Menuju konten utama

Ada Apa dengan Isi Kepala Para Penyangkal Covid-19?

Orang cenderung memilah informasi sesuai dengan preferensinya. Tak peduli benar atau salah, hal tersebut memunculkan efek dopamin dan bisa membikin candu.

Ada Apa dengan Isi Kepala Para Penyangkal Covid-19?
Ilustrasi anti-covid. Getty Images/iStockphoto

tirto.id - Sudah sekian lama dunia berjibaku mengalahkan Covid-19. Jutaan jiwa sudah melayang. Herannya, jumlah orang yang setengah percaya atau malah menyangkal Covid tumbuh. Hakikat pesan yang mereka bawa sama: COVID-19 dan vaksinnya dibuat untuk bisnis semata.

Di Indonesia, salah satu orang yang menjadi simbol ekspresi penyangkalan Covid ini adalah jawara baku hantam online Jerinx, Ribka Tjiptaning anggota DPR yang pernah bertanggung jawab atas penghapusan ayat dalam RUU Kesehatan, mantan pesulap Deddy Corbuzier, dan yang terbaru Lois Owien, seorang dokter yang bahkan namanya tak terdaftar di IDI. Tingkat dan isu penolakan mereka bervariasi.

Jika Jerinx meyakini Covid didalangi elit global, maka Ribka pernah menolak vaksin dengan alasan keamanan vaksin. Kemudian Deddy, meski tak menyangkal Covid secara gamblang, ia sering menguatkan narasi penyangkal Covid dengan cara mengundang narasumber kontroversial seperti Mardigu, Young lex, Siti Fadillah, dll ke dalam siaran podcastnya.

Terakhir Lois Owien, dokter yang belakangan viral karena tak percaya Covid. Menurut Lois peningkatan angka kematian selama ini bukan karena Covid, melainkan interaksi antar-obat. Rekaman pernyataannya kemudian meluas dan dijadikan tameng para penyangkal Covid.

Padahal jika ditelusuri, status "dokter" Lois perlu dipertanyakan karena ia tak tercantum sebagai anggota IDI. Plus Surat Tanda Registrasi (STR) mati sejak 2017. Untuk mendapat STR, seorang dokter harus lulus uji kompetensi. Artinya, tanpa STR, tenaga kesehatan tak bisa dikatakan kompeten, juga tak bisa melakukan praktik dan kerja-kerja kedokteran.

Apa sebetulnya isi pikiran para penyangkal Covid?

“Karakter psikologis orang akan memengaruhi kata dan perbuatan. Apalagi orang yang cenderung narsistik,” begitu kiranya jawaban psikolog klinis, Kasandra Putranto saat saya bertanya alasan orang percaya konspirasi (30/6/2021).

Bukan tanpa dasar, pernyataan Kasandra didukung sebuah laporan yang terbit di Social Psychological and Personality Science (SPPS, 2015). Simpulan deduktif peneliti mengungkap bahwa teori konspirasi lebih dekat dengan individu narsistik dengan kecenderungan sifat paranoid mereka.

Sementara terkait kemampuan berpikir, penganut konspirasi dianggap lebih intuitif, alih-alih analitik. Jika jeli Anda bisa menemukan pola argumen mereka membentuk penalaran melingkar, pengulangan “bukti” yang belum teruji, dan lemah logika. Setidaknya begitulah pernyataan Swami, dkk dalam studi “Analytic Thinking Reduces Belief in Conspiracy Theories” (2014, pdf).

Coba saja tengok argumen-argumen di media sosial yang membandingkan Indonesia dengan gaya hidup anyar di Singapura. Alih-alih berpikir bagaimana Singapura mampu menyetarakan Covid dengan flu karena taat protokol kesehatan dan tingginya angka vaksinasi, sejumlah penyangkal Covid malah menuduh virus ini sengaja disemai di Indonesia.

“Di sini malah dijadikan bisnis antigen”

“Media di Indonesia memang suka membesar-besarkan, padahal cuma seperti flu.”

Mereka terjebak dengan keyakinannya sendiri karena merasa paling penting. Orang lain harus menerima dan memperhatikannya,” kata Kasandra.

Karen Douglas, psikolog sosial dari Universitas Kent di Inggris mengatakan ada beberapa motif yang melatarbelakangi kepercayaan kelompok ini. Selain motif keamanan, ada juga motif eksistensial dan motif sosial.

Pada hakikatnya manusia tak suka berada dalam ketidakberdayaan. Teori konspirasi setidaknya menyediakan akses kendali atas situasi yang tak menentu sehingga manusia tetap eksis di dunia sosial di mana kecenderungan manusia untuk berlomba menjadi yang paling menonjol adalah alamiah belaka.

“Punya informasi yang berbeda memberi perasaan superior atas orang lain, salah satu cara menjadi unik,” kata profesor yang melakukan riset tentang teori konspirasi ini.

Jika ditarik benang merahnya persis situasi sekarang: kita terombang-ambing dalam gelombang mutasi virus, sementara Jerinx dan kawanannya tetap getol mengampanyekan hoaks Covid. Tentu dengan mencatut berita dari sumber abal-abal atau memelintir sumber terpercaya.

Teori Konspirasi Bikin Ketagihan

Dengan penalaran sederhana manusia idealnya bisa mengukur prioritas keselamatan diri. Dalam situasi seperti sekarang, mempercayai Covid dan menaati prokes adalah jalan terbaik.

Tapi pilihan para penyangkal Covid ini memang lain dari kebanyakan. Mereka cenderung mengadopsi penjelasan teori konspirasi dan mencari musuh imajiner agar terlihat benar. Misalnya menyalahkan media dan menuduhnya melebih-lebihkan fakta, lantas berasumsi bahwa semua kedaruratan ini diciptakan oleh "elite global".

“Polanya berulang, pertama mencari musuh imajiner, lalu bersiap untuk bertarung. Tahap terakhir biasanya berakhir tragis: menyakiti orang yang tidak bersalah,” kata Marchlewska dalam penelitiannya terhadap konspirasi berjamaah.

Dalam kasus Covid, fase “menyakiti orang lain” bisa diartikan ketika orang tidak taat prokes kemudian menyebarkan virus ke sekitar. Yang lebih berbahaya, menurut Sara Gorman, spesialis kesehatan masyarakat, dan ayahnya, Jack, seorang psikiater, pola ini membikin kecanduan.

Ketika otak memproses informasi yang diinginkan--meskipun salah, namun sejalan dengan keyakinannya--maka dopamin akan meningkat. Mirip sensasi mengonsumsi beberapa jenis narkotika, hormon ini memicu perasaan senang dan bahagia.

“Kepercayaan yang ekstrem bisa membuat ketagihan,” begitulah kiranya deduksi Gorman dan Jack yang tertulis dalam buku Denying to the Grave: Why We Ignore the Facts That Will Save Us (2016).

Di lain sisi saat keyakinan mereka dibantah dengan informasi yang tak sejalan, orang-orang ini akan mengeluarkan respons afektif negatif. Mereka, menurut Kasandra, cenderung agresif dan dapat melakukan kekerasan.

“Korteks prafrontal mereka (bermasalah), tidak suka melihat bukti ilmiah, jadi hanya mau menggunakan pemikirannya sendiri,” ungkap Kasandra saat berbincang bersama Tirto lewat saluran virtual.

Korteks Prafrontal adalah bagian otak yang mengatur fungsi eksekutif, yaitu kemampuan memecahkan masalah, mengontrol diri, menimbang konsekuensi, dan lain-lain. Bagian ini berkembang di masa puber dan hampir sempurna di usia 25 tahun. Karenanya, anak dan remaja lebih sering berlaku impulsif dan rentan terpengaruh dibanding orang dewasa.

Infografik Pemikiran Kelompok Konspirasi Covid

Infografik Pemikiran Kelompok Konspirasi Covid. tirto.id/Quita

Produk Evolusi

Kecenderungan manusia adalah memercayai hal-hal yang sejalan prasangka mereka – terlepas dari benar atau tidak – sifat tersebut naluriah. Apalagi ketika mereka berada dalam lingkaran informasi salah yang diputar berulang kali, ditambah latar belakang menyakitkan seperti sekarang: pandemi, krisis, ketidakpercayaan pada pemerintah.

Otak bisa salah mengartikan “keakraban” informasi tersebut sebagai kebenaran. Dalam studi 2019 berjudul “Tribalism is Human Nature”, penalaran semacam ini merupakan bagian sifat dasar manusia--yang lahir dari proses evolusi. Studi ini dikerjakan oleh Cory J. Clark, Brittany S. Liu, Bo M. Winegard,dan Peter H. Ditto.

“Bias semacam ini adalah fitur kognisi manusia, alamiah, dan hampir tak bisa hilang.”

Kecenderungan memilah dan memutarbalikkan fakta agar sejalan dengan keyakinan dikenal sebagai penalaran bermotif. Kondisi ini muncul saat terjadi persaingan antar kelompok dalam proses evolusi. Tujuannya adalah membentuk kesetiaan sekaligus kewaspadaan pada kelompok lain.

Analisis Clark dkk mengatakan bahwa kita semua melakukannya. Apalagi kini ketika internet menyediakan informasi tak terbatas untuk dipilih sebagai realitas. Hanya saja kadarnya berbeda pada setiap orang. Karena itulah jika dilihat pada situasi sekarang kelompok antitesis Covid juga banyak macamnya.

Ada yang sama sekali mengingkari Covid, ada pula kelompok “percaya sebagian” yang meyakini Covid sebagai sebatas flu biasa. Pertanyaannya kini, bagaimana mengenali kebenaran, jika otak saja bisa “salah” menafsirkan informasi palsu?

Jawabannya adalah menerapkan standar ilmiah. Demikian ungkap Margarita Maria Maramis, Kepala Instalasi Rawat Inap (IRNA) Rumah Sakit Jiwa Dr. Soetomo. Teori konspirasi, meski seringkali konyol,mengandung beberapa pemikiran logis yang kemudian diplintir. Untuk mematahkannya perlu ada pembuktian sesuai prinsip ilmiah.

“Sementara untuk menguji teori ilmiah butuh waktu lama dan orang benci ketidakpastian. Walhasil teori konspirasi abadi dalam krisis karena menawarkan penjelasan sederhana,” kata Margarita dalam sitasi resmi Unair.

Teori konspirasi mustahil dihapus karena ia adalah buah pemikiran manusia. Ia mungkin hanya bisa ditekan dengan melibatkan lebih banyak informasi dari profesional kesehatan seperti dokter.

Menurut penelitian berjudul "COVID-19 misinformation: What physicians can do to stop it" (2020), dokter dipercaya oleh 90 persen sampel, termasuk sepertiganya adalah penganut konspirasi Covid. Tapi yang jelas, saran Kasandra, berhenti menghiraukan kelompok ini, karena perdebatan sia-sia hanya menyulut emosi dan melelahkan.

Badut akan berhenti menghibur jika tak ada yang menikmati pertunjukannya.

Baca juga artikel terkait HALUSINASI atau tulisan lainnya dari Aditya Widya Putri

tirto.id - Kesehatan
Penulis: Aditya Widya Putri
Editor: Windu Jusuf