tirto.id - Pancasila masih menjadi dasar negara, meski tidak tanpa perdebatan. Sejak republik ini berdiri, ada bagian bangsa ini yang beraspirasi bahwa syariat Islam perlu diformalkan oleh negara lewat frasa tambahan pada sila pertama Pancasila: "dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya."
Rumusan dasar negara versi Piagam Jakarta tersebut akhirnya tak dipakai. Perdebatan kembali mengemuka pada Sidang Konstituante pada 1956-1959. Terjadi kebuntuan antara pihak yang mempertahankan Pancasila dengan pihak yang memperjuangkan formalisasi syariat Islam.
Dua-duanya tak mencapai 2/3 suara keseluruhan, sampai akhirnya Presiden Sukarno mengeluarkan Dekrit Presiden pada 5 Juli 1959 yang membubarkan Dewan Konstituante. UUD 1945 diberlakukan kembali dan Pancasila pun tetap dalam bentuk yang kita kenal sekarang ini.
Belakangan, Pancasila kembali menjadi perhatian. Bukan semata-mata sebagai isu sosial, tapi juga dalam konteks politis. Pemerintah bahkan membuat Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) sebagai tangan kanan pemberi saran dan nasihat; terutama untuk pembinaan ideologi Pancasila secara menyeluruh dan berkelanjutan. Sebelum menjadi badan, lembaga itu didirikan sebagai Unit Kerja Presiden (UKP).
Salah satu lontaran terkait Pancasila dari badan itu adalah “memori generasi muda tentang Pancasila dianggap cenderung kosong," yang diucapkan Wakil Kepala Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) Hariyono. Sebelumnya, pada era Orde Baru, Presiden Soeharto sempat mengeluarkan Instruksi Presiden No.12/1982 tentang pendidikan politik bagi generasi muda. Salah satu amanat dari Inpres itu adalah penyelenggaraan penataran Pancasila bagi generasi muda.
Benarkah generasi muda tak punya memori tentang Pancasila? Kami mengadakan riset terhadap generasi Z untuk menjawabnya.
Generasi Z (Gen Z) dapat dideskripsikan sebagai mereka yang lahir antara 1995 hingga 2014. Beberapa dari mereka juga sudah merasakan beberapa pemilu, mencari atau punya pekerjaan, dan pandangannya mempengaruhi situasi politik, ekonomi, dan sosial.
Untuk mengetahui pemahaman dan preferensi Generasi Z di Indonesia mengenai Pancasila, Tirto melakukan survei terhadap 990 responden yang berusia 17 hingga 20 tahun. Survei ini dilakukan pada 12-13 Juli 2018 dengan Jakpat sebagai penyedia platform.
1. Metodologi Riset
2. Profil Responden
Pada survei ini, berdasarkan jenis kelamin, respondennya didominasi oleh laki-laki. Hal itu ditunjukan dengan proporsinya mencapai 72,02 persen. Sementara, dari sisi usia, proporsinya cukup merata. Jumlah terbanyaknya pada usia 20 tahun (30,20 persen); sementara jumlah terkecilnya ada pada usia 17 tahun (20,40 persen).
Mayoritas responden dalam riset ini diketahui berlatar belakang pendidikan SMA atau sederajat. Proporsinya mencapai 81,92 persen. Sementara itu, responden dengan latar belakang pendidikan diploma diketahui hanya sebesar 0,91 persen.
Artinya, jenis responden--baik dari mayoritas usia dan pendidikan, cukup representatif dalam keterkaitannya dengan suara/sikap pandangan politik. Responden dianggap sudah mampu dalam memberi pandangan secara mandiri.
3. Hanya 33,74% Mampu Sebutkan Teks & Lambang Pancasila dengan Benar
Untuk mengetahui pemahaman generasi Z terhadap Pancasila, kami meminta mereka untuk menyebutkan teks Pancasila, menunjukkan masing-masing lambang sila-sila dalam Pancasila, serta mengurutkannya.
Berdasarkan pertanyaan-pertanyaan tersebut, sebanyak 85,15 persen generasi Z mampu menyebutkan teks sila pertama hingga kelima secara berurutan, meski ada 14,85 persen responden yang melakukan kesalahan dalam pertanyaan itu.
Sementara itu, riset menemukan bahwa 61,92 persen Generasi Z melakukan kesalahan saat menujukan lambang sila-sila Pancasila. Hanya 38,08 persen dari mereka yang mampu melakukannya dengan benar. Hasil ini muncul saat mereka ditanyakan lima lambang sila Pancasila secara acak.
Lambang sila kedua Pancasila paling banyak memunculkan kesalahan. Sebanyak 49,80 persen generasi Z mengalami kesalahan saat diminta menunjukkan lambang untuk teks “Kemanusiaan yang adil dan beradab” itu.
Kesalahan paling sedikit muncul untuk pertanyaan lambang sila pertama Pancasila, hanya ada 9,80 persen generasi Z yang melakukan kesalahan untuk pertanyaan ini. Artinya, lambang “Bintang” menjadi lambang yang mudah dikenali.
Berbeda dengan kemampuan mereka dalam menyebutkan teks Pancasila secara berurutan, hanya ada 48,99 persen generasi Z yang mampu menunjukkan lambang sila-sila Pancasila secara berurutan. Sebanyak 51,01 persen lainnya salah dalam mengurutkan kelima lambang sila Pancasila.
Artinya, tidak semua generasi Z yang mampu menyebutkan teks Pancasila dengan benar, berhasil dalam pertanyaan ini. Riset menemukan bahwa hanya ada 33,74 persen dari total generasi Z mampu menyebutkan teks dan menunjukkan lambang Pancasila dengan benar.
4. Pancasila dan Agama
Mayoritas generasi Z (98,59 persen) dalam riset ini mengaku bahwa mereka mengamalkan Pancasila dalam kehidupan sehari-hari. Artinya, Pancasila dapat dilihat sebagai nilai yang diperhitungkan oleh generasi muda. Tentu perlu riset dan pengukuran lebih lanjut secara mendalam bagaimana mereka mengamalkan Pancasila.
Bagaimana generasi Z memandang Pancasila? Riset ini menemukan sebanyak 43,84 persen memandang Pancasila sebagai “dasar hidup dan pedoman utama”, sementara 41,01 persen lainnya berpendapat bahwa “Pancasila dan agama sejajar dan sejalan." Ada pula yang melihat Pancasila semata sebagai dasar formal negara, yakni 5,96 persen.
Soal “Pancasila dan agama sejajar dan sejalan” muncul lebih kuat dalam base responden yang mampu menyebutkan teks dan menunjukkan lambang Pancasila dengan benar. Sebanyak 50,30 persen dari generasi Z dalam base kategori itu yang berpendapat demikian.
Dalam kategori ini pula, 37,43 persen memandang Pancasila sebagai “dasar hidup dan pedoman utama”. Masih dalam base kategori yang sama, sebanyak 6,29 persen generasi Z berpendapat bahwa mereka “mendahulukan ajaran agama daripada Pancasila."
5. Bagaimana Jika Pancasila Diganti?
Riset juga menemukan kenyataan bahwa mayoritas generasi Z (93,94 persen) tidak setuju dengan pendapat bahwa “Pancasila perlu diganti”.
Riset ini juga mencoba mencari tahu pendapat yang muncul dari generasi Z soal dasar negara/falsafah yang cocok bagi Indonesia. Pertanyaan yang diajukan kepada mereka adalah pengandaian jika Pancasila memang benar-benar diganti.
Riset ini menemukan bahwa sebagian besar generasi Z masih belum tahu jawaban apa yang dapat diberikan. Begitu juga dengan spektrum pengetahuan soal dasar negara/falsafah. Sebanyak 39,29 persen memberikan jawaban yang masuk dalam kategori “tidak ada/tidak tahu/tidak berkomentar”.
Sementara itu, 18,59 persen generasi Z bersuara bahwa dasar negara/falsafah untuk Indonesia semestinya tetap Pancasila dan tidak boleh diganti.
Ada pula responden yang mengisi spektrum lain, yang berpandangan bahwa dasar negara/falsafah yang cocok bagi Indonesia tetap berkaitan dengan pandangan soal negara. Sebanyak 11,11 persen menyebutkan jawaban yang mengarah pada prinsip soal “Demokrasi, persatuan, hukum, kemanusiaan hingga soal HAM/kebebasan”. Elemen-elemen itu secara substansial sudah ada dalam Pancasila.
Ada pula 7,07 persen generasi Z yang berpendapat bahwa “Islam” dapat menjadi pengganti dasar negara/falsafah Pancasila. Jawaban ini termasuk mereka yang menyebut soal khilafah ataupun syariat. Namun, ada pula 5,66 persen responden yang juga bersuara soal dasar negara/falsafah berdasarkan agama/ketuhanan tanpa menyebut secara eksplisit kategori agamanya.
Kesimpulan
Hasil riset ini menunjukkan bahwa pengetahuan formal generasi Z terkait lambang Pancasila masih terbatas. Namun, dalam hal pengamalan, generasi ini mengaku bahwa mereka mempraktikkan nilai Pancasila dalam kehidupan sehari-hari.
Di sisi lain, riset ini tetap mendapati isu terkait relasi antara agama dan Pancasila. Meski secara umum responden sepakat dengan Pancasila, ada pula yang berpendapat bahwa agama (Islam maupun tidak spesifik agama apa), bisa dijadikan dasar negara andaikan Pancasila diganti atau tak lagi jadi dasar negara.
Hal yang perlu dicatat terkait riset ini adalah kemungkinan terbatasnya spektrum pengetahuan generasi Z untuk membayangkan ideologi yang bisa menggantikan Pancasila. Responden bisa dilihat sebagai generasi muda yang pendidikan dan pemahaman politik serta ideologinya masih berkembang.
Namun demikian, besarnya pendukung Pancasila dalam riset ini menunjukkan bahwa Pancasila masih dianggap penting di kalangan generasi muda Indonesia.
Editor: Maulida Sri Handayani