tirto.id - Sejumlah politikus partai berbasis pemilih Islam menganggap tak ada yang salah dengan membawa isu-isu politik ke dalam masjid. Mereka berdalil sepanjang isu politik yang dibicarakan dalam masjid mengarah pada kebaikan hidup berbangsa dan bernegara, maka hal itu sah-sah saja dilakukan.
"Politik dalam arti yang luas bagus. Malah civil society itu. Umat jadi tahu mana yang benar dan yang salah," kata Ketua DPP PKS Mardani kepada Tirto, Rabu (17/4/2018).
Contohnya kata Mardani, isu politik yang berkaitan dengan persoalan kebangsaan seperti kampanye antikorupsi dan apa saja hak kewajiban setiap warga negara. Menurut Mardani menjauhkan masjid dari politik justru membuat umat Islam -- yang menjadi mayoritas penduduk di Indonesia -- bodoh dan mudah dibikin gaduh. Sehingga, kata anggota Komisi II DPR ini umat Islam harus mengerti politik, ekonomi, dan hal-hal selain agama.
"Yang tidak boleh itu kampanye pilkada, pilpres, kampanye yang sifatnya personal. Kalau bab kekuatan umat, kesatuan bangsa, sebaiknya tetap ada," kata Mardani.
Wasekjen PKB Jazilul Fawaid punya pendapat senada dengan Mardani. Menurutnya, masjid sah sebagai tempat berpolitik kebangsaan. Karena, menurutnya, menyampaikan kebaikan bisa di mana saja tempatnya, termasuk masjid.
"Yang tidak boleh itu menyuarakan kebencian kepada satu pihak. Kampanye secara terang-terangan. Itu kami tidak setuju," kata Jazilul.
Sementara itu, Ketua DPP PPP, Reni Marlinawati menilai masjid merupakan tempat paling strategis bagi partai-partai Islam melakukan pendidikan politik terhadap umat Islam. "Kalau sekadar memberikan pendidikan politik kan tidak dilarang. Yang dilarang itu pasang bendera di masjid," kata Reni.
Lagi pula, kata Reni, sebagai partai Islam PPP bertanggung jawab terhadap aspirasi umat Islam. Dan masjid, ia bilang, salah satu medium yang paling efektif untuk mendengarkan aspirasi-aspirasi tersebut. "Kalau dijauhkan dari masjid, bagaimana partai Islam bisa mendengar suara massanya?", kata Ketua Fraksi PPP di DPR RI ini.
Politik Partai Selalu Menuju Kekuasaan
Ketua Umum PP Lakpesdam NU, Rumadi Ahmad menilai frasa politik kebangsaan yang disampaikan para politikus tersebut harus dibaca secara kritis. Sebab menurutnya eksistensi partai politik selalu bertujuan meraih kekuasaan. Sehingga, sangat mungkin politik kebangsaan menurut mereka adalah politik meraih kekuasaan itu sendiri.
"Politik kebangsaan parpol itu ya programnya dia. Makanya agak mengkhawatirkan kalau yang ngomong parpol yang dibungkus dengan agama," kata Rumadi kepada Tirto.
Rumadi mencontohkan ketegangan di Pilkada DKI 2017 Jakarta akibat munculnya spanduk larangan menyalatkan jenazah bagi pemilih Basuki Tjahaja Purnama. Larangan itu menurutnya datang dari masjid. "Saya sih sedapat mungkin masjid disterilkan dari politik yang orientasinya kekuasaan," kata Rumadi.
Menurut Rumadi kalaupun pemerintah maupun masyarakat sepakat masjid bisa digunakan untuk membahas politik bertema kebangsaan dan kerakyatan, hal itu mesti dilakukan dengan hati-hati. Karena menurutnya, politik kebangsaan dan kerakyatan juga bisa mengarah pada orientasi politik kekuasaan.
"Orang mengkritik kebijakan Jokowi di masjid. Itu bukan untuk mendidik rakyat, justru memecah belah rakyat. Jadi politik kebangsaan harus dipastikan menyatukan rakyat. Bukan memecah belah rakyat," kata Rumadi.
Bisa Munculkan Konflik Horizontal
Deputi Direktur The Political Literation Institute, Iding Rasyidin sepakat dengan Rumadi. Ia menilai tema politik kebangsaan hanya kedok partai Islam untuk memanfaatkan masjid sebagai tempat kampanye belaka.
"Kalau dia orang partai misalnya dan suka ceramah, dia khotbah, dengan mudah dan tidak perlu biaya. Makanya paling menggiurkan beraktivitas politik di masjid," kata Iding kepada Tirto.
Padahal, menurut Iding, hal itu dilarang oleh Peraturan KPU (PKPU) yang termaktub dalam pasal 68 ayat (1) poin j PKPU Nomor 4/2017 tentang kampanye Pilgub, Pilbup, dan Pilwalkot.
Iding mengatakan sejumlah politikus dari partai berbasis pemilih Islam menyadari masjid merupakan tempat efektif menggaet simpati massa. Karena, masjid tidak memungkinkan politikus di luar agama Islam untuk hadir dan membicarakan isu politik di masjid. "Ini berbeda mungkin dengan kampus yang bisa menghadirkan calon-calon dan partai politik dari berbagai agama," kata Iding.
Kampanye maupun membahas isu politik di masjid menurut Iding bisa menciptakan konflik. "Misalnya di satu masjid ada bendera PPP, PAN, PKS, PKB, PBB. Aktivis-aktivisnya ada yang pro ke salah satu partai itu. Jadi potensi konfliknya sangat besar," jelas Iding.
Doktor Ilmu Politik UIN Jakarta ini menyatakan Islam politik di Indonesia berharap para politikus tidak memainkan sentimen agama dalam berpolitik. Tapi juga perlu membicarakan isu sosial kemasyarakatan di luar tempat ibadah. "Misalnya ada isu-isu nasional tentang buruh dan ekonomi, seharusnya partai Islam bersuara dalam perspektif Islam seperti apa. Selama ini kan tidak kelihatan," kata Iding.
Penulis: M. Ahsan Ridhoi
Editor: Muhammad Akbar Wijaya