tirto.id - Banjir melanda Kabupaten Konawe Utara, Sulawesi Tenggara sejak Sabtu, 1 Juni 2019 hingga hari ini. Praktik pertambangan dituding jadi salah satu biang keladi dari bencana yang membuat sekitar 4.198 jiwa mengungsi.
Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Sulawesi Tenggara Saharudin berkata, sepanjang 2009 sampai 2012 saja sudah terdapat 71 Izin Usaha Pertambangan (IUP) di Kabupaten Konawe Utara, dan 68 di antaranya merupakan izin pertambangan nikel, sisanya izin pertambangan batu kapur, emas, serta kromit.
“Sampai sekarang itu untuk dua izin, pertambangan dan kelapa sawit, itu kawasan hutan yang habis itu, yang sudah ditambang dan dibuka itu sudah 38.400 hektare," kata Udin saat dihubungi reporter Tirto, pada Rabu (12/6/2019).
Kondisi tersebut diperparah karena sebagian besar tambang di Konawe Utara beroperasi secara ilegal alias tidak berizin dan tidak tercatat.
Hal ini diakui Wakil Gubernur Sulawesi Tenggara (Sultra), Lukman Abunawas. Ia menyebut kegiatan pertambangan dan kerusakan lingkungan menjadi penyebab banjir bandang yang melumpuhkan Kabupten Konawe Utara.
Lukman mengatakan, sejak menjadi daerah otonomi baru (DOB), banjir yang terjadi kali ini merupakan yang terparah dan meluas hingga 6 kecamatan. “Ini memang karena di sana banyak aktivitas penambangan dan juga karena lingkungan hidup yang sudah tidak tertata dengan baik,” kata Lukman seperti dikutip media lokal Sultra, zonasultra.com, pada 11 Juni 2019.
Pernyataan senada disampailan Direktur Kampanye Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Melky Nahar. Menurut dia, jumlah izin tambang yang mencapai 70 itu sudah lebih cukup untuk membuat kerusakan lingkungan. Lebih-lebih sebagian pertambangan beroperasi di kawasan hutan dan daerah aliran sungai.
Melky menilai krisis lingkungan akibat tambang tidak lepas dari praktik korup dalam proses perizinannya. Sebab, izin usaha pertambangan kerap kali digunakan sebagai "jualan" oleh para pejabat di daerah, termasuk kepala daerah.
“Apalagi menjelang dan sesudah elektoral [Pilkada] dulu. Tak heran tren penerbitan IUP itu naik," kata Melky saat dihubungi reporter Tirto, pada Rabu (12/6/2019).
Pendapat Melky bukan tanpa dasar. Pada 2017 lalu, misalnya, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) resmi mentersangkakan mantan Bupati Konawe Utara Aswad Sulaiman. Ia diduga menerima suap Rp13 miliar dari sejumlah perusahaan pertambangan untuk memuluskan perizinan selama menjabat sebagai bupati periode 2007-2009.
Akibat perbuatannya itu, negara diduga mengalami kerugian mencapai Rp2,7 triliun. Angka itu merupakan keuntungan yang dikeruk perusahaan karena menambang dengan izin yang diperoleh dengan suap.
Setali tiga uang, Gubernur Sulawesi Tenggara Nur Alam pun juga bermain dengan izin tambang. Politikus Partai Amanat Nasional (PAN) itu diduga telah memperkaya diri sendiri sebesar Rp2,7 miliar dan menerima gratifikasi Rp40,2 miliar dari Richcorp International Ltd.
Seluruh uang itu terkait dengan kewenangan Nur Alam untuk menyetujui pencadangan wilayah pertambangan, Izin Usaha Pertambangan (IUP) eksplorasi, dan peningkatan IUP menjadi izin usaha pertambangan operasi produksi kepada PT Anugerah Harisma Barakah di wilayah Sultra pada 2008 hingga 2014. Perbuatannya itu pun berakibat kerugian negara sebesar Rp1,5 triliun.
Atas tindakannya itu, Nur Alam pun divonis 12 tahun penjara, denda Rp750 juta, dan membayar uang pengganti Rp2,7 miliar oleh Mahkamah Agung.
“Jika proses penerbitan izin terjadi di ruang gelap, maka jangan heran kemudian Pemda diharapkan untuk peduli keselamatan rakyat dan lingkungan,” kata Melky.
Karena itu, ia menuntut ada evaluasi menyeluruh terkait usaha pertambangan di Konawe Utara. Ia pun menuntut adanya penegakan hukum yang tegas dan transparan pada perusahaan yang tidak menunaikan kewajibannya, dan pemulihan kawasan yang sudah dihancurkan tambang.
Terkait ini, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya mengatakan baru akan merapatkan persoalan banjir di Konawe Utara dengan berbagai direktorat jenderal di kementeriannya.
Politikus Partai Nasdem ini mengklaim institusinya akan meneliti apakah banjir besar yang membuat ribuan orang mengungsi itu diakibatkan oleh perizinan tambang atau penyebab lainnya.
“Kalau soal ekses dari perizinan, kami akan teliti dulu. Saya minta datanya, [sedang] dikumpulkan, dari (Direktorat Jenderal) Konservasi, Planologi, DAS dan Hutan Produksi. Jadi kami teliti dulu. Tapi, memang indikasinya ada,” kata Siti di Jakarta, seperti dikutip Antara, Senin (10/6/2019).
Ia mengatakan, hal itu diperlulam mengingat masalah tersebut menyentuh banyak aspek, mulai dari tambang, pertanian, perkebunan, sistem drainase, dan lanskap.
Penulis: Mohammad Bernie
Editor: Abdul Aziz