tirto.id - "Siapa yang bisa mengejar pria ini? Mungkin hanya The Flash?"
Petenis Victoria Azarenka mencuit kalimat itu sembari mengunggah foto Usain Bolt yang sedang berlari sembari tersenyum lebar. Unjuk gigi dalam arti harfiah. Sedang tiga lawan di belakangnya tampak ngos-ngosan, kombinasi lelah dan kepayahan mengejar.
Dalam foto yang dijepret Cameron Spencer itu, Bolt menjadi abadi: ia adalah manusia tercepat di dunia. Foto yang diambil di semifinal 100 meter Olimpiade Rio 2016 itu kemudian menjadi bahan meme. Menunjukkan bahwa ada manusia yang lebih superior ketimbang manusia lain. Ubermensch, manusia super, ternyata sosok nyata. Bolt adalah bukti hidupnya.
Setelah meraih kemenangan di semifinal, Bolt kembali unjuk kaki di final. Ia meraih emas dengan catatan 9,81 detik. Itu emas Olimpiade kedelapan Bolt. Bolt menjadi atlet lari pertama yang memenangkan emas Olimpiade kategori 100 meter tiga kali berturut-turut. Hal itu sudah cukup membuat membuat nama Bolt dirajah dengan tinta emas bukan hanya dalam sejarah atletik tapi bahkan sejarah olahraga.
Banyak orang menyambut gembira pencapaian ini. Komentator atletik untuk BBC, Steve Cram, mengatakan bahwa cabang olahraga ini banyak mendapat kritik karena kasus doping dan karenanya berada di masa gelap. Bolt membawa secercah sinar terang.
"Dia seperti manusia setengah dewa," ujar Steve Cram.
Sedangkan di media sosial, tagar #Bolt sempat jadi tren. Salah satu yang mencuit dengan antusiasme meluap adalah pebasket LeBron James. "Tak ada yang bisa kamu lakukan kalau melawan manusia cheetah itu," tulisnya. Pesepakbola Paul Poga menyebut Bolt, "tidak terhentikan", seraya dengan kelakar menantangnya berlari.
Meraih pencapaian gemilang itu, Bolt belum merasa puas.
"Hari ini belum sempurna. Aku berharap bisa lari lebih cepat, tapi tidak bisa. Namun aku tetap bahagia, dan bangga atas pencapaianku. Belum pernah ada orang yang meraih pencapaian ini," ujar Bolt pada BBC.
Bolt Lahir dari Pabrik Para Pelari
Jamaika, selain dikenal sebagai tanah kelahiran reggae, juga dikenal sebagai tanah kelahiran para pelari cepat kelas dunia. Di dunia atletik, julukan negara ini adalah "the sprint factory", alias pabrik para pelari. Dari negara yang cuma punya 2,8 juta penduduk ini, lahir nama-nama besar seperti Merlene Ottey, Veronica Campbell-Brown, Arthur Wint, Asafa Powell, Yohan Blake, Shelly-Ann Fraser-Pryce, dan tentu saja: Usain Bolt.
Ada beberapa teori kenapa Jamaika bisa punya banyak pelari cepat. Salah satunya teori tentang gene ACE, yang bisa membuat kapasitas jantung memompa darah ke otot lebih cepat ketimbang manusia kebanyakan.
Selain itu ada juga gen ACTN3 yang diyakini bisa menghasilkan protein yang disebut alpha-actinin-3, yang bisa membantu otot lebih kuat dan bisa mengatasi kontraksi berulang kali. Hanya sekitar 70 persen atlet internasional Amerika Serikat yang punya jumlah gen ACTN3 cukup. Sedangkan di Jamaika, 75 persen orang, baik penduduk biasa ataupun atlet, punya ACTN3 dalam jumlah cukup.
Tapi gen saja tidak cukup. Para pelari di Jamaika tumbuh dan berkompetisi di iklim yang meriah. Salah satu ajang yang kemudian melahirkan para pelari cepat adalah Champs. Ini julukan singkat untuk kompetisi Inter-Secondary Schools Sports Association Boys and Girls Athletics Championship. Kompetisi atletik yang berlangsung tahunan ini diikuti pelajar di Jamaika. Di ajang itulah Bolt ditempa.
Bocah yang Susah Diatur
Usain Bolt lahir di kota kecil Sherwood Content pada 21 Agustus 1986. Ia terdaftar sebagai pelajar di SMA William Knibb Memorial. Pada 2001, Bolt mengikuti Champs. Namun gagal meraih emas. Turun di nomor 200 meter, ia hanya mendapat medali perak.
Mantan pelari Olimpiade, Pablo McNeil, melihat bakat di kaki Bolt. Ia turun tangan jadi pelatih utamanya. Namun Bolt, layaknya remaja manapun, sedikit susah diatur. Ia terlalu suka bercanda, kadang menyerempet perbuatan kriminal. Sering pula ia bolos latihan untuk pergi kencan.
"Kalau sudah begitu, aku yang akan membawanya kembali ke sekolah, dan ia akan kembali latihan. Mengatur Bolt memang susah. Tapi sekali kamu memahaminya, dia mudah kerja sama," ujar Neil pada Jamaica Gleaner. "Dia akan memberikan 101 persen."
Gagal di ajang Champs membuat Bolt tahu pentingnya latihan. Ia bekerja keras dan berlatih di bawah bimbingan Neil. Ia ikut kompetisi CARIFTA Games pada 2001 di nomor 400 meter. Dengan catatan 48,28 detik, Bolt lagi-lagi harus puas dengan medali perak. Begitu pula di nomor 200 meter dengan waktu tempuh 21,81 detik.
Pada 2002, di usia 15 tahun, pertumbuhan Bolt menjulang cepat. Di usia itu, tingginya sudah 1,9 meter. Di ajang World Junior Championship in Athletic 2002, Bolt turun di kategori 200 meter. Ia berhasil meraih emas dengan catatan waktu 20,61 detik. Saat itu usia Bolt baru 15 tahun 332 hari, usia yang membuatnya menjadi juara termuda di ajang dunia itu. Rekornya baru patah saat Jacko Gill menjadi juara di kategori sama pada 2010.
Sejak saat itu nama Bolt sudah identik dengan lari cepat. Ia mendapat julukan Bolt of Lightning. Medali terus ia sabet. Di ajang CARIFTA 2003, ia meraih 4 emas. Di ajang World Youth Championship 2003, Bolt kembali meraih emas di kategori 200 meter, lengkap dengan rekor waktu 20,40 detik.
Michael Johnson, pelari Amerika Serikat yang memegang rekor dunia kala itu, menyadari betul potensi Bolt. Namun ia juga khawatir Bolt memanggul beban terlalu berat.
"Yang menentukan nanti adalah apa yang akan dia lakukan tiga, empat, atau lima tahun lagi," ujarnya.
Akhir yang Tak Sempurna bagi Bolt
Bolt lebih serius menekuni dunia lari. Pada 2004, Bolt masuk karier profesional dengan pelatih barunya, Fitz Coleman. Ia juga memutuskan lebih fokus ke nomor 100 meter. Dalam kompetisi World Championships di Berlin pada 2009, Bolt yang turun di nomor 100 meter berhasil meraih emas dengan catatan waktu 9,58 detik. Catatan itu menobatkannya di daftar puncak pelari pria tercepat di dunia.
Sejak saat itu, Bolt semakin susah dikejar. Puncaknya terjadi pada Olimpiadei 2016 itu. Media merayakannya besar-besaran. Mereka memajang foto besar Bolt di halaman depan, sembari membubuhi kata fantastis.
"Unstoppable!"
"Catch Me If You Can!"
"Jamaican Thunderbolt"
Tapi Bolt bukan kilat. Ia punya rasa bosan, juga batasan-batasan khas manusia biasa. Usianya tahun ini sudah 31 tahun. Ia sadar akan semakin susah berkompetisi dengan para pelari muda. Maka ia dengan sadar mencanangkan akan pensiun setelah Kejuaran Dunia Atletik 2017 yang diadakan di London.
Di pertandingan terakhirnya itu ia menghadapi salah satu rival terbesarnya, Justin Gatlin dari AS. Selama ini Gatlin dianggap musuh bersama di dunia atletik: dua kali dihukum karena doping.
Para penonton berharap akhir yang menyenangkan: Bolt memenangkan emas dan bisa pensiun dengan tenang serta bangga. Tapi apa boleh buat, dunia nyata kadang tidak seindah fantasi. Di ajang 100 meter yang jadi nomor andalannya selama ini, Bolt harus takluk dan puas berada di peringkat tiga. Kedudukan yang amat jarang ia cicipi selama karier panjangnya.
Gatlin mendapat emas, diikuti oleh Christian Coleman. Dua-duanya dari Amerika Serikat. Penonton yang kesal karena fantasinya dirusak, meneriakkan cemoohan pada Gatlin. Yang dicemooh memahami betul perannya sebagai antagonis. Gatlin, lelaki nomor dua dalam foto Bolt yang tersenyum di ajang 100 meter Olimpiade Rio, hanya meletakkan jari telunjuk di mulut. Isyarat agar para penonton tutup mulut. Sedangkan Bolt tampak sedikit menyesal tak bisa menutup kariernya dengan sempurna. Tapi ia sadar, Gatlin lebih superior malam itu.
"Dia adalah pesaing yang hebat. Kamu harus ada di kondisi terbaik agar bisa menandinginya. Aku sangat menghargai kompetisiku dengannya, dan ia orang baik," kata Bolt, seperti dikutip BBC.
Tirai telah tertutup. Dunia atletik ditinggal manusia tercepatnya. Bolt mengucap selamat tinggal pada dunia lari yang membesarkan namanya. Mengereknya ke posisi tertinggi. Namanya masih tercatat di berbagai torehan rekor. Menanti untuk dipecahkan. Bisa tahun depan, bisa 5 tahun lagi, atau baru akan pecah 100 tahun lagi. Tak ada yang tahu.
Yang kita tahu: Usain Bolt tak akan lagi berlari (di lintasan lomba).
Penulis: Nuran Wibisono
Editor: Zen RS