tirto.id - Hermes, Chanel, Louis Vuitton, Gucci, Prada…
Logo-logo merek produk fashion kelas atas itu tertempel pada tas-tas yang dipajang di sebuah toko di ITC Mangga Dua. “Yang ini berapa, Mbak?” Seorang perempuan menunjuk clutch warna biru dongker dengan tali rantai logam yang membungkus bahan kulit sintetis. “Itu tiga ratus,” jawab yang ditanya. Perempuan itu lalu beralih ke tas lain-lain, dan si penjaga toko berturut-turut menjawab: empat ratus, tiga ratus, satu juta dua ratus, tujuh ratus.
Perempuan lain kemudian datang. Alih-alih melihat-lihat dan memegangi tas yang dipajang di bagian atas seperti dilakukan perempuan pertama, ia menghampiri gerobak dengan keterangan “SEMUA Rp100 ribu.” Ia meraih satu tas bermotif dadu coklat tua berseling coklat muda dari gerobak, mencangklongnya, lalu mematut diri di depan kaca.
“Mau yang ini, Mbak,” ujarnya cepat. Ia membuka dompetnya, menyerahkan selembar uang merah pada si penjaga toko sebagai penukar tas bermotif andalan merek fashion-tinggi asal Perancis itu.
Toko-toko tas lain di pusat perbelanjaan itu banyak juga yang isi dagangannya tak jauh beda dengan toko ini. Tas-tas bermerek papan atas yang aslinya berharga jutaan, puluhan juta, bahkan ratusan juta, dapat diperoleh dengan harga satu per seratusnya. Pengunjung berdatangan, menukar tas-tas itu dengan lembaran uang yang mereka miliki. Pembeli mendapat barang yang disukai, penjual mendapat untung darinya. Semua senang.
Tunggu dulu. Benarkah semuanya senang?
Menilik gugatan terbaru Gucci, Yves Saint Laurent, Puma, dll terhadap Alibaba di pengadilan New York, jelas sudah tak semua pihak happy. Kering—nama perusahaan yang memayungi merek-merek terkenal itu—menuduh perusahaan e-commerce besutan Jack Ma itu mewadahi penjual barang palsu yang kemudian dibeli oleh orang-orang Amerika Serikat.
Menurut Kering, di dalam Alibaba ada pedagang yang mengiklankan tas Gucci seharga $2-$5, padahal harga barang asli $795 atau 159 kali lipatnya. Ada juga jam tangan palsu seharga $10-$80, padahal barang otentiknya dibanderol $960.
Banyak orang Indonesia pasti tak kaget dengan selisih harga itu. Cobalah ketik “Gucci” pada situsweb perdagangan digital yang kerap Anda sambangi, entah Bukalapak atau Tokopedia atau yang lain, dan lihat berapa banyak jam tangan atau kacamata bermerek Gucci harganya hanya berkisar antara Rp100 dan 200 ribu, bahkan 59 ribu. Tentu saja barang aslinya berharga jutaan.
Bisnis Besar Pembajakan
Kenyataannya, barang palsu bertebaran di hampir tiap tempat bertransaksi. Di mal, pasar, penjual kaki lima, barang-barang KW ditawarkan. Indonesia, dengan jumlah penduduk 250 juta, adalah pasar yang menggiurkan untuk bisnis apapun, termasuk bisnis barang palsu. Berdasarkan studi Masyarakat Indonesia Anti-Pemalsuan (MIAP) dan UI, kerugian karena perdagangan barang palsu di Indonesia diperkirakan mencapai Rp65,1 triliun pada 2014.
Ini juga bukan fenomena khas Indonesia. Dari data Organization for Economic Co-operation and Development’s (OECD), didapat angka pembajakan merek di seluruh dunia yang cukup fantastis. Jumlah total impor barang palsu pada 2013 mencapai $461 miliar atau sekitar Rp6 ribu triliun, menyumbang 2,5 persen dari jumlah impor global.
Soal muasal atau produsennya, tidak ada yang mengejutkan. Sebanyak 63,2 persen barang palsu berasal dari Cina. Nomor dua: Hong Kong—yang juga di bawah kekuasaan Cina—dengan volume sebesar 21,3 persen. Jadi, totalnya negara ini menyumbang 84,5 persen barang palsu di seluruh dunia.
Amerika Serikat adalah negara paling terimbas, disusul Italia, Perancis, dan Swiss. Indonesia sendiri tidak ada dalam 10 besar negara yang dirugikan, juga tak termasuk daftar 10 besar negara produsen barang palsu. Meski tentu saja, Indonesia adalah salah satu konsumennya.
Memberi Penghidupan
Betapapun merugikannya perusahaan-perusahaan fashion, teknologi informasi, farmasi, dan banyak lainnya, industri barang palsu juga menghidupi pekerja dalam skala massif. Cina pastinya menjadi negara yang ekonominya diuntungkan oleh pembajakan ini. Jika kesepakatan soal hak kekayaan intelektual ditegakkan, jutaan orang Cina akan kehilangan pekerjaan. Hal itu pernah diutarakan Charles Scholz, agen yang kerap disewa untuk menyelidik dan menutup perusahaan pemalsu di Cina.
Di Indonesia juga demikian. Meski bukan produsen, barang palsu di Indonesia punya konsumen yang massif, dan otomatis penjual yang massif pula. Penjaga dan pemilik toko di ITC Mangga dua hanya salah satunya. Juga pedagang kaki lima yang menjaja Chanel dan Prada seharga kurang dari Rp 50 ribu. Belum lagi pedagang yang gencar berjualan di lapak online.
Model kerjanya rupa-rupa. Ada yang belanja terlebih dulu di supplier dan menyimpan stok, lalu menjualnya. Ada juga yang tak punya persediaan barang di rumahnya. Ia tinggal menerima pesanan dan pembayaran, lalu mengambil sedikit untung dari jumlah itu, sementara barang dikirim dari penjual utama.
“Aku ambil untung cuma Rp20-30 ribu per tas, Kak,” kata Dian, penjual tas KW dengan cara dropship.
Tita, penjual tas replika yang mau repot dan mengambil risiko dengan membeli barang dulu di Mangga Dua sebelum berjualan, bisa beroleh untung setidaknya Rp50 ribu dari satu tas. Jika sehari ia mendapat tiga pembeli saja, pendapatan Tita sebulan melebihi upah minimum DKI Jakarta. Angka itu juga lebih besar dari gaji yang didapatnya saat bekerja menjadi tenaga administrasi di perusahaan leasing. Itu sebabnya Tita rajin membeli stok dan menawarkan dagangannya lewat BBM dan Line.
“Grab fast Miu Miu KW super-nya, sis. Harga chat me ya.” Tita baru saja mengirim status baru di BBM-nya.
Penulis: Maulida Sri Handayani
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti