Menuju konten utama

40 Tahun Setelah Bob Marley Hijrah (Album Exodus)

Album ini menampilkan sisi politis Marley, namun juga menghadirkan sosok Marley yang ceria dan penuh cinta.

40 Tahun Setelah Bob Marley Hijrah (Album Exodus)
Bob Marley. FOTO/Mike Prior/Redferns/Getty Images

tirto.id - Dalam Kamus Oxford, Exodus diartikan sebagai keberangkatan atau perpindahan orang dalam jumlah banyak. Kata itu mengacu pada Exodus, kitab kedua dari lima jilid Taurat yang mengisahkan perjalanan kelompok budak Israel yang dipimpin oleh Musa menuju Kanaan, tanah yang dijanjikan.

Di dunia muslim, orang mengenal hijrah. Ini istilah yang merujuk pada perpindahan Nabi Muhammad dan para pengikutnya, dari Mekkah menuju Madinah pada bulan Juni 622. Kepindahan itu dikarenakan adanya respons keras terhadap dakwah Muhammad.

Baca juga: Cara Nabi Muhammad Menyikapi Kebhinekaan Madinah

Baik eksodus, ataupun hijrah, sama-sama mempunyai alasan. Kaum Israel pergi karena ingin meninggalkan kesengsaraan, pun punya bayangan indah tentang Kanaan. Sedangkan hijrah, dikarenakan adanya ancaman terhadap nyawa Nabi Muhammad.

Bob Marley mengalami dua-duanya.

Pada 3 Desember 1976, Marley dan The Wailers berkumpul di studio dan markas Tuff Gong, sebuah bangunan milik label rekaman yang didirikan oleh mereka. Marley dan The Wailers generasi baru ini latihan untuk konser bertajuk Smile Jamaica. Sedari siang mereka berlatih dan mengonsep lagu yang akan mereka bawakan di konser yang berlangsung dua hari mendatang.

Lalu terjadilah tragedi itu. Menurut sejarawan reggae Roger Steffens, kisah penembakan bermula dari dua Datsun putih masuk ke kompleks Tuff Gong yang penjaganya menghilang entah ke mana. Saat itu pukul 20.30 malam.

"Jumlah pelaku antara 7 atau 8 orang, bersenjata senapan mesin dan pistol. Beberapa orang melaporkan, pelurunya buatan sendiri. Mereka masuk ke ruangan demi ruangan, menembak serampangan," ujar Steffens, yang merupakan penulis biografi oral Bob Marley, So Much Things to Say.

Saat dua Datsun datang, Marley dan The Wailers sedang berlatih "I Shot the Sheriff." Karena bosan, penyanyi asli bernama Robert Nesta Marley ini pergi ke luar studio untuk mengudap buah. Ketika itulah penembakan terjadi. Tyrone Downie, pemain keyboard The Wailers, kaget ketika satu tangan muncul dari pintu dan menembakkan pistol kaliber 38.

Baca juga: Robert Nesta Marley

Para pemain band tiarap, lalu merunduk pergi ke kamar mandi. Mereka bersembunyi di bak. Marley menyusul masuk ke sana. Downie bepikir orang-orang itu mencari manajer Bob, Don Taylor, yang punya masalah judi. Beberapa menit sembunyi, para pembunuh itu minggat. Bob mengalami luka di dada dan tangan.

"Kami semua, empat atau lima orang, sembunyi di bak air. Kaus Bob basah oleh darah," kenang Downie.

Dalam insiden itu, Rita, istri Bob sekaligus penyanyi latar The Wailers, terluka. Begitu pula Don Taylor yang menerima lima peluru, tapi tetap bertahan hidup. Kasus itu sama sekali tak berhubungan dengan utang judi Don, melainkan buah dari tensi pertikaian dua partai politik, Partai Rakyat Nasional (People's National Party) dan Partai Buruh Jamaika (Jamaica Labour Party).

Partai Rakyat dianggap punya kedekatan dengan Rusia, juga Fidel Castro. Sedangkan Partai Buruh sering dipacak punya kedekatan dengan Amerika Serikat. Pertikaian ini menghasilkan banyak kekerasan berdarah. Perdana Menteri Jamaika yang berasal dari Partai Rakyat, Michael Manley, ingin membuat konser untuk meredam persaingan yang memanas itu.

Bob, yang pada Pemilu 1972 mendukung People's National Party, direncanakan tampil dalam konser itu. Bob, ujar beberapa orang sejarawan, sama sekali tak punya motivasi politik tampil di konser itu. Namun tak bisa dipungkiri, konser itu tak bisa lepas dari unsur politis. Dan Bob, yang sudah menjulang sebagai sosok ikonik Jamaika, diperebutkan sebagai simbol.

Baca juga: Kecintaan Bob Marley terhadap Kaisar Ethiopia Haile Selassie

Dua hari setelah penembakan, Bob tetap tampil di konser yang bertempat di Taman National Heroes, Kingston. Di awal perjanjian, Bob hanya akan menyanyikan satu lagu. Namun ternyata ia tampil selama 1,5 jam. Sekitar 80.000 orang datang di acara bersejarah ini.

Saat ditanya kenapa bersikeras tetap tampil di acara ini, Bob menjawab, "Orang-orang yang ingin membuat dunia jadi neraka tidak pernah libur sehari pun. Masa aku libur?"

Kelahiran Exodus

Sekitar dua pekan setelah konser itu selesai, Bob akhirnya pergi ke Nassau, Bahama. Ia tinggal di sana sekitar sebulan, sebelum akhirnya kembali terbang ke London, Inggris. Ia hijrah bersama keluarga, juga The Wailers baru. Mereka tinggal di Oakley Street, Chelsea. Sejarawan musik Russel Clarke, menyebut tempat tinggal Bob dan The Wailers sebagai: rumah besar yang jadi markas, tempat nongkrong mereka dan orang-orang dari berbagai komunitas.

Kenapa London? Clarke menyebut kota itu adalah, "rumah kedua bagi Marley." Ia menduga, dalam rentang 10 tahun karier rekamannya, 30 persen dihabiskan di London.

Inggris juga dikenal sebagai pusat industri musik, bersaing dengan Amerika Serikat. Dengan kata lain, London adalah Kanaan bagi Bob Marley. Tanah yang dijanjikan, tempat tinggalnya selama dua tahun karena kondisi keamanan di tanah kelahiran tak kondusif. Bob dan The Wailers, eksodus sekaligus hijrah.

Di tanah yang dijanjikan itu, Bob Marley and the Wailers membuat album kesembilan. Judulnya mengambil kondisi mereka saat itu: Exodus. Album ini direkam dalam kurun Januari hingga April 1977. Exodus dirilis pada 3 Juni 1977 oleh label Island.

Sebagai sebuah kesatuan, album ini ternyata punya dua wajah. Di Sisi A, Bob banyak berbicara tentang isu sosial, bahkan politis. Di lagu "Guiltiness", misalkan. Marley menunjukkan sisi sebagai seorang sosialis—dalam sebuah wawancara dengan The Guardian, ia bersikukuh bahwa manusia harus selalu berbagi. Liriknya tetap relevan, tentang kesenjangan dan keserakahan.

These are the big fish

Who always try to eat down the small fish,

just the small fish.

I tell you what: they would do anything

To materialize their every wish

Begitu pula dengan "The Heathen" yang berkisah tentang perlawanan dan protes. Selanggam dengan "Concrete Jungle" atau "Get Up Stand Up." Lagu ini juga menyiratkan bahwa Bob Marley memang tak ingin mengambil cuti melawan orang-orang yang ingin membuat dunia jadi neraka. Bahwa kepindahannya ke Londok tak membuatnya tersuruk mundur, melainkan akan terus melawan di kemudian hari.

Rise up fallen fighters;

Rise and take your stance again.

'Tis he who fight and run away

Live to fight another day.

infografik mengenang exodus marley

Di sisi B, Marley banyak berkisah tentang cinta. Beberapa kisah romantik, lainnya tentang cinta universal. Salah satu yang paling favorit adalah "Waiting in Vain", yang kalau di zaman sekarang dikenal dengan istilah harapan palsu. Sedangkan "Turn Your Lights Down Lown" menampilkan sosok Marley yang manis. Lagu "Three Little Birds" juga akan selamanya diputar sebagai lagu yang cocok mengawali hari.

Pamungkasnya tentu lagu "One Love/People Get Ready", sebuah lagu kemanusiaan yang ia tulis bersama Curtis Mayfield, lengkap dengan pertanyaan: Is there a place for the hopeless sinner, who has hurt all mankind just to save his own beliefs?

Album Exodus digadang-gadang sebagai warisan terbaik Bob Marley and the Wailers. Dalam album Legend, kompilasi lagu-lagu terbaik Marley sekaligus album reggae terlaris sepanjang masa, Exodus menyumbang 5 lagu. Terbanyak dibandingkan lagu dari album lain.

Para kritikus juga menyambut baik album ini. Majalah Rolling Stone memuji album ini, terutama berkat seksi ritmik dari para personel The Wailers, walau ada kritik bahwa Marley terdengar datar, dan lagunya menjadi sedikit membosankan. Majalah itu mendudukkan Exodus di peringkat 169 dalam daftar 500 Album Terbaik Sepanjang Masa. Pada 1999, majalah Time meletakkan Exodus sebagai album terbaik di abad 20.

Tahun 2017 menandai empat dekade usia Exodus. Sebagai album reggae, namanya cemerlang. Selain pencapaian artistiknya, Exodus juga akan selalu dikenang karena ia merupakan album pembeda dalam karier Marley, dibuat dalam kondisi politik centang perenang.

Dalam wawancara dengan Billboard, pendiri label Island, Chris Blackwell, mengatakan bahwa Marley datang ke Inggris dengan perasaan kalut karena kondisi politik di negaranya, pun perkara percobaan pembunuhan.

"Tapi dia datang ke Inggris, dan bertemu dengan orang-orang yang mencintai dirinya dan musiknya, jadi dia bersemangat dan melanjutkan pembuatan Exodus, sebuah album keren. Orang melontarkan kritik, Marley dianggap jadi lembek. Tapi dia bahagia dan jujur, maka dia menulis beberapa lagu gembira."

Pada 1 November 2017, keluarga Marley akan mengadakan konser untuk memperingati 40 tahun Exodus. Orkes ini akan dipimpin dua anak lelaki Marley, Ziggy dan Stephen. Dalam konser yang akan dihelat di Los Angeles ini, akan hadir pula Tom Morello dan Gary Clark Jr.

Konser ini juga menjadi penanda bahwa Exodus adalah salah satu album terbaik sepanjang masa, dan karenanya layak diperingati terus menerus.

Baca juga artikel terkait REGGAE atau tulisan lainnya dari Nuran Wibisono

tirto.id - Musik
Reporter: Nuran Wibisono
Penulis: Nuran Wibisono
Editor: Maulida Sri Handayani