tirto.id - Jakarta selalu punya banyak hal untuk diceritakan, dari penuh sesak gerbong kereta yang melintasi kota, keluh kesah para pekerja soal macet, hingga raut wajah putus asa sehabis putus cinta.
Saya membayangkan ada soundtrack untuk tiap cerita di Jakarta—dan The Adams adalah band yang bisa mewujudkannya dengan sempurna. Lagu-lagu The Adams menyimpan banyak warna tentang hubungan antar manusia di Jakarta. Ia berbicara soal orang-orang yang kalah, patah hati, memendam rindu berkepanjangan, gagal move on, optimis, antusias, hingga dibuntuti pencarian jati diri.
The Adams mengeluarkan album debut The Adams pada 2004. Dua tahun kemudian, mereka merilis album bertajuk V2.05. Sepasang album tersebut mencuri perhatian publik lewat warna musik power pop yang menggoda seraya mengukuhkan status mereka sebagai salah satu pegiat musik independen yang pada saat itu tengah dirayakan di ibukota.
The Adams dan V2.05 membicarakan Jakarta dari kacamata anak muda; Jakarta yang menjadi saksi remuknya hubungan, indahnya jatuh cinta, dan asyiknya hidup saat kuliah.
Nomor “Konservatif” misalnya, bertutur tentang masa kencan yang tak terlupakan: embusan kencang angin yang menyapu Jakarta dan obrolan soal apa saja yang ditemani tiga gelas air putih di teras rumah gebetan. Lagu itu dipakai untuk mengiringi penutup film Janji Joni (2004) yang begitu membekas sampai sekarang.
Sementara di “Berwisata” Anda akan mendengarkan The Adams bernyanyi secara a capella, mengisahkan kesyahduan Jakarta lewat gedung-gedung tua, pedestrian di sekitar Istana Negara, serta rona wajah yang berseri-seri kala berfoto bersama kekasih di pelataran Fatahillah. Lalu di “Halo Beni,” The Adams melantunkan ode untuk seorang kawan yang dirindukan.
Semua lagu yang termuat dalam dua album awal The Adams tak ubahnya buku harian masa muda yang disusun secara kronologis, dengan Jakarta sebagai pusat ceritanya.
Penantian Lama
Selepas dua album pertama dirilis, hampir tak ada kebaruan yang ditawarkan The Adams. Setlist tiap konser The Adams sama. “Konservatif” pun selalu diputar sebagai lagu penutup.
Hingga akhirnya, pertengahan Maret kemarin, mereka merilis album baru bertajuk Agterplaas, usai menunggu 13 tahun lamanya.
Durasi 13 tahun bukanlah waktu yang sebentar. Ada banyak hal yang (dapat) berubah dalam kurun waktu lebih dari satu dekade: kedewasaan, kemampuan berpikir, kematangan mengambil keputusan, karier yang melesat, hingga mantan yang sudah menikah.
Namun, hal-hal tersebut tak berlaku bagi The Adams. The Adams di Agterplaas sama seperti dengan The Adams yang kita jumpai di dalam mobil van ketika memainkan "Waiting". Mereka tetap enerjik meski usia tidak lagi muda─dan Agterplaas adalah pembuktian yang mempesona.
Sebagaimana album-album terdahulu, Agterplaas dibuka dengan nomor instrumental. Saleh Husein memainkan melodi yang tajam, ditemani liukan synth yang membahana. Nomor berikutnya yaitu “Masa-Masa” sepintas mirip dengan “Everlasting” maupun “Fool” namun dengan tone yang lebih cerah.
Selanjutnya di “Pelantur,” The Adams mengkritik budaya politik hari ini yang sesak omong kosong. Simak liriknya yang berbunyi: "kau mengkritisi, berfilosofi, dan berteori, tanpa isi, tanpa makna, ucapanmu laksana dewa". Duet gitar Saleh dan Ario Hendarwan yang begitu padat menjadikan “Pelantur” peluru dahsyat di tengah euforia tahun politik yang makin ke sini makin brutal.
Ada pula “Lingkar Luar”, sebuah narasi pesimistis tentang Jakarta. Isinya tentang orang-orang yang datang ke ibukota dengan harapan tinggi dan akhirnya terjebak dalam rutinitas, tekanan, dan kebosanan. Lewat Agterplaas, The Adams juga menyertakan kisah-kisah seputar penyesalan, perenungan, dan kenestapaan lewat “Esok”, “Dalam Doa” serta “Sendiri Sepi.”
Dari sebelas lagu, “Gelap Malam” dan “Timur” layak didaulat sebagai juara. “Gelap Malam” mengingatkan pendengarnya pada nomor “Waiting” di album pertama. Kombinasi gebukan drum Gigih Suryoprayogo yang ritmis dan cabikan bass Pandu Fathoni yang lentur membuat track ini bisa diputar di segala situasi. Hal yang sama berlaku juga dengan “Timur”, yang kira-kira berpesan bahwa masa depan tak selalu mengerikan.
Warna power pop yang diusung The Adams masih terasa kental. Bedanya, porsi synth tidak sebesar di album Self Titled dan V2.05. Gebukan Gigih masih bertenaga. Saleh dan Ario berbagi peran dengan baik dan tak berebut panggung. Pandu memberi sentuhan yang menggugah selera.
Jakarta tetaplah jadi pusat cerita dalam setiap lagu di album Agterplaas. Kali ini tak ada kencan di Kota Tua, suka cita menyambut pesta, maupun tangis yang pecah akibat ditinggal saat sedang sayang-sayangnya. Jakarta yang sekarang dibayangkan The Adams adalah Jakarta yang menjadi saksi quarter life crisis, hidup berkeluarga, dan pertanyaan: mau apa setelah ini?
Editor: Windu Jusuf