tirto.id - Jalan hidup Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok alias BTP seperti tak pernah mulus. Baru-baru ini ia ditentang Federasi Serikat Pekerja Pertamina Bersatu (FSPPB) karena disebut-sebut akan diberi jabatan di perusahaan pelat merah sektor energi oleh Menteri BUMN Erick Thohir.
Spanduk menolak BTP terbentang di kantor perusahaan minyak itu.
Ketua Umum FSPBB Arie Gumilar, mengutip CNN Indonesia, mengatakan alasan serikat menolak BTP adalah "rekam jejak, sikap, dan perilaku yang bersangkutan, yang selalu membuat keributan dan kegaduhan di mana-mana."
Staf Khusus Menteri BUMN Arya Sinulingga, lantas meminta serikat melihat terlebih dulu kinerja BTP jika memang terpilih di Pertamina karena toh itu gampang dievaluasi.
"Sangat gampang kalau corporate. Untung atau enggak, rugi atau enggak, kelihatan. Angka-angkanya enggak bisa bohong," kata Arya, Senin (18/11/2019).
Radikalisme?
Di luar pernyataan Arie, muncul narasi lain kenapa BTP ditolak di Pertamina, dengan mempertimbangkan latar belakangnya sebagai orang yang pernah dipenjara karena dianggap menistakan agama: bahwa serikat terpapar radikalisme.
Dugaan ini misalnya disampaikan politikus PSI Guntur Romli.
Benarkah ada karyawan BUMN yang terpapar radikalisme? Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Suhardi Alius memiliki jawabannya. Suhardi menegaskan bahwa paparan radikalisme tidak hanya di BUMN. Katanya, "jangankan BUMN, semuanya ada kok, polisi aja ada."
"Ada" yang Suhardi maksud adalah orang-orang yang terpapar radikalisme--atau lebih tepatnya ekstremis agama. "Tapi tebal-tipis. Sedikit-banyaknya, kan, masih beda-beda. Tapi sudah di mana-mana," Suhardi menegaskan.
Fakta memang menunjukkan bahwa ada pegawai BUMN yang terpapar radikalisme. Yang terbaru adalah seorang supervisor di PT Krakatau Steel (Persero). Rabu (13/11/2019) lalu dia ditangkap Densus 88 bersama tiga orang terduga teroris di Cilegon, Banten.
Keterlibatan 'orang' BUMN juga terendus dalam kerusuhan di Mako Brimob, Kelapa Dua, Depok, tahun lalu. AA (39) dan HK (38) yang berencana menyerang Mako di tengah kerusuhan mengaku dibiayai seorang pegawai yang bekerja di perusahaan negara di Pekanbaru, Riau.
Survei Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M) dan Rumah Kebangsaan, yang dirilis Ahad (8/7/2018) lalu, juga mempertegas pernyataan Suhardi. Berdasarkan analisis materi khotbah di 100 masjid di kementerian, masjid BUMN, dan masjid lembaga negara lain di Jakarta pada 29 September-21 Oktober 2017, mereka menyimpulkan ada 41 masjid yang penceramahnya menyampaikan khotbah bermuatan ekstremis.
Dari 41 masjid itu, masjid di BUMN menempati posisi pertama. Dari 37 masjid BUMN yang disurvei, terdapat 21 titik yang kedapatan jadi tempat penyampaian konten khotbah ekstrem.
Direktur Riset Setara Institute Halili mengatakan bisa saja kelompok radikal tidak menggerakkan langsung serikat untuk menolak BTP. Tapi yang jelas, mereka sangat mungkin "menumpang untuk memainkan isu."
Kepada reporter Tirto, Selasa (19/11/2019), ia menjelaskan ada dua alasan kelompok ekstremis mendompleng isu BTP. Pertama agar narasi mereka terus dikonsumsi publik, dan kedua agar jaringan mereka meluas dan mendalam. Dengan kata lain, berguna untuk mengonsolidasikan jaringan.
"Itu [penolakan terhadap BTP] menggambarkan betapa sesungguhnya yang sedang terjadi di BUMN itu adalah fenomena puncak gunung es. Yang tampak di permukaan hanya sedikit bagian kecil saja dari situasi faktual di dalamnya."
Spekulasi tentang "motif" di balik penolakan BTP muncul setelah foto Arie Gumilar mengikuti aksi yang diselenggarakan kelompok 212, yang dulu menentang BTP, tersebar di media sosial.
Tapi Arie membantah kalau dia anggota 212, demikian seperti yang dilaporkan Tempo. Hingga berita ini tayang, Arie Gumilar sama sekali tak bisa dihubungi.
Mengkaitkan radikalisme di BUMN dengan penolakan terhadap BTP memang perlu pembuktian lebih lanjut. Yang pasti, radikalisme memang bisa ada di mana-mana, tidak hanya BUMN, tetapi juga instansi-instansi pemerintah, swasta, atau bahkan polisi sekalipun, seperti disampaikan Suhardi. Pemerintah sudah menyadari bahayanya. Itulah sebabnya Presiden Jokowi menyatakan bahwa salah satu fokus pemerintahannya lima tahun kedepan adalah pemberantasan radikalisme dan intoleransi. Dia ingin kedua hal ini dilakukan secara konkret.
Penulis: Mohammad Bernie
Editor: Rio Apinino