tirto.id - Bank Indonesia telah mencanangkan Gerakan Nasional Non Tunai (GNNT) sejak 14 Agustus 2014. Tujuannya mendorong penggunaan instrumen nontunai sehingga masyarakat berangsur-angsur bertransaksi nontunai dalam kegiatan ekonominya (Less Cash Society/LCS). Salah satu instrumen nontunai ini penggunaan uang elektronik.
Berdasarkan data Bank Indonesia, hingga September 2017, jumlah uang elektronik yang beredar di masyarakat sebanyak 71.783.618. Hingga bulan yang sama, volume transaksi uang elektronik telah mencapai Rp817.366 miliar, dengan 67,55 juta transaksi. BI juga mencatat ada 486.039 reader (mesin pembaca) uang elektronik.
BI menerbitkan Peraturan Anggota Dewan Gubernur Nomor 19/10/PADG 2017 tentang Gerbang Pembayaran Nasional (NPG). Dalam aturan ini, ada regulasi soal transaksi top-up (isi ulang) uang elektronik. Ia memicu polemik terutama soal biaya tambahan saat mengisi transaksi top-up uang elektronik.
Baca juga: Yang Untung dan Buntung dari Isi Ulang e-Money
Kebijakan e-Money ini berlaku sejak 31 Oktober 2017. Pemerintah telah menetapkan seluruh pembayaran tol wajib menggunakan e-Money. Kebijakan ini semakin menuntut masyarakat terbiasa menggunakan e-money sebagai salah satu transaksi pembayaran sehari-hari.
Untuk mengetahui pandangan masyarakat di wilayah Jabodetabek tentang pemakaian kartu uang elektronik, Tirto bekerja sama dengan Jakpat melakukan survei kepada 1.002 responden pada 11 Oktober 2017.
Pada riset ini, proporsi responden berdasarkan jenis kelamin cukup merata. Terlihat dari proporsi pria sebesar 51,20 persen dan wanita 48,80 persen. Sedangkan, dari sisi usia, mayoritas responden dengan 38,42 persen berusia 26-35 tahun. Hanya 1,50 persen responden yang berusia di atas 45 tahun.
Membayar Tiket TransJakarta
Meski pemerintah “mewajibkan” kartu e-Money sebaga alat transaksi membayar tol hingga tiket komuter, masih ada 17,07 persen responden yang belum memiliki kartu ini.
Dari beberapa produk kartu uang elektronik yang diterbitkan oleh perbankan, “Flazz BCA” dan “e-money Bank Mandiri” adalah dua kartu utama yang dimiliki responden. Ada 60,65 persen responden menyatakan memiliki Flazz BCA. Sementara e-money Bank Mandiri dimiliki 56,68 persen responden. Blink Bank BTN hanya digunakan oleh 2,29 persen responden. Selain itu, sebanyak 36,1 persen pemilik kartu e-Money memiliki lebih dari satu kartu.
Mayoritas pemilik kartu memakainya untuk alat pembayaran transportasi umum, diwakili oleh 64,14 persen responden yang mengatakan kartu e-Money untuk “bayar tiket Bus TransJakarta”, serta 63,18 persen menjawab untuk “bayar tiket Commuter Line/Kereta”. Sementara ada 55,96 persen warga memakai kartu untuk “bayar tol”.
Di luar itu, 48,01 persen responden memakai e-Money untuk “belanja di minimarket” dan 25,51 persen untuk “belanja di gerai makanan/minuman”.
Mayoritas responden menilai pemakaian e-Money sangat membantu lantaran praktis, yang diwakili oleh 85,92 persen, dan hal praktis begini bisa bikin mereka membayar dengan jumlah uang yang pas, tidak perlu repot uang kembalian. Alasan lain, 39,47 persen responden memakai e-Money karena “ada banyak promo/diskon”.
Mayoritas responden memakai kartu e-Money lantaran didorong kebutuhan pribadi, yang diwakili oleh 86,28 persen. Sementara motivasi mereka memakai e-Money karena "kampanye dari pemerintah/Bank Indonesia” hanya memengaruhi 18,05 persen responden. Adapun 19,01 persen responden memakai e-Money karena pengaruh “rekan kerja/kerabat”. Sedangkan aspek promosi yang menarik, baik dari penjual dan bank, hanya disuarakan oleh 20,22 persen dan 20,10 persen responden.
Perbankan jadi Tempat Utama Top Up
Masyarakat masih menjadikan sarana perbankan sebagai tempat utama melakukan top-up alias isi ulang kartu e-Money. Ada 69,31 persen menyatakan isi ulang kartu e-Money via mesin ATM, Sementara 12,15 persen lain berkata datang langsung ke bank.
Selain perbankan, kasir minimarket jadi pilihan lain pemakai e-Money melakukan isi ulang, diwakili oleh 52,19 persen responden. Ada juga 35,86 persen responden mengisi ulang kartu e-Money saat di halte atau stasiun.
Keluhan Pemakai e-Money
Meski penduduk Jabodetabek menganggap kartu e-Money memberi banyak kemudahan, tetapi mereka menemukan kendala terutama sekali uang bisa hilang ketika kartu juga hilang, yang diwakili oleh 61,73 persen responden.
Selain itu, 43,32 persen responden mengatakan bahwa belum banyak merchant yang menyediakan fasilitas kartu e-Money, dan 34,3 persen pemakai mengatakan kesulitan mengetahui saldo dalam kartu uang elektronik. Mereka juga mengeluh ada biaya untuk top up.
60,62% Tak Setuju Biaya Top Up
Dalam riset Tirto sebelumnya pada 10-13 Oktober 2017, mayoritas dari 1.000 responden tidak setuju ada biaya tambahan saat mereka melakukan isi ulang, dan hanya 37,40 persen yang setuju soal biaya tersebut.
Bagi yang tidak setuju biaya top up, alasannya karena bikin beban pengeluaran dan menilai telah merugikan hak-hak konsumen. Bagi yang setuju, alasannya karena mereka ikut aturan otoritas, selain untuk biaya administrasi.
Baca juga: Survei: 24 Persen Warga Jabodetabek Tak Setuju Wajib E-Toll
50,90% Khawatir Soal Keamanan Data
Berbeda dari transaksi tunai, transaksi elektronik bikin lebih mudah dan cepat dalam proses perekamandata. Namun, kesadaran macam ini ternyata belum meluas sekalipun bagi para pemakai e-Money.
Sebanyak 55,29 persen responden mengetahui ada data yang terekam saat pemakaian e-Money, tetapi ada 44,71 persen responden tidak mengetahui hal tersebut.
Bagi yang mengetahui bahwa data mereka otomatis terekam, ada 50,90 persen “khawatir” atas aktivitas tersebut. Mereka khawatir soal privasi dan kemungkina data pribadi mereka dijual kepada pihak-pihak lain.
Penulis: Dinda Purnamasari
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti