tirto.id - Konflik di antara Israel dan Palestina kembali memuncak pada Mei 2021 lalu. Kantor berita BBC menyebut perseteruan antara Israel dan Palestina di bulan Mei sebagai yang terburuk sejak tahun 2014. Konflik ini disebut sebagai akumulasi masalah yang memuncak di antara kedua belah pihak di Yerusalem Timur.
Konflik antara Israel dan Palestina berlangsung selama 11 hari, sebelum akhirnya kedua pihak sepakat untuk melakukan gencatan senjata, dengan bantuan Mesir. Sebagai dampak dari pertikaian tersebut, sekitar 232 orang Palestina, termasuk 65 anak-anak, terbunuh, seperti dilansir kantor berita Al Jazeera. Dari sisi Israel, 12 orang, termasuk dua orang anak, juga kehilangan nyawa.
Selama kurun waktu tersebut, media juga telah memberitakan berbagai aspek dari konflik Israel dan Palestina, mulai dari jumlah korban, dukungan dari negara-negara lain, hingga alat tempur yang digunakan kedua belah pihak. Namun, pemberitaan ini tak sepenuhnya netral.
Seperti yang dikutip dari penelitian oleh Elad Segev dan Regula Miesch berjudul “A Systematic Procedure for Detecting News Biases: The Case of Israel in European News Sites” yang dipublikasikan pada 2011 di International Journal of Communication, peliputan media dari konflik antara bangsa Arab dan Israel mengandung berbagai jenis bias (Cohen, Adoni, & Nossek, 1993). Dalam peliputan berita, menurut mereka, tidak mungkin menghindari bias-bias tersebut; dimulai dari pandangan dan kepentingan pemilik media, lalu latar belakang, pandangan, dan nilai yang dipegang oleh jurnalis, pemilihan narasumber, lokasi, cerita, dan kata-kata yang digunakan; pemosisian kamera, medium dari cerita tersebut, penyebaran channel, dan akhirnya, persepsi dan pandangan yang berbeda dari penonton (Gitlin, 1980; Williams, 1975; Zelizer, Park, & Gudelunas, 2002).
Lebih jauh lagi, tulisan dari Gerard McTigue dari Syracuse University pada 2011 berjudul “Media Bias in Covering the Israeli-Palestinian Conflict”, juga menyebutkan bahwa faktor lain yang memengaruhi peliputan oleh media misalnya adalah negara tempat media itu berada, serta hubungan politik, sosial, ekonomi, di antara negara yang meliput dan negara-negara yang diliput pada berita.
Bagaimana dengan media-media Indonesia? Apakah bias dalam pemberitaan konflik Israel-Palestina juga terjadi?
Hasil Penelusuran
Berangkat dari pertanyaan ini, Tirto mengumpulkan dan menganalisis berita-berita terkait konflik Israel-Palestina yang dipublikasikan oleh berbagai media daring di Indonesia. Kami mengumpulkan judul-judul berita mengenai topik ini dengan menggunakan toolsMedia Cloud. Dengan alat ini, kami menggunakan kata kunci pencarian “Israel” dan “Palestina” untuk berita yang dipublikasikan pada jangka waktu antara 10 Mei hingga 22 Mei 2021.
Pada awalnya, kami berhasil mengumpulkan 5.172 judul berita dengan kata kunci “Israel” dan Palestina”. Pengumpulan data dilakukan pada 30 Mei 2021. Namun, perlu diketahui bahwa Media Cloud tidak mengumpulkan berita dari seluruh media online, melainkan hanya dari database mereka saja. Media seperti CNN Indonesia, Tirto, dan Tempo tidak termasuk dalam media yang dianalisis.
Selanjutnya, dari hasil pencarian, tim riset Tirto mengeluarkan berita-berita yang tidak berhubungan dengan konflik Israel dan Palestina dari dataset. Misalnya, berita-berita daerah yang tidak berhubungan namun secara otomatis terkumpulkan seperti “Kapolres Aceh Selatan Tinjau Lokasi Terdampak Banjir Trumon”. Selain itu, tim Tirto juga mengeluarkan berita-berita berbahasa Inggris dan berita-berita dari media yang tidak berada di bawah Dewan Pers.
Hasilnya, terkumpul sekitar 3.752 judul berita dari 19 media. Diantaranya adalah Tribunnews (termasuk di dalamnya Tribunnews Aceh, Tribunnews Kaltim, Tribunnews Jabar, dll), Republika, Okezone, Antara, Viva, Kompas, JPNN, Makassar Terkini, Gatra, Jawapos, Haluan, Harian Terbit, Solopos, Waspada, Harian Singgalang, Batam Pos, Bengkulu Ekspress, Radar Jogja, dan Tangerang Ekspress.
Dalam pengategoriannya, tim Tirto ingin melihat bagaimana media melihat kedua kubu yang berkonflik. Oleh karena itu, kami mengategorikan berita-berita tersebut menjadi empat kategori, yaitu “pro-Palestina”, “pro-Israel”, “netral”, dan “tidak berhubungan”.
Dasar dari pengategorian tersebut adalah sebagai berikut: apabila sebuah berita mendeskripsikan Israel sebagai pihak penyerang dan Palestina sebagai pihak korban, maka berita tersebut termasuk pada kategori “pro-Palestina”. Selain itu, berita yang isinya mengutuk Israel, menganggap Israel sebagai teroris, mengedepankan korban dari pihak Palestina, hingga menyerukan dukungan untuk Palestina, juga termasuk ke dalam kategori pro-Palestina.
Kemudian sebaliknya, berita-berita yang menekankan cerita-cerita dari sudut pandang Israel, negara pendukung Israel, atau informasi-informasi terkait senjata yang digunakan Israel, masuk ke dalam kategori “pro-Israel”. Meski begitu, berita yang menceritakan secara netral kondisi di Israel namun tidak menekankan sudut pandang Israel tidak termasuk ke dalam kategori ini.
Selanjutnya berita “netral” adalah berita-berita yang menceritakan konflik dari kedua kubu, tanpa tendensi memihak Israel maupun Palestina. Berita-berita ini biasanya berjudul “Kekerasan di Yerusalem, Dunia Internasional Imbau Kedua Pihak Menahan Diri” atau “Uni Eropa Desak Deeskalasi Konflik Israel-Palestina”.
Lalu, untuk kategori terakhir adalah berita-berita yang “tidak berhubungan”, yaitu berita-berita yang mencomot kata kunci Israel atau Palestina, namun isinya tidak terkait secara langsung dengan konflik yang terjadi. Misalnya berita berjudul “PENDUDUK Palestina Terancam Punah, Inilah Cara Tahanan Pria Agar Bisa Mendapat Keturunan” atau “Meski Punya Persenjataan Canggih, Israel Pernah Dibikin Malu Hamas Hanya dengan Foto Wanita Cantik”. Contoh lain adalah berita-berita terkait demonstrasi yang dilakukan untuk mendukung Palestina, namun fokusnya adalah pada demonstrasi itu sendiri, misalnya polisi yang mengamankan aksi atau pendemo yang ditangkap. Fokus berita yang demikian masuk ke dalam kategori ini.
Perlu diketahui bahwa pengategorian atau proses coding dalam riset ini dilakukan oleh satu orang. Riset ini pun merupakan riset populer sehingga apabila dijadikan rujukan akademik, sangat dianjurkan untuk menggunakan lebih dari satu coder dan menerapkan reliability test. Selain itu, riset ini hanya bersifat deskriptif dengan menganalisis sampel berita dari beberapa media. Studi lanjutan dengan wawancara kepada jurnalis atau media yang bersangkutan sangat dianjurkan.
Berdasarkan data yang dikumpulkan, diketahui bahwa media dari jaringan Tribunnews paling banyak menerbitkan berita terkait konflik Israel-Palestina. Ada sekitar 1.188 berita yang diterbitkan oleh jaringan ini. Media kedua yang paling banyak menuliskan berita tentang serangan Israel ke Palestina adalah Republika, dengan 886 berita. Kedua media ini juga lebih masif memberitakan isu ini ketimbang Okezone misalnya, yang hanya menuliskan sekitar 300-an berita. Meski begitu, Okezone berada di posisi ketiga untuk pemberitaan terbanyak mengenai isu Israel-Palestina pada bulan Mei 2021.
Berita-berita yang diterbitkan di Indonesia rata-rata membahas soal timeline konflik Israel-Palestina, breaking news tiap serangan yang terjadi, dukungan dari organisasi dan figur publik tertentu pada salah satu pihak, bantuan untuk Palestina, dan sejarah konflik Israel-Palestina.
Beberapa figur publik tertentu, kebanyakan negarawan, sering pula disebut dalam berita terkait Israel-Palestina. Presiden Indonesia, Joko Widodo (Jokowi), disebut hingga 75 kali. Pemberitaan mengenai figur ini misalnya terkait langkah-langkah Jokowi dalam merespon konflik Israel-Palestina, juga desakan dari pihak-pihak tertentu terhadap Jokowi terkait konflik ini. Selanjutnya, President Turki, Recep Tayyip Erdoğan, disebut sebanyak 55 kali, kebanyakan terkait pandangannya yang mengutuk keras Israel. Selain itu, Presiden Amerika Serikat, Joe Biden, disebut sebanyak 102 kali, lebih banyak dibanding kedua tokoh di atas. Penyebutan ini pun terkait langkah-langkah Amerika terkait konflik Israel-Palestina di bulan Mei. Adapun Amerika memang diketahui memiliki hubungan erat dengan Israel.
Kemudian, berita-berita yang diterbitkan oleh media daring di Indonesia, pada saat konflik terjadi di bulan Mei, mayoritas masuk ke kategori “pro-Palestina”. Jumlahnya 79,2 persen dari total berita terkait isu ini.
Selain itu, sedikit sekali pemberitaan media daring yang bertendensi “pro-Israel”, “netral”, dan “tidak berhubungan”. Berita-berita dari media daring Indonesia yang masuk kategori “pro-Israel”, misalnya, hanya berjumlah sekitar 6,9 persen dari jumlah total berita daring yang diterbitkan pada bulan Mei 2021. Berita-berita ini menunjukkan sisi cerita dari Israel, menyematkan Hamas sebagai pihak penyerang di judul berita, atau berita-berita breaking news seperti “Pejuang Hamas Mulai Serang Israel di Bagian Selatan” atau “Joe Biden Diam-diam Jual Senjata ke Israel Rp 10 Triliun, Dimuluskan Parlemen”.
Ada pula berita-berita yang bersifat tendensius terhadap perjuangan Palestina dan orang-orang yang membela Palestina. Contoh-contoh berita tersebut misalnya “VIDEO Heboh! Wanita Muda Ini Sebut Palestina Babi dalam Video TikTok”. Ada 13 judul berita yang punya tendensi negatif seperti ini, namun kami memasukkannya dalam kategori “pro-Israel”.
Sebenarnya wajar media-media di Indonesia berpihak ke Palestina, selain bahwa pencaplokan wilayah Palestina dan penggusuran terhadap warganya adalah kenyataan, solidaritas sebagai sesama Muslim, juga fakta bahwa Palestina merupakan negara yang awal sekali mengakui kemerdekaan Indonesia.Dukungan Indonesia terhadap Palestina sendiri juga ditekankan oleh Presiden Jokowi dalam Sidang Majelis Umum ke-75 PBB secara virtual pada 2020. Seperti yang dikatakan Presiden, "Palestina adalah satu-satunya negara yang hadir di Konferensi Bandung yang sampai sekarang belum menikmati kemerdekaannya. Indonesia terus konsisten memberikan dukungan bagi Palestina, untuk mendapatkan hak-haknya."
Dalam pertikaian yang terbaru ini, Menteri Luar Negeri Retno Marsudi juga menegaskan pentingnya Palestina dan Israel kembali ke meja perundingan menyusul pengumuman gencatan senjata di Gaza.
Menlu menyampaikan pernyataan itu dalam pertemuan tertutup dengan sejumlah menteri luar negeri, serta Presiden Sidang Majelis Umum ke-75 Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Volkan Bozkir, di New York, yang dilakukan setelah sesi debat yang digelar badan dunia itu khusus untuk membahas situasi Palestina pada Kamis (20/5/2021).
Selanjutnya, kami juga menghitung berita-berita dengan tendensi “pro-Israel” per masing-masing media. Dari perhitungan kami, Makassar Terkini merupakan media yang persentase berita cenderung ke sisi Israel paling tinggi, yaitu 13,0 persen, diikuti oleh Kompas (10,2 persen), dan Tribunnews (8,4 persen). Persentase ini merupakan perbandingan antara berita Pro Israel dengan total seluruh berita terkait konflik yang diterbitkan masing-masing media. Sehingga, pada dasarnya, masing-masing media memang mayoritas masuk kategori “pro-Palestina”, meski persentasenya berbeda-beda.
Berita-berita Kompas terkait konflik Israel-Palestina sebelumnya juga pernah dijadikan bahan penelitian. Penelitian dari Khusnia (2009) misalnya membandingkan pemberitaan Kompas dan Republika terkait konflik Israel-Palestina. Menurut penelitian ini pemberitaan Kompas terkesan menghindari konflik, dan menempatkan dirinya dalam posisi yang netral. Hal ini sesuai dengan falsafah inti harian ini, yaitu humanisme transendental.Sisi pemberitaan Kompas juga tak selalu sama. Dalam analisis yang dilakukan Paramahamsa dkk terhadap beberapa sampel berita Kompas misalnya, ditemukan bahwa Kompas lebih banyak menyajikan berita berbentuk feature. Kemudian, Kompas membingkai Israel sebagai penyebab masalah dalam konflik ini dan berita-berita dari Kompas lebih banyak menyoroti peran negara luar terhadap konflik Israel dan Palestina.
Dalam penelitian ini, berita-berita Kompas yang dikategorikan menceritakan sisi Israel misalnya berjudul “Bentrokan Komunitas Arab-Yahudi, Israel Hadapi Situasi Darurat”, “Safari Diplomasi Modal Israel Tingkatkan Ketegangan”, hingga “Masa Depan Negara Israel”.
Kemudian, dalam kategori “netral”, Kompas masih mendominasi. Ada sekitar 19,9 persen berita Kompas bersentimen “netral” terkait pertikaian Israel-Palestina pada bulan Mei 2021. Media-media lain yang kami amati misalnya tidak mengambil porsi berita "netral" sebanyak Kompas. Beberapa contoh berita bernada netral di Kompas, baik Kompas.com ataupun Kompas.id, misalnya “Benang Kusut Konflik Israel Vs Palestina” dan “Ada Titik Terang Gencatan Senjata di Palestina-Israel”.
Menanggapi hal ini, Wisnu Prasetya Utomo, dosen Ilmu Komunikasi FISIP dari Universitas Gadjah Mada (UGM), menyatakan pada Tirto (8/6/2021) bahwa secara umum Indonesia memang pro-Palestina.
“Kita juga nggak ada relasi dagang dengan Israel, secara politik juga. Jadi narasi semacam itu, kebanyakan berita pro-Palestina, jadi masuk akal,” katanya.
Ia juga menyatakan bahwa media-media Barat sendiri memiliki hubungan langsung dengan Israel, misalnya pemodal yang berasal dari Israel, adanya wartawan Yahudi, dan sebagainya.
Wisnu menyatakan bahwa media di Indonesia harus berhati-hati dalam merujuk berita lansiran dari kantor berita luar negeri, misalnya dari Amerika Serikat atau Inggris, misalnya Fox atau Wall Street Journal. Potensi bias pro-Israel itu mungkin bisa masuk ke dalam berita juga.
“Alternatifnya media-media kita bisa menerjemahkan Al Jazeera atau media Timur Tengah. Jadi mereka bisa punya sudut pandang berbeda,” katanya.
Selain itu, hasil temuan Tirto juga menunjukkan bahwa ada berita-berita yang tidak ada sangkut pautnya dengan konflik. Dalam hal ini, Bengkulu Ekspress memiliki persentase yang sangat besar, yakni 50,0 persen. Hal ini disebabkan media ini hanya mempublikasikan 4 berita secara keseluruhan, dan dua diantaranya tidak berhubungan secara langsung dengan konflik Israel-Palestina. Kedua berita tersebut adalah “Siswi di Bengkulu Viral Hina Palestina Dikeluarkan dari Sekolah” dan “Gub Minta Oknum Siswi Viral Hina Palestina Tidak Diberhentikan dari Sekolah”. Kedua jenis berita ini dikategorikan “tidak berhubungan”, sebab keduanya tidak lagi menyoroti konflik utama, melainkan nasib orang lain yang mengomentari konflik. Berita-berita yang membahas sub-tema terkait konflik ini dikategorikan “tidak berhubungan”.
Kemudian, meski hanya menyumbang persentase kecil, jumlah berita yang tidak berhubungan secara langsung dengan konflik cukup banyak, yakni 263 berita. Dari kumpulan-kumpulan berita tersebut, yang menggelisahkan adalah berita yang menyoroti kecantikan seseorang. Misalnya, “Cantik-cantik Mematikan, Gambaran Wanita Israel yang Jadi Anggota IDF, Tidur Pun Tak Boleh Pakai Bra”. Ada pula judul seperti “Viral Wanita Cantik dan Pelakor Minta Dikirim ke Israel, Mau Ngapain?” Kedua judul berita tersebut terkesan mereduksi tentara perempuan Israel dan wanita yang ingin membela Palestina hanya sebagai “perempuan cantik”.
Masuk pula dalam kategori ini, berita-berita terkait Gal Gadot, aktris sekaligus Miss Israel 2004 yang membela negaranya. Judul-judul tersebut seperti “Bukan Gal Gadot, Inilah Wanita Tercantik di Dunia Jadi Tentara Israel yang Perangi Palestina” dan “Profil Gal Gadot Miss Israel 2004 yang Mendoakan Palestina Saat Diserang Israel, Ayah Orang Yahudi”.
Wisnu berkata bahwa ini adalah cara media untuk meningkatkan engagement pembaca dalam isu konflik Israel-Palestina, yang cenderung jauh dari kehidupan sehari-hari orang Indonesia, melalui isu-isu yang populer seperti misalnya tubuh perempuan, atau keartisan Gal Gadot.
“Dalam banyak kasus, nggak hanya isu ini, hal ini akan terus terjadi. Karena media akan terus membuat atau mencari isu-isu yang kira-kira bisa relate dengan pembaca di sini. Karena kalau hanya fokus di isu perangnya atau isu konfliknya, isu pendudukan wilayah, dan mungkin di Indonesia ada pasar pembacanya tapi nggak luas,” katanya.
Pelabelan Israel dan Palestina
Selanjutnya terkait pelabelan pada judul berita. Sebelumnya, penelitian Deprez dan Raeymaeckers (2010) pada pemberitaan media-media di Belgia terkait konflik Israel-Palestina menemukan bahwa para pejuang Palestina biasa dilabeli 'aktivis', 'ekstremis', 'fundamentalis', 'pejuang gerilya', 'martir', 'militan', 'pembunuh', 'organisasi', 'gerakan', 'radikal', 'pejuang', 'teroris' dan 'teroris bunuh diri/suicide terrorist' oleh media-media . Label seperti 'pejuang kemerdekaan' dan 'pejuang perlawanan' tidak digunakan dalam liputan-liputan media barat terkait Palestina. Di sisi lain, ditemukan beberapa contoh tentara Israel yang disebut sebagai 'tentara pendudukan/occupying army'.
Kami juga menelusuri judul-judul berita Indonesia terkait penelitian sebelumnya dari Deprez dan Raeymaeckers. Beberapa kata kunci yang digunakan dan menyesuaikan dengan Bahasa Indonesia seperti ‘Aktivis’, ‘Gerakan’, ‘Penjajah’, ‘Ekstrimis’, ‘Fundamentalis’, ‘Grup’, ‘Pejuang (Gerilya)’, ‘Martir’, ‘Militan’, ‘Pembunuh’, ‘Organisasi’, ‘Radikal’, ‘Teroris’. Hasilnya, kebanyakan media mengasosiasikan Palestina sebagai ‘Militan’ sebanyak 15 kali dan ‘Pejuang’ sebanyak 13 kali. Penggunaan kata ‘Militan’ pun merujuk pada Hamas, kelompok di Palestina yang disebut aktif menembakkan roket ke Israel.
Sementara Israel sendiri disebut ‘Penjajah’ sebanyak 18 kali, ‘Teroris’ sebanyak 16 kali, dan ‘Pembunuh’ sebanyak 12 kali.
Tidak hanya aktor Israel dan Palestina yang diberi label yang berbeda, tetapi juga tindakan mereka yang dikaitkan dengan kata-kata tertentu. Penelitian Deprez dan Raeymaeckers menunjukkan bahwa label seperti ‘Serangan’, ‘Pembantaian’, dan ‘Bentuk Teror’ banyak digunakan untuk mendeskripsikan aksi Palestina. Hal tersebut tidak ditemukan pada berita-berita di Indonesia.
Selain itu, beberapa peneliti berpendapat bahwa pandangan media terhadap Israel dan Palestina berubah sejak pecahnya Intifada Kedua. Intifada sendiri adalah gerakan perlawanan rakyat Palestina terhadap Israel. Dalam sejarah konflik antara Palestina dan Israel, gerakan ini terjadi dua kali, yakni Intifada I pada 1987–1993 dan Intifada II atau Intifadhah al-Aqsha sejak tahun 2000. Bal Tal dan Teichman (2005) yang dikutip oleh Deprez dan Raeymaeckers (2010) mendeteksi adanya delegitimasi terhadap Palestina sejak Intifada kedua. Pergeseran juga ditekankan oleh Dante Ross (2003) dan Mandelzis (2003).
Orang-orang Palestina secara khusus digambarkan sebagai rasis, anti-Semitis, dan teroris. Sedangkan orang Israel direpresentasikan sebagai korban teror dan trauma. Alasan terjadinya pergeseran ini adalah karena perubahan dalam Gerakan Intifada sendiri. Pada Intifada pertama (tahun 1987), pemuda-pemuda Palestina melakukan protes dengan turun ke jalan, spontan, dan menggunakan batu sebagai senjata. Sementara pada Intifada Kedua, serangan dilakukan dengan lebih kejam dan serangan menggunakan senjata. Hal ini menjadi elemen yang mengubah representasi orang-orang Palestina menjadi lebih negatif (Moghadam, 2003; 65-92).
Sempat disebutkan oleh Wisnu, sebuah tulisan lawas pada 1975, yang masih relevan saat ini, berjudul “The American Media and the Palestine Problem” menyoroti bias pro-Israel pada media di Amerika, penulis mewawancarai redaktur-redaktur media di Amerika. Bias Pro-Israel itu didasari oleh wartawan yang tak mengerti konflik Timur Tengah, sentimen anti-Arab, juga lobi dari Israel. Akhirnya, terjadilah perang informasi asimetris.
Memang, tak hanya di Indonesia, bias dalam peliputan Israel-Palestina juga terdeteksi di pewartaan media-media luar negeri. Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Suzan Alkalliny berjudul “Framing of media coverage of the Palestinian - Israeli conflict in CNN and Fox News” yang dipublikasikan tahun 2017 di International Journal of English Literature and Social Sciences (IJELS), menemukan bahwa CNN dan FOX News sangat bias terhadap pihak Israel dalam framework pemberitaannya, pandangan terhadap kejadian-kejadian, narasumber, pemilihan gambar dan video, dan pembenaran untuk pihak Israel. Ini disinyalir dipengaruhi oleh konteks politik dari negara di mana kedua media tersebut berasal dan kepentingan politik Amerika Serikat dan Israel.
Di sisi lain, Israel juga sempat menekan kantor berita Inggris BBC untuk mengubah judul mereka pada Oktober 2015. Saat itu, terjadi insiden penusukan di Yerusalem yang dilakukan seorang warga Palestina yang menewaskan dua warga Israel. Adapun warga Palestina ini akhirnya ditembak mati oleh polisi. Menurut Times of Israel, awalnya BBC menuliskan pemberitaan ini dengan judul “Palestinian shot dead after Jerusalem attack kills two.” (Warga Palestina ditembak mati setelah serangan di Yerusalem menewaskan dua orang). Karena judul ini dianggap tak mengindahkan dua korban jiwa dari pihak Israel, BBC didesak oleh pihak Israel untuk mengganti judul berita tersebut. Ketika berita BBC mengenai hal ini diakses pada 8 Juni 2021, judulnya telah diganti menjadi “Israelis killed in Jerusalem, Palestinians banned from Old City.” (Warga Israel terbunuh di Yerusalem, Warga Palestina dilarang masuk Kota Tua).
Editor: Farida Susanty