tirto.id - Sekitar sebulan sejak dilantik sebagai Menteri Pendidkan dan Kebudayaan (Mendikbud), Nadiem Makarim mewacanakan ‘fleksibiltas’ sebagai kata kunci atas kebijakan-kebijakannya selama lima tahun ke depan. Fleksibilitas ini, menurut Nadiem, sejalan dengan visi Presiden Joko Widodo di bidang pendidikan yang ingin mendorong kurikulum di Indonesia “sejalan dengan perubahan dunia”.
Berbagai rencana kebijakan pun dilontarkan ke publik. Yang terbaru, Rabu (11/12/2019), mantan bos Gojek itu mengumumkan kebijakan bertajuk “merdeka belajar”.
Kebijakan ini terdiri dari empat program pokok. Pertama, penyelenggaraan Ujian Sekolah Berbasis Nasional (USBN) per 2020 bakal dilimpahkan kepada sekolah. Setiap sekolah diberi wewenang menilai siswa lewat metode yang lebih luwes, misal tes tertulis atau bentuk lain seperti tugas kelompok dan karya tulis.
“Dengan itu, guru dan sekolah lebih merdeka dalam penilaian hasil belajar siswa. Anggaran USBN sendiri dapat dialihkan untuk mengembangkan kapasitas guru dan sekolah, guna meningkatkan kualitas pembelajaran,” terang Nadiem dalam rilis pers yang diterima Tirto, Rabu (11/12/2019).
Dua program pokok berikutnya adalah penyederhanaan penyusunan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) dan pemetaan zonasi Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB).
“Penulisan RPP dilakukan dengan efisien dan efektif sehingga guru memiliki lebih banyak waktu untuk mempersiapkan dan mengevaluasi proses pembelajaran itu sendiri. Satu halaman saja cukup," sambung dia.
Lantas program terakhir, sekaligus yang paling memantik banyak reaksi, adalah rencana menghapus Ujian Nasional (UN) per 2021. Sebagai penggantinya, Nadiem bakal merancang ujian baru dengan nama Asesmen Kompetensi Minimum dan Survei Karakter.
Memahami Gebrakan Nadiem
Asesmen Kompetensi Minimum, menurut Nadiem, adalah sistem ujian baru yang mengedepankan kemampuan bernalar. Modelnya akan didasarkan pada dua bentuk, yakni kemampuan nalar numerasi (matematika) dan literasi (bahasa).
Nadiem menjelaskan literasi bukan berarti menguji kemampuan membaca, tapi juga kemampuan menganalisis suatu bacaan serta memahami konsep di baliknya. Sedangkan numerasi juga bukan pelajaran matematika, melainkan penekanannya lebih kepada kemampuan menganalisis menggunakan angka.
“Keduanya akan menyederhanakan asesmen kompetensi yang dilakukan mulai 2021. Bukan berdasarkan mata pelajaran lagi. Bukan berdasarkan penguasaan konten materi,” ucap Nadiem.
Sedangkan satu aspek uji lain, yakni Survei Karakter, menurut Nadiem bukanlah sebuah tes. Aspek ini hanya berisi survei untuk menghimpun seberapa tahu siswa dengan kondisi sekitarnya dan dalam rangka menanamkan nilai-nilai pendidikan karakter.
“Kita tidak mengetahui apakah asas-asas Pancasila itu benar-benar dirasakan oleh siswa se-Indonesia. Kita akan menanyakan survei-survei untuk mengetahui ekosistem sekolahnya. Bagaimana implementasi gotong royong. Apakah level toleransinya sehat dan baik di sekolah itu?” ujar Nadiem.
Dua aspek uji di atas rencananya bakal diselenggarakan saat siswa berada di tengah jenjang. Misalnya kelas 4 untuk SD, kelas 8 untuk SMP/sederajat, dan kelas 11 untuk SMA/sederajat. Nantinya hasil tes ini juga tidak akan dipakai untuk seleksi jenjang berikutnya, guna membuat siswa tidak terbebani.
“Arah kebijakan ini juga mengacu pada praktik baik pada level internasional seperti PISA (Programme for International Student Assessment) dan TIMSS (Trends in International Mathematics and Science Study),” tukas Nadiem.
Wacana-wacana menjanjikan di atas membuat Nadiem banjir apresiasi.
Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK) Muhadjir Effendy misal, menilai inisiatif ini positif karena dapat membuat “guru lebih fokus pada pembelajaran siswa, dan siswa pun bisa lebih banyak belajar.”
Begitu pula Wakil Presiden Ma’ruf Amin yang menilai langkah ini positif sepanjang dibarengi dengan kajian yang jelas. “Enggak ada masalah [UN] ditiadakan,” kata dia seperti dilansir Antara.
Harus Dibarengi Fokus Lain
Lain Ma’ruf, lain pula Ubaid Matraji. Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) tersebut tidak secara spesifik menilai langkah Nadiem membuat sistem asesmen baru sebagai hal positif atau negatif.
“Belum bisa menilai, karena masih belum dapat gambaran jelas bagaimana itu konten dari asesmen dan survei,” kata dia ketika dihubungi reporter Tirto, Rabu (11/12/2019) sore.
Kendati demikian, soal kebijakan penghapusan sistem UN yang berlaku saat ini, Ubaid seratus persen setuju. Menurutnya sistem UN saat ini tidak lagi relevan dengan kebutuhan masa depan siswa dan justru menjadi beban.
“UN itu harusnya sejak sekarang dihapus, kenapa harus nunggu 2021,” kata dia. “Problem kehidupan ini sudah cukup kompleks, sistem UN sekarang membuat sekolah seolah jadi menara gading yang berjarak jauh dari masyarakat.”
Selain menyiapkan materi uji yang lebih manusiawi bagi siswa, kebijakan penghapusan UN juga harus dibarengi program baru guna menambah peningkatan kualitas guru. Untuk itu, dia menyarankan Kemendikbud tidak saja membuat asesmen untuk siswa, tapi juga mencetuskan model asesmen baru bagi guru.
“Fokus pemerintahan harus dialihkan, jangan yang diubek-ubek siswanya terus, gurunya gimana?” kata dia. “Sebab guru yang baguslah yang nanti akan melahirkan siswa yang bagus.”
Intinya, apa pun kebijakan Nadiem sebagai pengganti UN, harus dibarengi dengan program tak kalah ketat untuk menambah kompetensi guru.
“Jadi, Pak Nadiem jangan salah fokus. Kalau fokusnya masih ke siswa saja, saya kira Kemendikbud masih terjebak pada paradigma lama yang memandang murid sebagai objek,” pungkasnya.
Editor: Rio Apinino