tirto.id - Saksi ahli agama Islam dari PBNU, Miftachul Akhyar menilai Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok bersalah dalam menodai agama karena menempelkan kata 'bohong' dalam pidatonya di Kepulauan Seribu terkait dengan Al-Maidah ayat 51. Menurut Miftachul, siapapun yang menyatakan 'bohong' terhadap ayat Al-Maidah 51, maka pastilah bersalah.
Tomy Sihotang selaku tim penasihat hukum Ahok bertanya kepada Miftachul tentang penyebab isu agama ini sangat pekat di DKI Jakarta dibanding daerah lainnya. Menurut Tomy, di daerah lain banyak pemimpin beragama Islam, tetapi di Jakarta, masalah Ahok menjadi gubernur menjadi problem tersendiri.
“Apa masalahnya ini kok hanya terjadi di Jakarta. Di sembilan daerah itu banyak juga pemimpin non-Muslim yang diusung oleh partai Islam. Apa memang ada diskriminasi seperti itu [di Jakarta]? Kalau orang di daerah lain saja boleh memilih pemimpin non-Muslim,” katanya.
“Tadi saya sudah jelaskan, kenapa terjadi di Jakarta, karena terjadi aksi. Terdakwa menyampaikan pidato dibohongi di Kepulauan Seribu terkait Al Maidah 51. Andaikan tidak ada itu, sama. Pilkada itu di Jakarta sama di daerah lain,” jawab Miftachul.
Ia menambahkan, akar permasalahan adalah pidato Ahok di Kepulauan Seribu yang mengatakan bahwa masyarakat dibohongi pakai surat Al-Maidah 51. Hal ini yang menurut Miftachul menjadi perdebatan. Baginya, kasus ini menjadi besar bukan karena Ahok yang melakukan penodaan. Ia mencontohkan, bilamana relawan Ahok beragama Islam mengatakan: 'Jangan mau dibohongin pakai surat Al-Maidah 51', relawan tersebut pun tetap bersalah.
“Jadi kembali lagi, ini masalahnya karena ada omongan itu [Ahok soal Al-Maidah 51]. Kalau ulama yang bilang gitu, dia kena, kalau saya yang bilang, saya kena. Kita masih menghormati konstitusi kok,” jelas Miftachul.
Sementara itu, Humphrey Djemat memakai cara lain untuk mengorek keterangan dari Miftachul. Humphrey menyontohkan teroris yang memakai ayat Alquran sebagai dasar tindakan mereka dan orang-orang yang mengatakan teroris sebagai pembohong. Ia menyamakan orang yang mengatakan teroris bohong sama dengan Ahok yang mengatakan oknum politik berlindung di balik ayat Al-Maidah 51.
“Bagaimana kalau seorang teroris mengambil surat Al-Baqqarah 191, lalu bunuhlah mereka dimanapun mereka berada? Kalau ada yang mengatakan jangan percaya sama teroris, jangan percaya sama surat Al-Baqqarah 191? Salah ga dia?” tanya Humphrey kepada Miftachul.
“Tidak salah.”
“Loh, kenapa tidak salah ?”
“Karena teroris itu sudah mengartikan salah, tentang bunuhlah. Jadi pemahaman tentang mayoritas kita, teroris itu sudah menyalahgunakan ayat itu, kecuali ayat itu sudah digabungkan dengan ayat yang lain,” terang Miftachul.
Humphrey pun melanjutkan pertanyaannya terkait dengan tulisan Ahok dalam bukunya yang menyebutkan bahwa banyak oknum politik yang menggunakan ayat suci untuk kepentingan mereka dan jangan mau dibohongi oleh mereka yang memakai surat Al-Maidah 51. Ia menanyakan benar atau tidaknya tulisan Ahok tersebut.
“Salah,” tegas Miftachul singkat.
“Apa bedanya dengan kasus tadi?” Humphrey masih penasaran.
“Karena ayat ini benar. Indikasi makna substansinya sudah benar. Kalau mereka [teroris] tadi itu mengartikan dengan pengertian yang salah, lalu si elit [politik] ini menyalahkan atau mengatakan jangan blablabla ini pun juga bisa dianggap salah karena apa? Karena dia juga memperalat itu, si elit politik itu,” terang Miftachul. “Sama-sama salah. Orang yang menggunakan ayat itu salah, elit politik yang mengingatkan menggunakan ayat itu yang mempolitisasi itu juga salah.”
Menurut Miftachul, salah benarnya bisa dilihat dari siapa elit politik tersebut dan apa kepentingannya. Menurutnya, ayat Al-Maidah 51 sudah benar dalam menunjukan arti bahwa umat Islam tidak boleh memilih pemimpin beragama Yahudi dan Nasrani pada dasarnya, tetapi sering disalahgunakan.
“Kata 'bohong' itu saja kalau sudah ditempeli ke surat Al-Maidah itu maknanya sudah negatif,” jelasnya. “Karena menempelkan, menyambungkan kata bohong dengan surat Al-Maidah.”
Sebelumnya di sidang kesepuluh, ahli bahasa yang diundang, Mahyuni juga menekankan hal yang serupa.”Pak hakim Yang Mulia, kalau menurut ilmu saya, pilihan kata 'bohong', ia berdiri sendiri saja, tanpa konteks, kata bohong sendiri itu maknanya negatif. Pasti ada orang bohong, ada sumber kebohongan, dan ada yang dibohongi. Sebagai ahli [saya menilai begitu]."
Penulis: Felix Nathaniel
Editor: Yuliana Ratnasari