Menuju konten utama

Abdul Malik: Wali Negara Sumatra Selatan yang Riwayatnya Terlupakan

Abdul Malik semula menapaki karier sebagai pendidik. Jadi politikus sejak era Revolusi.

Abdul Malik: Wali Negara Sumatra Selatan yang Riwayatnya Terlupakan
Ilustrasi Tentara. FOTO/iStockphoto

tirto.id - Pada 1947, Belanda semakin kuat bercokol di Sumatra bagian selatan. Belanda berhasil mengontrol Palembang yang strategis dan daerah-daerah lain yang bernilai ekonomis. Golongan elite lokal yang terputus hubungannya dengan Pemerintah RI di Jawa mulai berinisiatif menentukan sendiri kelangsungan daerah Sumatra Selatan.

Para elite itu punya tujuan membentuk pemerintahan sendiri. Namun, mereka tentu tidak bisa lepas dari pengaruh dan kuasa Belanda yang lebih kuat.

Pada pertengahan 1947, sebagaimana disebut dalam buku 1948 Selajang Pandang (1949, hlm. 26-27), berdirilah Panitia Daerah Istimewa Sumatera Selatan yang diketuai R.A. Soleman. Lalu, pada 16 September 1947, panitia itu mengadakan pertemuan di Balai Kota Palembang. Selain para anggota, pertemuan itu juga dihadiri para pegawai negeri, kaum terpelajar, dan alim ulama.

Panitia Daerah Istimewa Sumatera Selatan itu lalu berkembang menjadi Badan Persiapan Negara Sumatera Selatan. Selang setahun kemudian, tepatnya 28 Agustus 1948, terbentuklah Negara Sumatera Selatan berikut Dewan Perwakilan Rakjat Sementara (DPRS) yang direstui otoritas Belanda.

Pada 29 November 1948, Abdul Malik terpilih menjadi Wali Negara Sumatra Selatan. Sebuah foto di Wapenbroeder (13/01/1949) memperlihatkan Abdul Malik dilantik di Masjid Agung Palembang dengan tata cara Islam. Buku Republik Indonesia: Sumatera Selatan (1953, hlm. 241) menyebut Istana Wali Negara Sumatera Selatan dibangun di atas lahan yang kemudian menjadi Kantor Gubernur Sumatera Selatan.

Abdul Malik, tokoh kita ini, berasal dari keluarga terpandang di Palembang. Dia lahir pada 23 September 1912 di Sekayu, Musi Banyuasin, Sumatra Selatan.

Dia pernah belajar di Kweekschool (sekolah guru) di beberapa kota, di antaranya Medan, Bukittinggi, Bandung, dan juga Magelang. Dia diangkat jadi guru pada 1931 dan sejak itu dia mendapat sapaan hormat engku. Selama menjadi guru, Abdul Malik pernah bekerja hingga ke Pontianak dan Balikpapan.

Di zaman Pendudukan Jepang, seperti disebut De Locomotief (03/12/1948), Abdul Malik bekerja di sebuah institusi urusan sosial di Sungai Gerong. Setelah Indonesia merdeka, pemerintah RI yang baru terbentuk mengangkat Abdul Malik menjadi Kepala Dinas Pendidikan dan Kepercayaan di Palembang. De Locomotief juga menyebut Abdul Malik adalah pendorong gerakan pemberantasan buta huruf.

Kemudian datanglah Belanda dan Kota Palembang pun diduduki. Setelah pertempuran Lima Hari Lima Malam 1-5 Januari 1947, Abdul Malik terus bekerja sebagai pejabat Dinas Pendidikan. Pada Oktober 1947, Abdul Malik menghadiri konferensi yang digelar oleh UNESCO di Meksiko. Dia sempat pula berkunjung ke Curacao, Suriname, Amerika Serikat, dan Belanda.

Wali Negara Sumatra Selatan

Pada Februari 1949, Pemerintah Negara Sumatra Selatan kedatangan rombongan Mohammad Zainal Abidin dari Partai Rakjat Federal Lampung. De locomotief (28/02/1949) menyebut Zainal Abidin mewakili kelompok yang ingin agar Lampung jadi bagian Negara Sumatera Selatan.

Kala itu, Abdul Malik sedang berada di Jakarta untuk menghadiri pertemuan Bijeenkomst voor Federale Overleg (BFO). Tapi, dia masih bisa berkomentar kepada media bahwa Negara Sumatra Selatan siap menerima Lampung menjadi bagiannya. Tak hanya Lampung, Bengkulu dan Jambi pun hendak dijadikan bagian dari Negara Sumatera Selatan.

Koran Het Dagblad (26/03/1949) menyebut bahwa sebuah konferensi telah diadakan di kantor DPRS Sumatra Selatan. Wakil dari Bengkulu, Jambi, dan Lampung turut hadir pula dalam konferensi yang dipimpin oleh Abdul Malik itu.

Sebagai negara yang dibentuk atas dukungan Belanda, Negara Sumatera Selatan tentu saja dicap sebagai negara boneka oleh kaum Republikan. Buku Sejarah Daerah Sumatera Selatan (1991, hlm. 178) menyebut, “Negara boneka ciptaan Belanda ini tidak mendapat tempat di hati rakyat, sehingga apa yang dinamakan Negara Sumatera Selatan ini sama sekali tidak mempengaruhi perjuangan untuk mempertahankan Pemerintahan Republik.”

Sementara Pemerintah Negara Sumatera Selatan eksis di Palembang dan kota-kota sekitarnya yang diduduki militer Belanda, tentara dan laskar Republik dan sekutunya sedang bergerilya di daerah pedalaman. Artinya, Belanda sebenarnya tidak sepenuhnya menguasai “seluruh” Sumatra Selatan. Padahal, Belanda punya kekuatan militer cukup kuat, yaitu Brigade Y membawahi Batalyon Gadjah Merah dan Batalyon Stoottroepen. Meski tak bisa dipungkiri juga, eksistensi Negara Sumatra Selatan terjaga berkat kesatuan-kesatuan militer itu.

Infografik Negara Sumatera Selatan

Infografik Negara Sumatera Selatan. tirto.id/Fuad

Setelah Agresi Militer II, Belanda berhasil menduduki ibu kota Yogyakarta dan menawan pimpinan Republik termasuk presiden Sukarno. Namun, posisi politik Belanda di meja perundingan justru melemah setelah itu. Hingga kemudian terjadilah gencatan senjata yang disusul Kesepatakan Roem-Royen (yang membuat TNI keluar dari sarang gerilya) dan Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag pada 1949.

Dalam KMB, Belanda akhirnya mengakui kedaulatan Indonesia. Di sisi lain, Indonesia beralih bentuk menjadi Republik Indonesia Serikat (RIS) dengan beberapa negara boneka Belanda menjadi bagiannya.

Abdul Malik turut hadir dalam KMB di Den Haag sebagai salah satu wakil BFO. Akhir 1949 hingga awal 1950 adalah masa transisi yang sulit bagi politisi federal di Indonesia. Negara Sumatera Selatan yang dipimpin Abdul Malik kemudian melakukan penyesuaian akan keadaan yang baru itu.

Abdul Malik, pada 17 Februari 1950, memproklamasikan bahwa Negara Sumatra Selatan menerima otoritas RIS melalui Komisaris Pemerintah RIS Mohamad Isa. Namun, eksistensi Negara Sumatra Selatan tak bertahan lama. Sebulan setelah proklamasi itu, pada 18 Maret 1950, Negara Sumatera Selatan dibubarkan dan Provinsi Sumatra Selatan terbentuk.

Abdul Malik pun turun dari jabatannya setelah itu. Sementara itu, Muhammad Isa naik menjadi Gubernur Sumatra Selatan.

Meski kehilangan jabatan, Abdul Malik toh tetap berkecimpung di dunia politik. Buku Republik Indonesia: Sumatera Selatan (1953, hlm. 201) menyebut dia menjadi anggota terkemuka dari Partai Persatuan Indonesia Raya (PIR) di Palembang.

Nama Abdul Malik dan Negara Sumatera Selatan kemudian perlahan tenggelam. Masyarakat Palembang kini belum tentu mengenal nama maupun sepak terjang Abdul Malik.

Baca juga artikel terkait SUMATRA SELATAN atau tulisan lainnya dari Petrik Matanasi

tirto.id - Politik
Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Fadrik Aziz Firdausi