Menuju konten utama

5 Wisata Sejarah di Yogyakarta, Monjali hingga Benteng Vredeburg

Daftar lokasi wisata sejarah yang ada di Yogyakarta, mulai dari Monjali hingga Benteng Vredeburg.

5 Wisata Sejarah di Yogyakarta, Monjali hingga Benteng Vredeburg
Peserta mengibarkan bendara saat upacara peringatan kembalinya Yogyakarta ke Indonesia di atas puncak Museum Jogja Kembali (Monjali), Sleman, DI Yogyakarta, Kamis (6/7). ANTARA FOTO/Hendra Nurdiyansyah

tirto.id - Menyambut Hari Kemerdekaan Republik Indonesia, banyak orang yang akan memanfaatkan momen tersebut untuk melakukan berbagai aktivitas, salah satunya berwisata.

Berwisata tak melulu soal pemandangan alam, namun juga wisata sejarah. Berwisata sejarah saat Hari Kemerdekaan, bisa menjadi alternaif liburan bersama keluarga, sambil belajar.

Selain itu, berwisata sejarah juga bisa untuk mengenang jasa para pahlawan saat berjuang melawan koloni penjajah, sebagai bentuk rasa nasionalisme.

Yogyakarta, selain terkenal akan keindahan alam dan kulinernya, juga memiliki sejumlah lokasi wisata sejarah, yang cocok dikunjungi saat Hari Kemerdekaan. Berikut ini daftarnya.

Daftar Wisata Sejarah di Yogyakarta

1. Monumen Jogja Kembali (Monjali)

PERINGATAN JOGJA KEMBALI

Peserta mengibarkan bendara saat upacara peringatan kembalinya Yogyakarta ke Indonesia di atas puncak Museum Jogja Kembali (Monjali), Sleman, DI Yogyakarta, Kamis (6/7). ANTARA FOTO/Hendra Nurdiyansyah

Monumen Jogja Kembali atau Monjali didirikan untuk untuk memperingati peristiwa berfungsinya kembali Kota Yogyakarta sebagai Ibu Kota Republik Indonesia yang direbut dari penjajah Belanda.

Peristiwa ini terjadi pada tanggal 29 Juni 1949. Ide atau gagasan untuk mendirikan museum ini adalah Bapak Kolonel Soegiarto.

Pada 29 Juni 1985 Monumen mulai dibangun. Kemudian, tanggal 6 Juli 1989 Monjali diresmikan oleh Presiden Soeharto.

Museum yang berbentuk menyerupai tumpeng ini di bangun di atas lahan seluas 49.920 m2, dengan ketinggian 31,8 meter.

Bangunan monjali terdiri dari 3 lantai, lantai 1 berisi 4 ruang museum, lantai 2 berisi 10 diorama dan 40 relief, dan lantai 3 bernama Ruang Garba Graha.

Koleksi Museum berjumlah 1.108, terdiri dari heraldika, miniatur, replika, kendaraan, senjata api, senjata tradisional, foto dokumentasi, alat perhubungan angkatan darat, alat kesehatan, inventaris, patung peraga, arsip, daftar nama pahlawan, relief, diorama, dan evokatif.

Pembangunan monumen ini dilakukan dengan memperhitungkan beberapa faktor penting.

Titik pusat bangunan ini merupakan sebuah titik yang secara imajiner menghubungkan beberapa titik penting di Yogyakarta yaitu Keraton Yogyakarta, Tugu Yogyakarta, Gunung Merapi, Parangtritis Panggung Krapyak.

Titik ini sendiri disebut sebagai Garis Imajiner Yogyakarta dan penanda dari titik imajiner ini sendiri berada pada lantai 3 bangunan monumen ini.

2. Museum Pusat Angkatan Darat (AD) Dharma Wiratama

Museum Dharma Wiratama

Museum Dharma Wiratama. wikimedia commons/domain publik

Salah satu museum yang bisa dikunjungi saat berada di Yogyakarta adalah Museum Pusat Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat Dharma Wiratama

Museum ini adalah museum khusus yang mendokumentasikan bakti prajurit TNI Angkatan Darat, dan terletak di Jl. Jendral Sudirman No. 75 Yogyakarta.

Dilansir dari laman resmi Kebudayaan.jogjakota.go.id, Keberadaan museum ini telah digagas sejak tahun 1956.

Tujuannya adalah untuk mengenang perjuangan dan pengabdian TNI AD, sesuai dengan nama Dharma Wiratama yang memilik arti pengabdian luhur. Museum berdiri dan disahkan pada tanggal 8 September 1968.

Pada tanggal 17 Juni 1968 Museum Dharma Wiratama dipindahkan ke gedung bekas kediaman Dinas Jendral Sudirman. Seiring perkembangannya penggunaan gedung tersebut dianggap tidak memadai lagi.

Gedung tersebut kemudian dialih fungsikan menjadi Museum Sasmitaloka, sementara Museum Dharma Wiratama dipindahkan ke Gedung Markas Korem dan diresmikan kembali pada 17 Juli 1982.

Benda-benda koleksi museum memcapai 4.236 buah yang dikelompokkan dalam ruang-ruang tertentu.

Ruang-ruang tersebut antara lain Ruang Palagan yang memajang koleksi senjata dan perlengkapan yang digunakan saat 8 palagan besar di Indonesia.

Ruang Panji-panji yang memajang koleksi bendera Kesatuan TNI AD untuk berbagai keperluan, Ruang Gamad yang memamerkan seragam Angkatan Darat beserta atributnya, Ruang Tanda Jasa yang menampilkan beragam Bintang Jasa sebagai pengakuan dan penghargaan atas jasa para prajurit, dan ruang-ruang lainnya dengan total 20 ruangan.

3. Museum Benteng Vredeburg

Museum Benteng Vredeburg

Museum Benteng Vredeburg. foto/istokcphoto

Salah satu tempat wisata yang cukup populer di Yogyakarta adalah Museum Benteng Vredeburg. Selain menjadi spot foto yang menarik bagi wisatawan, benteng ini juga merupakan salah satu bagian dari sejarah perjuangan Indonesia.

Benteng Vredeburg merupakan benteng yang dibangun pada tahun 1765 oleh pemerintahan Belanda yang fungsinya sebagai bentuk pertahanan dari serangan Kraton Yogyakarta.

Lokasi persisnya berada di Jalan Margo Mulyo, No.6 Ngupasan, Gondomanan, Yogyakarta. Biaya masuk ke dalam Benteng Vrederburg mulai dari Rp3000 hingga Rp10.000.

Dilansir dari laman Kebudayaan.jogjakota.go.id, berdirinya benteng Vredeburg di Yogyakarta tidak lepas dari lahirnya Kasultanan Yogyakarta.

Kraton Kasultanan Yogyakarta pertama dibangun pada tanggal 9 Oktober 1755. Setelah kraton mulai ditempati kemudian dibangun bangunan pendukung lainnya seperti Pasar Gedhe, Masjid, alun-alun dan bangunan pelengkap lainnya.

Kemajuan kraton semakin pesat sehingga hal ini membawa kekhawatiran bagi pihak Belanda. Oleh karena itu, pihak Belanda mengusulkan kepada Sultan agar diizinkan membangun sebuah benteng di dekat kraton.

Pembangunan benteng tersebut dengan dalih agar Beanda dapat menjaga keamanan katon dan sektarnya, akan tetapi dibalik dalih tresebut, Belanda mempunyai maksud tersendiri yaitu untuk memudahkan Belanda dalam mengontrol segala perkembangan yang terjadi di dalam kraton.

Letak benteng yang hanya satu jarak tembak meriam dari kraton dan lokasinya yang menghadap ke jalan utama menuju kraton menjadi indikasi bahwa fungsi benteng dapat dimanfaatkan sebagai benteng strategi, intimidasi, penyerangan dan blokade.

Dengan kata lain bahwa berdirinya benteng tersebut dimaksudkan untuk berjaga-jaga apabila sewaktu-waktu Sultan berbalik menyerang Belanda dan berubah memusuhi Belanda.

Pada tahun 1760 mulai dibangun sebuah bangunan yang digunakan sebagai benteng kompeni.

Bangunan benteng ini masih sangat sederhana, dan pada tahun 1767 oleh gubernur pantai Utaara Jawa di Semarang meminta kepada Sultan agar benteng tersebut dibangun lebih kuat untuk menjamin keamanan orang-orang Belanda.

Berkat izin Sri Sultan Hamengku Buwono I, pembangunan benteng selesai pada tahun 1787 dan dibawah pimpinan Gubernur Johannes Sioeberg diresmikan menjadi benteng kompeni dengan nama Rustenburgh yaang artinya “tempat istirahat”.

Benteng Rustenburgh mengalami perkembangan yang cukup pesat, dan pada tahun 1867 di Yogyakarta mengalami gempa bumi sehingga beneng memerlukan perbaikan.

Setelah pemugaran selesai oleh Daendels nama benteng Rustenburgh diubah menjadi benteng Vredeburg yang artinya “perdamaian”.

4. Museum Ullen Sentalu

Museum Ulen Sentalu

Museum Ulen Sentalu. foto/istockphoto

Museum Ullen Sentalu berada sekitar 25 kilometer dari pusat Kota Yogyakarta, atau berada di wilayah Kaliurang.

Museum Ullen Sentalu adalah museum swasta yang diprakarsai oleh keluarga Haryono dari Jogja dan berada di bawah payung Yayasan Ulating Blencong dengan penasehat antara lain: I.S.K.S. Paku Buwono XII, KGPAA Paku Alam VIII, GBPH Poeger, GRAy Siti Nurul Kusumawardhani, Ibu Hartini Soekarno, serta KP. dr. Samuel Wedyadiningrat, Sp.(B). K.(Onk).

Museum ini diresmikan pada tanggal 1 Maret 1997, oleh KGPAA Paku Alam VIII, Gubernur Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta pada waktu itu.

Ullen Sentalu menampilkan budaya dan kehidupan para bangsawan Dinasti Mataram (Kasunanan Surakarta, Kesultanan Yogyakarta, Praja Mangkunegaran, dan Kadipaten Pakualaman) beserta koleksi bermacam-macam batik (baik gaya Yogyakarta maupun Surakarta).

Selain itu, Ullen Sentalu juga menampilkan tokoh raja-raja beserta permaisurinya dengan berbagai macam pakaian yang dikenakan, baik untuk acara formal maupun untuk keseharian.

Di Museum Ullen Sentalu, dapat diketahui bagaimana para leluhur Jawa membuat batik yang memiliki arti dan makna yang mendalam di dalam setiap coraknya.

Ada juga berbagai sejarah mengenai keadaan budaya Jawa dari masa Mataram Kuno hingga Mataram Islam dengan segala aturannya.

Keadaan museum yang dibangun dengan baik mampu membuat pengunjung seperti terserap ke masa Jawa kuno yang mengagumkan.

5. Makam Raja-Raja Mataram Kotagede

Makam Raja Raja Mataram Kotagede

Makam Raja Raja Mataram Kotagede. wikimedia commons/fair use

Makam Raja-Raja Mataram Kotagede merupakan warisankemegahan Kerajaan Mataram abad ke-16. Pada abad ke 14, Pulau Jawa berada di bawah kepempinan kesultanan Pajang yang berpusat di Jawa Tengah.

Dilansir dari laman Pariwisata.jogjakota.go.id, Sultan Hadiwijaya, Sultan yang memimpin pada saat tersebut memberikan hadiah berupa Alas (hutan) Mentaok dengan area yang cukup luas kepada Ki Gede Pemanahan.

Hadiah ini diberikan setelah beliau berhasil menaklukkan musuh kerajaan. Selanjutnya, Ki Gede Pemanahan dengan keluarga dan pengikutnya berpindah ke Alas Mentaok, sebuah hutan yang sebenarnya adalah pusat Kerajaan Mataram Hindu pada masa-masa sebelumnya. Ia membangun desa kecil di hutan tersebut.

Desa berkembang dan setelah Ki Gede Pemanahan wafat serta digantikan oleh putranya yang bernama Senapati Ingalaga, desa berkembang sangat pesat, menjadi pusat kota yang ramai. Kota tersebut dinamakan Kotagede, yang berarti kota besar.

Selanjutnya, Senapati membangun benteng yang mengelilingi keraton. Ada 2 (dua) benteng yang dibangun, yaitu benteng dalam (cepuri) dan benteng luar (baluwarti), mengelilingi kota yang mempunyai area 200 Ha.

Kotagede juga dilengkapi dengan parit pertahanan yang lebar seperti sungai, yang mengelilingi benteng luar.

Selanjutnya, terjadi peristiwa perebutan kekuasaan di Kesultanan Pajang, setelah Sultan Hadiwijaya wafat.

Putra mahkota yang bernama Pajang, pangeran Benawa, berhasil disingkirkan oleh Arya Pangiri.

Dengan berbekal bantuan Senapati, pangeran Benawa berusaha merebut kekuasaan kembali. Arya Pangiri pun akhirnya berhasil ditaklukkan namun beliau diampuni oleh Senapati. Untuk masuk ke dalam makam, kita harus mengenakan busana adat Jawa, yang bisa disewa di sana.

Pengunjung diperbolehkan untuk masuk ke dalam makam pada Hari Minggu, Senin, Kamis, dan Jumat, dengan periode waktu pada pk 08.00 - 16.00 WIB.

Pengunjung tidak diperbolehkan untuk memotret dan mengenakan perhiasan emas di dalam bangunan makam.

Ada sejumlah tokoh penting yang dimakamkan di sini, yaitu Sultan Hadiwiijaya, Ki Gede Pemanahan, Panembahan Senopati, dan anggota keluarganya.

Memasuki makam, suasana terkesan sepi dan tenang, serta sangat khusuk. Keluarga kerajaan, baik kraton Yogyakarta maupun Surakarta, masih menjaga kelestarian makam ini dengan sangat baik.

Di dalam kompleks makam, kita juga bisa menemui mesjid tertua di kota Yogyakarta, yaitu Mesjid Kotagede.

Baca juga artikel terkait YOGYAKARTA atau tulisan lainnya dari Yandri Daniel Damaledo

Penulis: Yandri Daniel Damaledo
Editor: Addi M Idhom