tirto.id - Kinerja perekonomian Indonesia selama tiga tahun di era Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Wakil Presiden Ma'ruf Amin terbilang sulit. Sejak dilantik pada 20 Oktober 2019, keduanya langsung dihadapkan pada kondisi ketidakpastian global. Mulai dari pandemi di awal 2020, hingga adanya eskalasi geopolitik antara Rusia dan Ukraina.
Mengutip data Badan Pusat Statistik (BPS), pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2019 keseluruhan saat itu berada di 5,02 persen secara year on year (yoy). Posisi itu lebih rendah dibanding capaian 2018 sebesar 5,17 persen. Saat itu Jokowi masih berpasangan dengan Jusuf Kalla.
Namun jika dilihat dari kuartal IV-2019 saja, atau sejak terhitung masa kerja Pemerintahan Jokowi-Ma'ruf (Oktober-Desember) ekonomi ekonomi Indonesia tumbuh 4,97 persen secara tahunan (yoy).
Selang setahun kemudian, ekonomi Indonesia dihadapkan dengan pandemi COVID-19. Kondisi itu membuat seluruh sektor maupun aktivitas ekonomi berhenti sejenak. Akibatnya ekonomi pada 2020 secara keseluruhan kontraksi atau minus sebesar 2,07 persen.
Kepala BPS yang saat itu masih dijabat oleh Suhariyanto mengatakan, kontraksi ini dipengaruhi oleh pelemahan di berbagai sektor ekonomi karena pandemi COVID-19.
"Banyak indikator yang bisa dilihat, salah satunya indeks Purchasing Managers Index atau PMI yang menunjukkan penguatan di Oktober, namun kembali melemah November dan Desember,” ujarnya dalam konferensi pers secara virtual saat itu.
Jika merunut pertumbuhan secara kuartal, ekonomi pada kuartal I-2020 hanya tumbuh sebesar 2,97 persen (yoy). Kemudian kuartal II-2020 mengalami kontraksi pertumbuhan atau minus sebesar 5,32 persen (yoy). Lalu di kuartal III-2020 dan kuartal IV-2020 masing-masing tumbuh minus sebesar 3,49 persen (yoy) dan minus sebesar 2,19 persen (yoy).
Kontraksi pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2020 kala itu sempat membawa Indonesia memasuki jurang resesi. Hal ini setelah ekonomi mengalami kontraksi pertumbuhan secara berturut-turut di kuartal II-2020 dan kuartal III-2020.
Berjalan setahun berikutnya, ekonomi Indonesia masih dihantui oleh pandemi Covid-19. Namun ekonomi Indonesia pada 2021 berhasil tumbuh sebesar 3,69 persen (yoy), lebih tinggi dibanding capaian 2020 yang mengalami kontraksi pertumbuhan sebesar 2,07 persen (yoy).
Jika dilihat secara tren per kuartalnya, ekomomi domestik pada kuartal I-2021 masih terkontraksi atau minus sebesar 0,74 persen (yoy). Kemudian di kuartal II-2021 pertumbuhan melesat tinggi sebesar 7,07 persen (yoy). Lalu di kuartal III-2020 dan kuartal IV-2020 masing-masing tumbuh 3,51 persen (yoy) dan 5,02.
Pada 2022, arah pertumbuhan ekonomi Indonesia nampak semakin membaik. Pada kuartal I-2022 ekonomi domestik berhasil tumbuh sebesar 5,01 persen. Sementara di kuartal II-2022 tumbuh sebesar 5,44 persen.
Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati optimistis pertumbuhan ekonomi kuartal III-2022 bisa tumbuh di atas 5 persen secara tahunan. Pertumbuhan tersebut bahkan lebih baik dari pertumbuhan di kuartal I dan kuartal II yang masing-masing tumbuh 5,01 persen dan 5,44 persen.
Dia mengatakan, keyakinan pertumbuhan ekonomi di kuartal III-2022 itu didukung dengan baseline (dasar pembanding) yang lebih rendah. Yakni pertumbuhan ekonomi kuartal III-2021 yang hanya sebesar 3,51 persen (yoy). Saat itu ekonomi RI masih tertekan karena merebaknya COVID-19 varian delta.
"Kuartal III kami perkirakan masih akan tumbuh tinggi karena memang baseline untuk kuartal III tahun lalu akibat delta cukup rendah. Jadi pertumbuhan untuk kuartal III diperkirakan masih di atas 5 persen," ujarnya dalam rapat kerja dengan Komisi XI DPR RI, Rabu (31/8/2022).
Dia mengatakan, kinerja positif perekonomian RI di tahun ini diharapkan terus berlanjut hingga kuartal IV-2022. Pemerintah pun memperoyeksikan pertumbuhan ekonomi sepanjang tahun ini akan mencapai 5,2 persen (yoy), serta kembali naik tipis di 2023 sebesar 5,3 persen (yoy).
"Angka itu relatif hampir sama dengan yang dikeluarkan berbagai lembaga internasional, maupun analis market seperti Bloomberg consensus forecast," katanya.
Bagaimana Pertumbuhan Ekonomi di 2023?
Menatap tahun depan, ekonomi global diprediksi akan diselimuti awan gelap. Ancaman resesi untuk beberapa negara pun tidak bisa dihindarkan. Namun optimisme pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2023 diperkirakan masih akan tetap bisa tumbuh di kisaran 5 persen.
Jokowi dalam pembukaan Trade Expo Indonesia ke-77 Tahun, bahkan meminta agar seluruh stakeholder tetap optimis di tengah ketidakpastian ekonomi global dan adanya ancaman resesi di 2023 mendatang. Meski optimis, Kepala Negara itu tetap mengingatkan agar seluruh stakeholder tetap waspada dan berhati-hati. Karena dampak dari ancaman resesi global 2023 akan sulit dihitung, diprediksi dan dikalkulasi.
"Jadi kita semuanya harus tetap optimistis meskipun lembaga-lembaga internasional menyampaikan bahwa tahun ini sulit, tahun depan akan gelap," tegasnya.
Direktur Eksekutif Segara Institut, Piter Abdullah memahami, peringatan Jokowi bahwa global diselimuti awan gelap, atau terjadi resesi adalah warning yang memang harus disampaikan oleh pemerintah. Tapi himbauan untuk waspada itu bukan berarti Indonesia dipastikan juga akan resesi atau terdampak sangat buruk.
Menurut Piter, kondisi Indonesia masih cukup baik dan diyakini mampu bertahan menghadapi resesi global. Karena Indonesia berbeda dengan negara-negara yang terlalu bertumpu kepada ekspor. Ekonomi Indonesia lebih bertumpu kepada konsumsi domestik yang diperkirakan akan membaik seiring meredanya pandemi.
Selain itu, di sisi ekspor juga masih akan terbantu dengan tingginya harga komoditi. Resesi global tentu akan menahan atau bahkan menurunkan harga komoditi, tetapi tidak membuat harga komoditi jatuh. Atau dengan kata lain masih akan tetap cukup tinggi dan menguntungkan indonesia yang mengandalkan komoditi.
Kalaupun indonesia terdampak oleh resesi global, lanjut Piter diperkirakan hanya membuat pertumbuhan ekonomi melambat tidak bisa mencapai target di atas 5 persen. "Itu scenario buruknya. Scenario terbaiknya kita masih bisa tumbuh diatas 5 persen," kata Piter kepada Tirto, Kamis (20/10/2022).
Lebih lanjut, Piter menyebut apa yang disampaikan pemerintah dan juga International Monetary Fund (IMF) bahwa perekonomian Indonesia akan menjadi salah satu yang mampu tumbuh positif bukan sebuah bualan. "Pemerintah memang harus memberikan warning tetapi pemerintah juga harus selalu optimis secara terukur," tandasnya.
Dalam laporannya, IMF menyakini ekonomi Asia akan cukup kuat di tengah pelemahan ekonomi global. Pandangan ini tertuang dalam laporan regional terbaru 'Asia Sails Into Headwinds From Rate Hikes, War, and China Slowdown'.
Ekonomi Asia pada tahun ini memang mengalami tantangan berat mulai dari kenaikan suku bunga, perang antara Rusia dan Ukraina, dan melemahnya aktivitas ekonomi China. Meski demikian IMF menyebut tetap ada 'titik terang' pada wilayah ini di tengah gelapnya ekonomi global.
"Asia tetap menjadi titik terang relatif dalam ekonomi global yang semakin meredup," tulis IMF dalam laporannya.
IMF memperkirakan pertumbuhan ekonomi Asia dan Pasifik sebesar 4 persen pada tahun ini, dan sebesar 4,3 persen pada 2023. Kedua proyeksi itu memang masih di bawah rata-rata pertumbuhan dalam dua dekade terakhir yang mencapai 5,5 persen.
Namun, angka itu lebih tinggi dari proyeksi pertumbuhan di kawasan Eropa yang sebesar 3,1 persen di 2022 dan sebesar 0,5 persen di 2023. Begitu pula dengan pertumbuhan ekonomi di Amerika Serikat yang diproyeksi 1,6 persen di 2022, dan sebesar 1 persen di tahun depan.
Proyeksi pertumbuhan kawasan Asia itu bahkan lebih tinggi dari pertumbuhan ekonomi global yang diperkirakan mencapai 3,2 persen di 2022, serta menjadi sebesar 2,7 persen pada 2023.
IMF menyebut Asia Tenggara kemungkinan menjadi wilayah di kawasan Asia yang akan menikmati pemulihan kuat. Ini tercemin dari pertumbuhan ekonomi yang tetap positif di sejumlah negara Asia Tenggara.
Seperti Myanmar yang diproyeksi ekonomi akan tumbuh 2 persen di 2022 dan 3,3 persen di 2023, Thailand tumbuh 2,8 persen di 2022 dan 3,7 persen di 2023, Kamboja 5,1 persen di 2022 dan 6,2 persen di 2023, Indonesia tumbuh 5,3 persen di 2022 dan 5 persen di 2023.
Lalu ekonomi Malaysia diperkirakan tumbuh 5,4 persen di 2022 dan 4,4 persen di 2023, Filipina tumbuh 6,5 persen di 2022 dan 5 persen di 2023, serta Vietnam tumbuh 7 persen di 2022 dan 6,2 persen di 2023.
"Vietnam diuntungkan dari perannya yang semakin penting dalam rantai pasok global, sehingga kami perkirakan pertumbuhannya 7 persen. Filipina diperkirakan akan ekspansi ke 6,5 persen di tahun ini, sementara Indonesia dan Malaysia pertumbuhannya akan mencapai 5 persen," papar IMF.
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Anggun P Situmorang