Menuju konten utama
Kasus Menghalangi Penyidikan

Ahli yang Dihadirkan Fredrich: Korupsi Bukan Kejahatan Luar Biasa

Ahmad mengatakan, kasus korupsi tidak termasuk kejahatan luar biasa seperti kasus terorisme dan narkoba.

Ahli yang Dihadirkan Fredrich: Korupsi Bukan Kejahatan Luar Biasa
Terdakwa kasus merintangi penyidikan kasus KTP Elektronik, Fredrich Yunadi menjalani sidang lanjutan di Pengadilan Tipikor, Jakarta Pusat, Kamis (15/3/2018). ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan

tirto.id - Ahli perundang-undangan Ahmad Yani dihadirkan terdakwa Fredrich Yunadi dalam persidangan lanjutan kasus dugaan perintangan penyidikan kasus korupsi e-KTP yang melibatkan Setya Novanto.

Dalam persidangan, Ahmad mengatakan, kasus korupsi tidak termasuk kejahatan luar biasa atau extra ordinary crime layaknya kasus terorisme dan narkoba.

"Sesungguhnya pandangan saya korupsi itu sendiri juga tidak termasuk tindak pidana luar biasa," kata Ahmad di Pengadilan Tipikor Jakarta, Kamis (18/5/2018).

Selain itu, Ahmad juga mengatakan, pasal 21 UU Tipikor atau pasal obstruction of justice (perbuatan menghalang-halangi proses penegakan hukum) yang disangkakan untuk Fredrich bukanlah tindak pidana korupsi utama.

Dalam kesempatan itu, Ahmad juga mempersoalkan kasus politikus Partai Hanura, Miryam S. Haryani yang divonis memberikan keterangan palsu terkait kasus korupsi e-KTP. Menurut Ahmad, kasus memberikan keterangan palsu bisa masuk dalam pidana umum.

"Saya melihat bahwa dia [Miryam] bukan tipikor. kasus yang didakwakan pertama memberikan keterangan palsu, karena dia memberikan keterangan palsu maka dia masuknya peradilan umum," kata Ahmad.

Mendengar pernyataan tersebut, jaksa KPK Roy langsung mengonfirmasi mengenai isi undang-undang KPK yang menyatakan korupsi sebagai kejahatan luar biasa.

Selain itu, Jaksa juga mempertanyakan posisi Ahmad saat menjadi anggota DPR Komisi III, sebuah komisi yang mengurus lembaga hukum, salah satunya KPK.

Menurut Ahmad, KPK dibentuk karena penegak hukum belum optimal dalam memberantas korupsi. Selain itu, kata dia, posisi KPK juga hanya berfokus pada supervisi daripada penindakan korupsi.

"Oleh karena itu diletakkan betul, sadar betul pembentukan UU pada waktu itu meletakkan betul fungsi KPK pada huruf a dalam hal ini melakukan koordinasi. Kenapa dia diletakkan pada huruf a karena sudah ada institusi penegak hukum yang lain," kata Ahmad.

Jaksa kemudian bertanya, apakah pandangan Ahmad sama dengan pandangan semua pembentuk undang-undang.

"[itu] pandangan saya [pribadi]," kata Ahmad.

Dalam kasus ini, Fredrich Yunadi didakwa dengan sengaja mencegah, merintangi, atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tersangka atau terdakwa ataupun para saksi dalam perkara korupsi.

Dia didakwa bersama dengan Dokter Rumah Sakit Medika Permata Hijau Bimanesh Sutarjo telah melakukan rekayasa medis terhadap Setya Novanto ketika peristiwa kecelakaan. Kala itu, Fredrich berstatus sebagai pengacara Novanto.

Dalam dakwaan, Fredrich disebut sebagai orang yang berinisiatif untuk meminta bantuan kepada Bimanesh agar Setnov dapat dirawat di RS Medika Permata Hijau.

Pemilik kantor Yunadi and Associates itu mendatangi kediaman Bimanesh di Apartemen Botanica Tower 3/3A Jalan Teuku Nyak Arief Nomor 8 Simprug, Jakarta Selatan untuk memastikan agar Setya Novanto dirawat inap di RS Medika Permata Hijau.

Bimanesh menyetujui permintaan Fredrich dan mengondisikan proses perawatan hingga rekam medis Novanto.

Atas perbuatannya Fredrich dan Bimanesh didakwa melanggar Pasal 21 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dalam UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP.

Baca juga artikel terkait KORUPSI E-KTP atau tulisan lainnya dari Andrian Pratama Taher

tirto.id - Hukum
Reporter: Andrian Pratama Taher
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Alexander Haryanto