tirto.id - Salah satu partai pendukung Joko Widodo kala pemilihan Walikota Solo dulu adalah PKS. Ahmad Dhani pernah ribut dengan FPI karena lambang album Dewa 19 dianggap menistakan Islam. Fadli Zon pernah jadi tim sukses Jokowi-Basuki Tjahaja Purnama dalam Pilgub DKI Jakarta.
Peristiwa-peristiwa di atas membuktikan tak ada kawan dan lawan abadi dalam politik. Contoh lain yang relatif baru adalah: Megawati Soekarnoputri-Prabowo Subianto.
Lima tahun lalu koalisi Prabowo dan Megawati yang sudah terjalin sekian tahun bubar. Biang keladinya adalah karena Megawati mendukung Jokowi sebagai calon presiden pada Pemilu 2014. Sikap Megawati dianggap pengkhianatan terhadap komitmen Perjanjian Batu Tulis yang diteken pada 16 Mei 2009.
Dalam poin ke-7 perjanjian itu tertulis jelas: "Megawati Soekarnoputri mendukung pencalonan Prabowo Subianto sebagai calon presiden pada Pemilu Presiden tahun 2014."
Kita semua tahu akhirnya Prabowo kalah oleh Jokowi. Prabowo pun lantas membawa partainya, Gerindra, ke dalam barisan oposisi selama lima tahun terakhir.
Perseteruan kembali sampai pada titik klimaks pada Pilpres 2019. Prabowo dan Jokowi lagi-lagi bertemu, tapi dengan wakil yang berbeda. Prabowo didampingi Sandiaga Uno, sementara Jokowi oleh dedengkot MUI dan NU, Ma'ruf Amin.
Prabowo lagi-lagi kalah, tapi tak seperti 2014, sikapnya mulai berubah beberapa pekan terakhir.
Prabowo dan Megawati bahkan akhirnya bertemu di kediaman Megawati di wilayah elite Jakarta, Jalan Teuku Umar, Rabu (24/7/2019) lalu. Nasi dan bakwan goreng spesial dari Megawati menyambut bekas Danjen Kopassus itu.
Demi Gerindra
Direktur Eksekutif Pusat Studi Demokrasi dan Partai Politik Dedi Kurnia Syah Putra menegaskan, bukan politik namanya bila tak diwarnai manuver orang-orang yang terlibat di dalamnya. Yang perlu dilihat adalah apa motif di balik itu.
Bagi Dedi, sikap Prabowo bisa jadi disebabkan karena dia merasa waktunya dalam politik Indonesia sudah habis. Prabowo memilih mendekati Megawati, dan PDIP sebagai pemenang pileg secara umum, agar Gerindra punya masa depan yang lebih baik. Merapat ke kekuasaan dianggap lebih berdampak positif bagi perolehan suara Gerindra pada pemilu selanjutnya dibanding jadi oposisi.
"2019 ini bisa dibilang sebagai arena terakhir keikutsertaan Prabowo sebagai capres," kata Dedi kepada reporter Tirto.
Manuver Prabowo semakin dimungkinkan karena kelompok yang mendukungnya sebagai presiden, Badan Pemenangan Nasional (BPN), telah resmi dibubarkan. Pembubaran ini, kata Dedi, membuat Prabowo "tidak terbebani lagi kepentingan mitra koalisi."
Beberapa partai pendukung Prabowo seperti PAN dan Demokrat juga telah terbuka menyatakan keinginan merapat ke Jokowi--meski ada kemungkinan ditentang partai koalisi pemenang. Sejauh ini hanya PKS yang menyatakan sikap siap jadi oposisi.
Hal serupa sempat dikatakan pengamat politik dari Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Adi Prayitno. Menurutnya, ditinggal kelompok Islam konservatif--yang selama ini mendukungnya--tidak akan terlalu berdampak pada Prabowo dan Gerindra. Penyebabnya, keduanya memiliki basis pemilih nasionalis yang cukup kuat.
Karenanya Adi menilai, ini bisa jadi momentum bagi Gerindra untuk kembali ke watak awalnya sebagai partai nasionalis. "Satu-satunya PR Prabowo dan Gerindra adalah me-recovery kalau mereka tidak terlampau didominasi kelompok Islam kanan itu." Bergabung dengan koalisi Jokowi adalah langkah yang tepat untuk itu.
Politisi partai Gerindra, Ahmad Riza Patria, toh tak terlalu ambil pusing atas segala tafsir itu.
Terkait pertemuan dengan Megawati, misalnya, dia bilang tak ada yang spesial dari itu. "Dari dulu Pak Prabowo orangnya memang baik. Siapa saja mau dia temui. Tinggal cocokkan waktu saja. Jadi enggak ada yang berubah dari dulu sampai hari ini."
Riza juga menegaskan kalau Gerindra belum memutuskan apa-apa terkait posisinya dalam lima tahun ke depan. Yang pasti, kata Riza, sejauh ini Gerindra tak berminat jadi 'pengemis'.
"Kami paham, mengerti, mungkin ada kecemburuan dari koalisi dan mereka ingin kami (Gerindra) berada di luar pemerintahan. Kami enggak maksa-maksa, kami enggak minta-minta," tegas dia.
Penulis: Selfie Miftahul Jannah
Editor: Rio Apinino