Menuju konten utama

2,7 Juta Hektare Hutan Hilang Selama Moratorium Lahan Gambut

Kerusakan dan kebakaran lahan gambut berdampak terhadap lingkungan, kesehatan, dan keanekaragaman hayati.

2,7 Juta Hektare Hutan Hilang Selama Moratorium Lahan Gambut
Warga berusaha memadamkan api yang membakar semak belukar dengan alat seadanya ketika terjadi kebakaran lahan gambut di Desa Rimbo Panjang, Kabupaten Kampar, Riau, Rabu (9/8). ANTARA FOTO/Rony Muharrman

tirto.id - Pemerintah dminta bersungguh-sungguh menjaga lahan gambut yang masih tersisa. Mereka menilai lahan gambut di Indonesia semakin terancam oleh kehadiran industri. “Harus benar-benar dijaga,” kata juru kampanye hutan Greenpeace Indonesia Annisa Rahmawati di Jakarta, Selasa (13/9) seperti diberitakan Antara.

Annisa menilai pemerintah tidak serius dalam memastikan dan mengevaluasi efektivitas moratorium pemanfaatan lahan gambut dalam Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 6 Tahun 2017 tentang Penundaan dan Penyempurnaan Tata Kelola Pemberian Izin Baru Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut. Sebab menurutnya hingga saat ini belum ada evaluasi atas moratorium yang resminya telah diterbitkan pemerintah sejak 2011 itu.

Evaluasi, kata Annisa, justru datang dari sejumlah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang menemukan setidaknya 2,7 juta hektare (ha) hutan primer dan gambut hilang selama kurun waktu enam tahun pelaksanaannya. Annisa mengatakan salah satu lanskap yang harus dipertahankan adalah ekosistem gambut Sungai Putri, Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat, seluas 57.000 ha yang kini terancam aktivitas bisnis.

Aktivis perempuan dan HAM debtWatch Indonesia Arimbi Heroepoetri mengatakan kerugian akibat kebakaran hutan dan lahan tidak kecil. “Kita tidak boleh melupakan korban akibat kebakaran lahan dan krisis asap yang selalu berulang, yakni puluhan orang yang meninggal dan ratusan ribu orang yang terpapar asap berbahaya. Ini pelanggaran HAM, terutama hak atas hidup dan atas lingkungan bersih dan sehat,” tegas Arimbi.

Kerugian lainnya yakni hilangnya keanekaragaman hayati, salah satunya berkurangnya populasi satwa endemik seperti yang disebut dalam laporan Population and Habitat Viability Assesment (PHVA) Orangutan Indonesia 2016.

Kepadatan populasi orangutan di daratan Kalimantan (termasuk Sabah dan Sarawak) menurun dari 0,45-0,76 individu per kilometer persegi (km2) menjadi 0,13-0,47 individu per km2. “Kerusakan habitat menjadi penyebab utama berkurangnya populasi orangutan,” ujar dia.

Baca artikel tentang ancaman kerusakan lahan gambut dan upaya mengatasinya:

Mengakhiri Kemerosotan Lahan Gambut dengan Restorasi

Babad Lahan Gambut Terakhir di Jawa yang Dihuni Harimau

KLHK Ingatkan Pemda Soal Moratorium Lahan Gambut

Indonesia Jadi Percontohan Restorasi Lahan Gambut Sedunia

Koordinator Pusat Studi Kebencanaan Universitas Lambung Mangkurat (ULM) Rosalina Kumalawati mengatakan jumlah gambut tebal dan dalam di Indonesia semakin sedikit. Rosalina mencontohkan di daerah seperti Berambai Barito Kuala, dulu gambutnya cukup bagus dan sangat luas, tapi kini tinggal titik-titik sempit yang terpisah-pisah. Bila kondisi tersebut tidak segera diantisipasi, maka dikhawatirkan gambut di Kalimantan Selatan yang tebal dan dalam akan semakin habis. “Selain pemulihan kondisi gambut pascabencana 2015, kita juga fokus untuk menjaga kondisi gambut yang masih bagus seperti di Kabupaten Hulu Sungai Utara,” katanya di Banjarmasin.

Menurut Rosalina, Badan Restorasi Gambut (BRG) tengah fokus menyelamatkan keberadaan gambut yang masih tebal dan dalam di empat kabupaten di Kalimantan Selatan, yaitu Barito Kuala, Tapin, Hulu Sungai Selatan dan Hulu Sungai Utara. BRG misalnya segera membangun ratusan sumur bor dan sekat kanal. Khusus di Kabupaten Hulu Sungai Utara, kata Rosalina, bakal dibangun sekitar 125 sumur bor dan 200 sekat kanal di sekitar lahan gambut yang telah ditetapkan oleh tim lapangan. “Ada beberapa pembangunan sumur dan sekat kanal yang masuk di di wilayah budi daya masyarakat, sehingga perlu dikoordinasikan dengan masyarakat,” katanya.

Rencananya dalam minggu ini juga proyek pembangunan sumur maupun sekat kanal, akan mulai dikerjakan. “Pembangunan akan kita kerjakan di lokasi yang tidak bermasalah dulu, sambil menunggu proses penyelesaian beberapa lokasi yang masuk kawasan masyarakat,” katanya.

Selain membangun sumur, program BRG juga membina masyarakat melalui budi daya sektor perikanan, sehingga masyarakat bisa mendapatkan nilai ekonomis dari program tersebut, sekaligus menjaga kondisi gambut tetap lestari. “Kita terbagi dalam beberapa tim sehingga seluruh pekerjaan bisa diselesaikan tepat waktu, walaupun kini waktunya tinggal tiga bulan,” katanya.

Sebaran Gambut di Kalimantan Selatan yaitu untuk gambut dengan kedalaman lebih 300 cm seluas 106.233 hektare (ha) terdapat di Kabupaten Hulu Sungai Utara, 31.593 ha, Tabalong 10.167 ha, total 147.993 ha atau 45 persen dari total lahan gambut di daerah ini.

Selanjutnya, kedalaman gambut 100-300 cm, yaitu di Hulu Sungai Selatan 74.117 ha, Banjarbaru 5.753 ha, Balangan 1.546 ha dan Tala 1.290 ha sehingga total 82.716 atau 25 persen. Kedalaman gambut 0-100 cm, yaitu di Kabupaten Batola 43.941 ha, Banjar 33.070 ha, HSS 15.673 ha, Banjarmasin 3.374 ha dengan total 96.058 atau 30 persen dari total lahan gambut.

Menurut Annisa perlu upaya penyelamatan secara intensif melalui program pemerintah dan keterlibatan masyarakat sekitar demi menjaga lahan gambut di Indonesia.

Baca juga artikel terkait LAHAN GAMBUT atau tulisan lainnya dari Jay Akbar

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Jay Akbar
Penulis: Jay Akbar
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti