Menuju konten utama

Ajarah Syiah Itu Seperti Apa, Viral karena Video Gegerkalong

Apa itu aliran Syiah dan kenapa dikaitkan dengan video viral di Gegerkalong?

Ajarah Syiah Itu Seperti Apa, Viral karena Video Gegerkalong
Jemaah Syiah berkumpul menjelang Asyura, hari paling suci pada penanggalan Muslim Syiah di kota Kerbala, Irak, Senin (9/9/2019). ANTARA FOTO/REUTERS/Abdullah Dhiaa Al-Deen/djo/nz

tirto.id - Syiah sedang dikaitkan dengan salah satu video viral yang diduga terjadi di Gegerkalong, Bandung, Jawa Barat. Apa itu syiah dan bagaimana ritual keagamaannya?

Viral di media sosial Twitter lewat akun @JeroPoint. Dalam unggahan video pada Minggu, 30 Juli 2023, terdapat sekumpulan orang diduga pengikut aliran Syiah yang sedang menjalankan ritual.

Mereka disebutkan menari di dalam masjid kawasan Gegerkalong, Bandung, Jawa Barat. Unggahan tersebut sudah tayang sebanyak 2,2 juta kali dan di-retweet 1.594 kali.

Menurut salah satu pengurus masjid tempat ritual itu diadakan, mereka yang mengadakan ritual tersebut adalah keompok Syiah Al Jawad.

Apa Itu Aliran Syiah dalam Islam?

Kata Syiah berasal dari bahasa Arab yang artinya pendukung atau pembela. Dengan demikian, Syi’ah Ali bermakna pendukung alias pembela Ali.

Pada masa khalifah Khulafaur Rasyidin (Abu Bakar, Umar bin Khattab, Utsman bin 'Affan, dan Ali bin Abi Thalib), Syi’ah Ali belum muncul.

Namun, kehadirannya dimulai ketika terjadi pertikaian dan peperangan antara kelompok Ali dengan Mu’awiyah (Syi’ah Ali dan Syi’ah Muawiyah).

Melalui jurnal "Melacak Historitas Syi'ah (Asal Usul, Perkembangan dan Aliran-Alirannya)" oleh Ahmad Atabik (2015), pasca terbunuhnya Umar bin Khattab dan Utsman bin 'Affan, Sayyidina Ali lalu dibaiat oleh sebagian besar kaum muslimin, termasuk Muhajirin.

Namun, hal ini menimbulkan pertentangan di kalangan sahabat nabi lain, seperti Zubair dan Thalhah, hingga menimbulkan Perang Jamal antara pasukan Ali dengan pasukan Aisyah, Zubair sertaThalhah.

Setelah terjadinya tahkim (perjanjian damai), umat Islam lantas terbelah menjadi 3 kelompok. Pertama, Syi’ah (golongan yang memihak Ali dan kerabatnya serta berpendapat keturunannya berhak menjadi khalifah).

Kedua, Khawarij, yaitu golongan yang menentang Ali dan Muawiyah. Mereka berpendapat tahkim menyalahi prinsip agama.

Dan ketiga, Murjiah, yakni golongan yang menggabungkan diri kepada salah satu pihak dan menyerahkan hukum pertengkaran kepada Allah.

Pada awalnya, kelompok Syi’ah sangat mengagumi sosok Sayyidina Ali secara pribadi karena mempunyai keistimewaaan diisi Rasulullah.

Namun, perkembangan lain justru menunjukkan bahwa kecintaan tersebut menjadi sebuah fanatisme yang berlebihan selama dua abad berikutnya.

Sejumlah kelompok ekstrem dalam jaringan Syiah dan disebut telah keluar dari Islam serta menolak masuk golongan madzhab, di antaranya ialah Saba’iyah, Ghurabiyah, Kaisaniyah, serta Hakimiyah dan Druz.

Selain itu, beberapa kelompok lain di dalam Syiah juga muncul, yakni Syiah Zaidiyah, Syiah Imamiyah, Syiah Ghulat, Al-Ghurâbiyah, hingga Al-Qarâmithah.

Nama terakhir pernah menyerbu hingga menguasai Makkah pada tahun 930 M. Aksi mereka menyebabkan para jamaah haji terluka. Menurut Al-Qarâmithah, ibadah haji termasuk perbuatan sia-sia karena bentuk perbuatan jahiliyah. Thawaf dan mencium Hajar al-Aswad dianggap perbuatan syirik. Mereka merebut Hajar Aswad.

Syiah Al-Qarâmitah akhirnya dihancurkan oleh al-Mu’iz alFâthimy dalam upaya penyerbuan ke Mesir tahun 972 M, sebelum hilang di Bahrain pada 1.027 M.

Adakah Syiah di Indonesia?

Adapun perkembangan Syiah di Indonesia terjadi sejak awal mula Islam masuk melalui orang Persia dari Gujarat. Selain itu, juga diwarnai usai peristiwa revolusi Islam di Iran tahun 1997.

Dalam "Syiah: Sejarah Timbul dan Perkembangannya di Indonesia" oleh Moh. Hasim, orang Syia di Indonesia mulai membentuk Ikatan Jemaah Ahlul Bait Indonesia (IJABI) pada 1 Juli 2000.

Sejumlah ketegangan sempat terjadi di masyarakat seiring semakin meningkatnya para pengikut Syiah. Salah satunya ialah di Desa Brayo, Wonotunggal, Batang, Jawa Tengah, pada 8 April 2000.

Massa menyerbu Pondok Pesantren Al-Hadi setelah salat Jumat, sekitar pukul 14.00 hingga 16.30, yang menyebabkan 3 rumah dirusak dan 1 dibakar massa.

Pada 2006 di Bondowoso juga terjadi serangan serupa terhadap pondok pesantren kepunyaan Kiai Musowir yang sedang menggelar acara yasinan.

Penyerbuan terjadi lagi pada rumah pengurus Masjid Jar Hum di Bangil, Jawa Timur, November 2007. Massa merusak rumah karena menolak kehadiran Syiah.

Peristiwa Karbala dan Ritual Asyura dalam Aliran Syiah

Karbala adalah kota di barat daya Baghdad, Irak, atau sekitar jarak 100km. Karbala menjadi tempat pembunuhan yang dilakukan orang-orang Syi’ah Ali terhadap cucu nabi, Husain bin Ali bin Abi Thalib, beserta pengikutnya.

Menurut Ibnu Katsir di dalam kitab al-Bidayah wa al-Nihayah dan al-Kamil fi al-Tārikh, tragedi itu diawali ketika penduduk Kufah mengirimkan surat dan utusan kepada Husain.

Mereka meminta Husain bersedia datang ke Kufah untuk dibaiat menjadi khalifah dan siap menjadi pengikut setia. Husain lantas berangkat bersama keluarga dan pengikut menuju Kufah.

Pada hari Jum’at, 10 Muharram 61 Hijriyah, Husain beserta mayoritas pengikut akhirnya terbunuh di Karbala oleh pasukan Ubaidillah bin Ziyad.

Pengkhianatan yang semula dikhawatirkan bakal terjadi akhirnya benar-benar dilakukan oleh penduduk Kufah, seperti yang pernah dialami Ali bin Abi Thalib.

Sementara itu ritual Asyura menandai hari ke-10 Muharram tersebut. Berbeda dengan kebanyakan umat Islam yang merayakannya dengan cara puasa sunah, kalangan Syiah justru memiliki ritual tersendiri.

Mereka berziarah ke makam Husain dengan cara meratap, memukul-mukul dan melukai anggota badan dengan benda-benda tajam.

Peringatan Karbala atau Asyura ini dimaksudnya untuk mengenang masa sulit yang dihadapi Husain di Karbala. Selain itu, juga sebagai wujud rasa bersalah karena tidak bisa membantu Husain dalam menghadapi orang-orang yang menyerangnya.

Baca juga artikel terkait AKTUAL DAN TREN atau tulisan lainnya dari Beni Jo

tirto.id - Sosial budaya
Kontributor: Beni Jo
Penulis: Beni Jo
Editor: Dipna Videlia Putsanra