Menuju konten utama

Ahli Bahasa Jelaskan Makna Kata "Dibohongi" di Pidato Ahok

Saksi ahli bahasa Bambang Kaswanti menilai pernyataan Basuki Tjahaja Purnama di Kepulauan Seribu tentang kata "dibohongi" bukan bermakna sebenarnya.

Ahli Bahasa Jelaskan Makna Kata
Gubernur DKI Jakarta nonaktif Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok (kedua kiri) berbincang dengan penasehat hukumnya saat menjalani sidang lanjutan kasus dugaan penistaan agama di PN Jakarta Utara, Auditorium Kementerian Pertanian, Jakarta, Rabu (29/3). ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A.

tirto.id - Saksi ahli bahasa Bambang Kaswanti Purwo menilai pernyataan Basuki Tjahaja Purnama di Kepulauan Seribu tentang kata "dibohongi" bukan bermakna sebenarnya. Menurut ahli bahasa dari Universitas Atma Jaya itu tidak bermakna untuk menipu.

“Makna bohong tadi pengertian pemakaiannya tidak benar,” ujar Bambang dalam persidangan di Auditorium Kementan, Jakarta, Rabu (29/3/2017).

Majelis Hakim pun berkali-kali menanyakan kepada Bambang tentang alasan penggunaan kata dibohongi dengan Al Maidah.

Bambang menjelaskan, pemaknaan kata dibohongi Al Maidah tidak boleh dimaknai seperti makna kamus. Bambang menerangkan, kamus hanya memberikan potensi makna, tetapi tidak bermakna satu.

Bambang mencontohkan penggunaan kata muka. Kata muka dalam muka rumah dengan muka orang berbeda makna. Oleh karena itu, ia menilai, pemaknaan tidak bisa sesuai kamus.

"Dalam komunikasi ya terbangun bukan kamus lagi yang bicara," kata Bambang.

Bambang menambahkan, pernyataan pidato terdiri atas dua macam, yakni pendapat dan fakta. Apabila berpendapat, seseorang bisa mengevaluasi keterangan mereka. Sementara itu, publik bisa mencari kebenaran apabila pernyataan tersebut fakta. Dalam pandangan Bambang, pernyataan Ahok ingin mencari fakta tentang kasus tersebut.

"Tidak benar ini siapa yang menilai orang gunakan benar atau tidak?" tanya majelis hakim.

"Konteks Al Maidah itu muncul pasti juga ada konteksnya. Konteks pemakaian itu sebagai kitab suci ada bagian dalam proses. Jadi itu tidak benar," kata Bambang.

Bambang menegaskan, pidato Ahok tidak bisa dipahami hanya berdasarkan transkripsi. Ada faktor-faktor yang lebih luas ketimbang memahami transkripsi semata.

"Seseorang mencari makna tidak cukup kalau hanya transkrip saja. Sangat kecil sekali maknanya (jika hanya transkrip saja)," kata Bambang.

Bambang menjelaskan, konteks pidato harus disampaikan secara lisan dan konteks pidato. Pemaknaan tidak bisa sekadar membaca secara transkrip saja.

"Tidak mungkin bisa diartikan hanya dari transkrip. Jika begitu, maka pemaknaan pidato tidaklah sempurna," jelas dia.

Namun, yang terjadi, kata Bambang, banyak orang yang memahami pidato Ahok dengan sepotong saja. Akibatnya, tak heran pula banyak analisis yang berbeda dari pidato Ahok. Ia mencontohkan ketika dirinya mengambil salah satu frasa dalam satu novel. Naskah tersebut mendapat interpretasi banyak di masyarakat.

"Karena tak dimaknai sempurna terbuka siapa pun terbuka peluang untuk mengartikannya bermacam-macam konteksnya. Ini berbahaya," jelas Guru Besar Universitas Atma Jaya tersebut.

Berdasarkan pengalaman dan melihat dari video ujaran Ahok di Kepualauan Seribu, ia melihat pernyataan Ahok mayoritas berbicara mengenai budidaya ikan. Pernyataan Al Maidah hanya digunakan sebagai kisah untuk menceritakan pengalaman hidup. "Karena konteks dan isi pidato yang sebenarnya adalah soal budidaya ikan dan kelautan," tegas Bambang.

Ahok tersandung kasus penodaan agama atas pidatonya di Kepulauan Seribu pada 27 September 2016. Jaksa mendakwa Ahok dengan pasal alternatif 156 atau 156a KUHP dengan ancaman penjara maksimal 4 tahun atau 5 tahun.

Baca juga artikel terkait SIDANG AHOK atau tulisan lainnya dari Andrian Pratama Taher

tirto.id - Hukum
Reporter: Andrian Pratama Taher
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Maya Saputri