tirto.id - Sejumlah ahli hukum pidana meminta polisi segera mengusut insiden kegagalan atraksi sulap “Death Drop” yang dilakukan Demian Aditya dalam ajang SCTV Award, Rabu (29/11) malam. Alasannya, aksi itu sudah menimbulkan korban yang diduga adalah pemeran/asisten pengganti (stuntman) Demian.
“Kalau kejahatan yang menyebabkan kematian atau kerugian orang lain, itu delik biasa tanpa diadukan harusnya sudah ada laporan (disidik polisi),” kata dosen pengajar hukum pidana Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar kepada Tirto, Sabtu (2/12).
Demian bisa dijerat Pasal 360 KUHP yang mengatur hukuman bagi orang yang lalai sehingga menyebabkan orang lain luka berat. “Barangsiapa karena kesalahannya (kelalaiannya) menyebabkan orang lain mendapat luka-luka berat, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana kurungan paling lama satu tahun,” demikian bunyi ayat (1) pasal tersebut.
Selanjutnya ayat (2) Pasal 360 KUHP menyatakan: “Barangsiapa karena kesalahannya (kelalaiannya) menyebabkan orang lain luka-luka sedemikian rupa sehingga timbul penyakit atau halangan menjalankan pekerjaan jabatan atau pencarian selama waktu tertentu, diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau pidana kurungan paling lama enam bulan atau pidana dendapaling tinggi empat ribu lima ratus rupiah.”
Seandainya stuntman yang kini sedang dirawat intensif di Rumah Sakit Royal Taruma Grogol itu meninggal, maka Demian bisa dikenai Pasal 359 KUHP dengan hukuman yang lebih berat. “Barangsiapa karena kesalahannya menyebabkan matinya orang dihukum penjara selama-lamanya lima tahun atau kurungan selama-lamanya satu tahun”.
Fickar menjelaskan ada dua jenis delik dalam pengusutan pelanggaran hukum pidana: delik biasa dan delik aduan. Dalam konteks Pasal 360 dan 359 KUHP yang berlaku adalah delik kejahatan biasa. Sehingga polisi tidak perlu menunggu laporan korban maupun keluarga korban.
“Artinya walaupun korban atau keluarga tidak lapor, polisi wajib memprosesnya,” ujar Fickar.
Perjanjian Tidak Menghilangkan Unsur Pidana
Lantas bagaimana seandainya Demian dan korban telah memiliki kontrak perjanjian untuk tidak memperkarakan kecelakaan dalam atraksi? Fickar mengatakan perjanjian tidak menggugurkan jerat pidana terhadap Demian. Sebab perjanjian semacam tadi hanya dapat mengatur tentang tuntutan ganti rugi antara korban dengan pelaku.
“Walaupun kerugian sudah dibayar, tapi perbuatan tidak dihapus,” kata Fickar.
Namun begitu Fickar mengatakan ganti rugi materiil terhadap korban bisa menjadi pertimbangan hakim mengurangi hukuman pelaku. “Contohnya kasus kecelakaan anak Ahmad Dhani, karena membayar kerugian hukumannya lebih ringan,” ujar Fickar.
Nasrullah, dosen hukum pidana Universitas Indonesia juga punya pandangan serupa. Ia mengatakan perjanjian hanya sah apabila memenuhi tiga syarat: tidak melanggar undang-undang, tidak melanggar ketertiban umum, dan tidak melanggar kesusilaan. Dalam insiden sulap Demian, ada pelanggaran undang-undang yang dilakukan yakni Pasal 360 KUHP.
“Kalau perjanjian itu dibuat dengan melanggar (tiga syarat tadi) otomatis perjanjian tidak sah,” ujarnya.
Nasrullah mencontohkan seandainya ada dua orang membuat perjanjian tentang hasil pertandingan sepakbola, jika pihak yang menang berhak memukuli yang kalah, maka perjanjian itu batal demi hukum.
“Misalnya [kita] bikin perjanjian [pertandingan] Indonesia vs Malaysia. Kalau PSSI (Indonesia) menang, abang bisa gebukin saya. Kalau Malaysia menang, saya gebukin kamu. Lalu PSSI [Indonesia] menang dan kamu mau gebukin saya, saya bisa bilang tidak sah karena melanggar undang-undang,” katanya.
Menurut Nasrullah, proses hukum terhadap Demian penting tidak saja agar proses penegakkan hukum berjalan sebagaimana mestinya, tapi juga untuk menghindari insiden serupa di kemudian hari. “Polisi tetap harus bergerak untuk mencegah ke depan timbul kelalaian dari pelaku sulap,” katanya.Profesor ahli hukum pidana Universitas Islam Indonesia Muzakir mengatakan polisi seharusnya segera melakukan pengusutan begitu insiden sulap Demian terjadi. “Polisi bisa salah kalau tidak mengusut. Karena ini termasuk tindak pidana yang dapat menimbulkan mati atau luka berat,” ujarnya.
Muzakir mempertanyakan argumen pihak kepolisian menunggu laporan korban atau keluarga korban sebelum melakukan pengusutan. Menurutnya jika argumen itu yang digunakan, maka mestinya polisi tidak usah mengusut berbagai bentuk pelanggaran pidana yang disebabkan oleh ketidaksengajaan atau kelalaian.
“Kalau misalnya tidak diusut, polisi jangan mengusut perkara lain juga. [Seperti] orang kejepit lift, kejepit esklator, kecelakaan lalu lintas jangan diusut dong,” katanya.
Muzakir berharap polisi tidak mengistimewakan siapa pun dalam penegakan hukum.