tirto.id - Menteri Koordinator bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menjelaskan, pemerintah berencana untuk menyerap kedelai petani dengan harga Rp10.000/kg. Langkah tersebut agar petani tidak rugi sehingga Indonesia bisa mengurangi ketergantungan impor.
Untuk diketahui, seluruh kebutuhan kedelai sebesar 2,4 juta ton, sementara produksi kedelai nasional justru terus turun.
"Salah satu arahan beliau agar harganya dibuat agar petani tidak rugi. Untuk itu nanti ada penugasan kepada BUMN agar petani bisa memproduksi, itu di harga Rp 10.000," jelas dia, Senin (19/9/2022).
Selain itu, ia mengatakan BUMN juga diberikan tugas untuk melakukan tanam tumpang sari, atau sistem penanaman dua jenis atau lebih tanaman dalam satu area lahan. Hal ini untuk memperluas lahan tanam kedelai di Indonesia.
Targetnya, dalam dua sampai tiga tahun ke depan target 1 juta hektar bisa dapat dikejar. Untuk itu BUMN ditugaskan untuk melakukan tanam tumpang sari di lahan perkebunan jagung.
Airlangga menjelaskan, target pemerintah untuk luas area lahan tanam kedelai tahun ini adalah 300 ribu hektar, sementara lahan yang ada saat ini baru 150 ribu hektar.
"Itu anggarannya sudah disiapkan Rp400 miliar dan tahun depan akan ditingkatkan dari 300 menjadi 600 ribu hektar. Existing ada 150 ribu hektar," katanya.
Sementara itu, Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo mengatakan, pemerintah sedang mematangkan dua strategi untuk menggencarkan petani lokal kembali menanam kedelai, yakni lewat pencarian bibit varietas yang lebih unggul serta penetapan harga beli.
Mentan menjelaskan bahwa, pemerintah akan memperbaiki varietas kedelai yang lebih baik, apabila diperlukan menggunakan bibit produk rekayasa genetik (Genetically Modified Organism/GMO) ataupun bibit impor guna meningkatkan volume produksi kedelai.
"Artinya selama ini kedelai misalnya hanya (menghasilkan) 1,5 sampai dua ton per hektare, diharapkan kita mendapat varietas yang mampu (memproduksi) di atas tiga sampai empat ton per hektare," kata Mentan dikutip Antara.
Rendahnya volume produksi per hektare tersebut, ditengarai menjadi salah satu alasan mengapa mayoritas petani lokal meninggalkan kedelai dan lebih memilih menanam jagung. Akibatnya, saat ini pemenuhan kedelai nasional lebih dari 90 persen disokong dari impor.
"Kenapa kedelai selama ini kita tinggalkan dan melakukan importasi yang sangat besar sekitar di atas 90 persen padahal kita makan tempe dan tahu, karena selama ini petani lebih tertarik menanam jagung," kata Mentan.
"Harganya sama kurang lebih Rp5.000 sedangkan per hektare jagung bisa (memproduksi) 6-7 ton sementara kedelai hanya 1,5 ton," ujarnya menambahkan.
Bersamaan dengan upaya menemukan varietas yang bisa menghasilkan volume produksi lebih besar, pemerintah tetap berusaha menjaga minat petani untuk menanam kedelai lewat pengendalian harga beli.
"Bapak Presiden mengatakan impor memang harus dilakukan, tetapi sepanjang bisa ditanam maksimal maka tanam sebanyak-banyaknya dan beli yang ditanam oleh rakyat, tentukan harganya agar rakyat bisa tertarik menanam kedelai," jelas Mentan.
Mentan menyatakan bahwa, dalam rapat internal terbatas sudah disebutkan kisaran harga yang mungkin ditetapkan oleh pemerintah terkait harga beli kedelai dari petani.
Kendati demikian, hal itu akan diputuskan lebih lanjut melalui rapat koordinasi yang dipimpin Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto sekira sepekan ke depan.
"Tadi ada ancer-ancer angka yang sudah disebutkan dan itu sudah sangat luar biasa untuk petani kita, insyaallah. Tapi tentu saja ini akan didahului dengan rapat koordinasi Pak Menko untuk menetapkannya," ujar dia melengkapi.
Secara umum Mentan menyatakan bahwa pihaknya tengah menyiapkan perluasan lahan tanam kedelai menjadi 351 ribu hektare dan saat ini baru mencapai 67 ribu hektare. Pada 2021 produksi kedelai nasional hanya mencapai 211 ton, sedangkan kedelai impor yang masuk sebesar 2,48 juta ton.
Penulis: Selfie Miftahul Jannah
Editor: Anggun P Situmorang