tirto.id - Namanya Juminem. Saya biasa memanggilnya Bu Jum. Kedua tangannya berlumuran tepung gaplek. Warna putih seperti habis ditaburi bedak yang ada pada tangannya itu hasil pekerjaan Bu Jum sehari-hari: peracik tiwul.
Dua hari setelah peringatan kemerdekaan Indonesia tahun ini, saya berjumpa dengannya di dapur Tiwul Ayu Mbok Sum, Bantul, Yogyakarta.
Langkah kerja Bu Jum sehari-hari kira-kira seperti ini. Bu Jum menerima sebuah nampan berisi tepung gaplek yang sudah dicampur ampas kelapa dari seorang yang berdiri di depannya. Ia akan mencampurkan bahan topping pada adonan tersebut. Yang paling laris dibeli orang: rasa gula jawa, gula pasir, coklat, dan keju.
Tak sampai 2 menit, Bu Jum memungkasi adonan. Ia pun memasukkan racikannya ke dalam kukusan berbahan anyaman bambu yang berbentuk kerucut. Tiwul itu dicetak sekitar seperempat ukuran kukusan. Selama bahan-bahan itu dikukus, Bu Jum rajin menengok api pawon yang jadi sumber energi pemanas kukusan. Ia memasukkan sebuah kayu kering ke lubang perapian. Katanya, "Biar panas."
Bu Jum tak sendiri. Satu meter di hadapannya, seorang laki-laki bertugas sebagai pemarut kelapa, sementara perempuan yang berdiri di sampingnya didapuk sebagai pencampur tepung gaplek dengan ampas kelapa. Satu laki-laki mengambil tiwul yang telah matang dan memasukkannya ke dalam kemasan, sedangkan lainnya hilir mudik melayani pembeli.
Sebagian besar pembeli tiwul ialah para wisatawan. Kedai Tiwul Ayu Mbok Sum memang berada di jalur wisata Kabupaten Bantul, Jalan Mangunan. Jalan ini mesti ditempuh mereka yang ingin berkunjung ke Makam Raja-Raja di Imogiri. Bantul juga memiliki sejumlah lokasi yang digandrungi para wisatawan maniak swafoto semacam Watu Lawang atau Hutan Pinus Mangunan. Lokasi-lokasi eksotis itu tak jauh dari kedai Tiwul Ayu Mbok Sum.
Kausuka Keju, Kusuka Singkong
"Nah itu Mbok Sum," kata Bu Jum, sembari mengarahkan telunjuknya ke seorang perempuan yang duduk di atas dipan.
Sumiyem, yang akrab disapa Mbok Sum itu, adalah kakak Bu Jum. Ia tengah menyantap makan siang. Padahal jarum jam sudah menunjukkan pukul 5 sore.
"Baru sempat makan," katanya.
Dua puluh satu tahun lalu, Mbok Sum acapkali menghidangkan tiwul sebagai kudapan untuk para tukang yang bekerja di toko mebel milik suaminya. Menu itu pula yang ia sajikan ketika menyelenggarakan tahlilan.
Saat itu, menurutnya, belum ada orang yang menyajikan tiwul sebagai kudapan. Tiwul lebih dikenal sebagai pengganti nasi. Dari situ, perlahan-lahan racikan tiwulnya punya penggemar tersendiri. Pada 2003, ia pun mencoba berjualan tiwul.
"Awalnya pakai gula pasir. Yang makan lama-lama bosan. Saya mikir-mikir, pakai apa. Akhirnya saya pakai gula jawa," kenang Mbok Sum.
Triati, putri Mbok Sum, merasa tiwul ber-topping itu berpotensi untuk dikembangkan lebih lanjut. Ia pun turun tangan memasarkan. Pada 2009, Triati menahbiskan tiwul bikinan ibunya dengan nama Tiwul Ayu Mbok Sum. Sejak itu, Tri rajin mengikutsertakan Tiwul Ayu Mbok Sum dalam pameran dan kompetisi bisnis.
"Akhirnya saya bantu di sisi kemasannya, rasanya. Pokoknya diinovasi terus sampai munculnya beberapa rasa. Sempat ada rasa buah. Saya pakai Instagram juga buat promosi," ujar Tri.
Bahan baku utama tiwul ialah gaplek, ubi singkong yang telah dikupas dan dikeringkan selama beberapa hari. Meskipun bukan tanaman asli nusantara, singkong adalah salah satu yang paling banyak diolah menjadi makanan, baik itu pokok atau kudapan, oleh orang Indonesia.
"Cassava in Indonesia: its Economic Role and Use as Food" (1982) yang disusun John A. Dixon mencatat singkong diimpor dari benua Amerika, sebagaimana kentang manis, kentang putih, jagung, kacang, dan tomat. Namun tidak begitu pasti kapan tepatnya tanaman itu dibawa ke Jawa.
"Seorang peneliti menganggap singkong tiba di Jawa pada awal abad ke-17 dari Maluku, sementara peneliti lainnya menyimpulkan singkong masuk Jawa pada akhir abad ke-18," kata Dixon.
Singkong adalah tanaman serbaguna. Daunnya bisa disayur atau dijadikan lalapan. Timus, combro, misro, gethuk, tape, lemet, hingga cenil adalah sederetan kudapan berbahan baku singkong.
Singkong juga kerap menjadi tumpuan beberapa kelompok masyarakat di Indonesia sebagai pengganti beras saat paceklik. Sehingga singkong, begitu juga tiwul, tak jarang dipersepsikan sebagai makanan tatkala hidup susah. Alhasil singkong pun menjadi stereotip makanannya orang-orang miskin.
Pada zaman Sukarno, seorang pelawak di grup wayang orang Sriwedari, Solo bernama Gareng pernah memelesetkan Ganefo menjadi "ganewul" yang berarti "segane tiwul" (nasinya tiwul). Ganefo adalah ajang olahraga negara-negara anti-nekolim yang digagas Sukarno pada 1963.
Gareng menyentil betapa susah orang-orang saat itu untuk sekadar membeli beras, sehingga makanan pokok pun harus diganti tiwul, sementara pemerintah menghambur-hamburkan uang untuk menyelenggarakan pesta olahraga. Gara-gara itu, Gareng dicokok aparat keamanan atas tuduhan subversif.
Dua dekade setelahnya, pada 1980-an, Arie Wibowo memopulerkan lagu "Singkong dan Keju". Lagu itu menggambarkan kesenjangan ekonomi yang menganga antara dua sejoli yang tengah memadu kasih.
Sementara Chairul Tanjung, orang terkaya nomor tujuh di Indonesia versi Forbes, menerbitkan biografi berjudul Chairul Tanjung, Si Anak Singkong pada 2012. Judul itu menyiratkan laki-laki yang akrab dipanggil CT tersebut juga pernah jadi orang susah.
Make Tiwul Great Again
Kesan tiwul sebagai panganannya orang susah tampak sirna ketika memperhatikan omset Tiwul Ayu Mbok Sum. Di sana, tiwul malah dicari-cari.
Dalam satu hari, Tiwul Ayu Mbok Sum terjual setidaknya tujuh ratus kotak. Ketika musim liburan tiba, tiwul yang terjual bertambah menjadi tiga ribu.
"Waktu awal Tiwul Ayu buka, kami hanya menjual 30 kotak. Terjual 60 saja sudah bagus," kenang Tri.
Untuk mengenalkan tiwul sebagai pengganti nasi, Tri juga mengembangkan Griya Dahar Mbok Sum pada 2016. Lokasinya bersebelahan dengan kedai Tiwul Ayu Mbok Sum. Dalam satu hari, Griya Dahar Mbok Sum menjual 200 porsi.
"Saya optimis, sedikit-sedikit, [tiwul] ini bisa dinaikkan kelasnya. Biar yang makan bukan lagi orang ndeso, yang beli juga bukan orang ndeso," ujar Tri.
Tri tidak sendirian. Seorang perempuan yang dipanggil Bu Hadi menjajakan tiwul khasnya di tepi jalan AM Sangaji, Kota Yogyakarta. Di kota yang sama, tepatnya di Pasar Ringin, tiwul Bu Martini juga tersohor. Di Gunung Kidul, kabupaten sebelah timur Bantul, kedai Tiwul Yu Tum juga telah masyhur sejak 1985. Semua untuk make tiwul great again.
Editor: Ivan Aulia Ahsan