintah dinilai sekadar omong kosong, serta kemerdekaan yang diproklamasikan pada Agustus 1945 adalah kemerdekaan borjuis.

Selain itu, Seoprapto sebagai wakil pimpinan PKI legal dalam kongres menyatakan bahwa PKI tidak menentang ajaran agama. Kemudian secara bergantian dengan Jusuf, ia menyatakan pujian kepada Uni Soviet dan telah menjalin hubungan dengan kaum komunis di luar Indonesia.

Putch Satu Hari

Suasana riuh tak terhindarkan sebelum dan sesudah terlaksananya kongres PKI di Cirebon. Anggota PKI berdatangan dari pelbagai daerah, termasuk Laskar Merah dari Jawa Tengah dan Jawa Timur. Di sisi lain terdapat pasukan TRI daerah Cirebon.

“Dalam suasana seperti itu, meletuslah clash bersenjata dengan TRI Cirebon,” tulis Soe Hok Gie.

Pada 12 Februari 1946, konflik antara PKI Mr. Jusuf beserta Laskar Merah dengan TRI Cirebon dimulai. Konflik diawali dengan pelucutan senjata pasukan TRI dan Polisi oleh Laskar Merah, sehingga mereka berhasil mengambil alih kota. Setelah itu, pasukan TRI ditarik ke Linggarjati yang merupakan Markas besar divisi TRI Daerah.

Keberhasilan PKI dan Laskar Merah dalam menguasai kota tidak berlangsung lama. Mengutip kembali Harry A. Poeze (2009, hlm. 43), hal ini tidak terlepas dari “Datangnya bantuan sebanyak enam ratus pasukan dari Cikampek, masuk Cirebon lagi, dan pada malam tanggal 13 menjelang 14 Februari tanpa banyak kesulitan merebut kembali kota itu.”

Sedangkan dalam buku Siliwangi dari Masa ke Masa (1968, hlm. 101) disebutkan, “Bantuan-bantuan pun datang mengalir dari Tegal, Pekalongan, bahkan dari Akademi Militer Tangerang.”

Infografik Mozaik Laskar Merah

Infografik Mozaik Laskar Merah. tirto.id/Tino

Gerakan yang menewaskan satu orang anggota TRI ini memang mudah dipatahkan. Pasalnya, putch terjadi secara spontan dan tidak dibekali kesiapan yang matang serta jumlah pasukan yang tidak sepadan.

Enam bulan setelah kegagalan PKI di Cirebon, Jusuf dan Seoprapto ditangkap bersama sekitar 30-40 pengikutnya. Sebulan kemudian keduanya diadili di hadapan mahkamah militer di Cirebon. Hingga keluarlah putusan pengadilan yang menjatuhkan hukuman bagi Jusuf selama tiga tahun penjara, dan satu setengah tahun bagi Soeprapto.

Insiden tahun 1946 di Cirebon ini ternyata terjadi di luar kontrol bersama antara PKI dengan Laskar Merah, dan lebih mengarah pada tindakan sepihak yang dilakukan Laskar Merah.

Setelah Jusuf dan Soeprapto menjalani masa hukuman yang dijatuhkan pengadilan, orang-orang PKI bawah tanah (PKI ilegal) membentuk Panitia Pemberesan untuk menegaskan dan mengukuhkan kembali arah politik PKI sesuai dengan Komintern.

Dalam sidang Panitia Pemberasan, PKI Jusuf tidak diakui sebagai kelanjutan dari PKI tahun 1926, hal ini didasari oleh arah politik Jusuf yang cenderung hanya berskala nasional.

Terlihat jelas terjadi perselisihan PKI Jusuf dengan PKI bawah tanah. Hal ini seperti yang terjadi dalam peristiwa pemberontakan PKI 1926 yang kental dengan nuansa konflik pandangan politik antara Tan Malaka dengan Musso. Harry A. Poeze menyatakan bahwa garis politik Jusuf dekat dengan Tan Malaka.

Baca juga artikel terkait REVOLUSI 45 atau tulisan lainnya dari Andika Yudhistira Pratama

tirto.id - Politik
Kontributor: Andika Yudhistira Pratama
Penulis: Andika Yudhistira Pratama
Editor: Irfan Teguh Pribadi
-->