tirto.id - 25 April diperingati sebagai Hari Malaria Sedunia yang jatuh bertepatan pada hari ini, Sabtu (25/4/2020).
Sejak dua dekade terakhir, tepatnya pada tahun 2000, upaya global dalam penanganan malaria menemui progres yang menjanjikan.
Pasalnya, banyak negara dengan angka malaria yang rendah, secara perlahan bergerak menuju titik nol kasus.
Kemudian, setelah lebih dari satu dekade berjalan, angka kasus juga menurun pesat sebanyak 40 persen pada kurun tahun 2000 hingga 2014. Dari 743.000 kasus kematian menjadi 446.000.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) juga merilis data, pada tahun 2018, sebanyak 27 negara melaporkan kurang dari 100 kasus malaria, naik dari 17 negara pada tahun 2010.
Empat negara, yaitu Aljazair, Argentina, Paraguay dan Uzbekistan disertifikasi bebas malaria oleh WHO selama 2 tahun terakhir dan secara global, 38 negara dan wilayah telah mencapai tonggak ini.
Enam negara di subkawasan Mekong Besar, yakni Kamboja, Cina (Provinsi Yunnan), Laos, Myanmar, Thailand, dan Vietnam juga mengalami penurunan kasus sebesar 76 persen pada periode 2010 hingga awal 2018.
Namun, sepanjang 2018, progres yang ideal itu malah keluar dari jalurnya. Pada tahun itu, diperkirakan ada sekitar 228 juta kasus, dibandingkan dengan 231 juta kasus pada tahun 2017.
Perkiraan jumlah kematian juga mencapai angka 405.000, yang artinya hampir tidak berubah dibandingkan tahun sebelumnya.
Wilayah Afrika Sub-Sahara terus memikul beban malaria terberat; pada tahun 2018, wilayah ini menyumbang 93 persen dari semua kasus.
Lebih dari setengah dari semua kasus ada di 6 negara: Nigeria (25% kasus); Republik Demokratik Kongo (12%); Uganda (5%); serta Pantai Gading, Mozambik dan Niger (masing-masing 4%).
Wanita hamil dan anak-anak terus menjadi korban. Diperkirakan, 11 juta wanita hamil yang tinggal di 38 negara Afrika terinfeksi malaria pada tahun 2018.
Sebagai hasilnya, hampir 900.000 bayi dilahirkan dengan berat lahir rendah, dan punya faktor risiko utama kematian.
Secara global, anak-anak di bawah usia lima tahun menyumbang sekitar dua pertiga dari semua kematian akibat malaria pada tahun 2018.
Hari Malaria dan Kampanye Nol Malaria Dimulai dengan Saya
“Sudah waktunya untuk kembali ke jalur yang benar, terutama di negara-negara di mana malaria paling parah menyerang,” ujar Direktur Jendral WHO Tedros Adhanom Ghebreyesus, seperti dilansir dari situs resmi WHO.
Lebih jauh dalam upayanya, Ghebreyesus menjelaskan tiga hal yang harus ditempuh.
Pertama, perlu memastikan bahwa setiap orang yang berisiko terkena malaria dapat mengakses layanan yang mereka butuhkan untuk mencegah, mendiagnosis, dan mengobatinya, tanpa mengalami kesulitan keuangan.
Kedua, perlu memprioritaskan dukungan untuk negara-negara yang paling membutuhkan.
Dan ketiga, perlunya peningkatkan investasi dalam penelitian dan pengembangan untuk memberikan alat baru.
Sebagai implementasi, menjelang Hari Malaria Sedunia (Malaria World Day) 2020 yang jatuh pada 25 April ini, WHO bersama RBM Partnership to End Malaria, African Union Comission, dan organisasi mitra WHO lainnya mempromosikan kampanye Zero Malaria Starts with Me atau “Nol Malaria Dimulai dengan Saya”.
Ini merupakan sebuah kampanye akar rumput yang bertujuan menjaga agar malaria tetap menjadi prioritas tinggi dalam agenda politik, memobilisasi sumber daya tambahan, dan memberdayakan masyarakat untuk mengambil peran dalam pencegahan dan perawatan malaria.
Kampanye "Nol malaria", pertama kali muncul di Senegal pada 2014, dan secara resmi disahkan pada KTT Uni Afrika oleh semua Kepala Negara Afrika pada Juli 2018.
Kampanye ini melibatkan semua anggota masyarakat: para pemimpin politik yang mengendalikan keputusan dan anggaran kebijakan pemerintah; perusahaan sektor swasta yang akan mendapat manfaat dari tenaga kerja bebas malaria; dan masyarakat yang terkena dampak malaria, yang keterlibatan dan perannya sangat penting untuk keberhasilan kampanye itu.
Sementara itu, sebagai respons atas data terkini terkait kenaikan angka kasus malaria, WHO bersama mitranya telah mengkatalisasi “high burden to high impact”, yaitu satu pendekatan baru untuk mengembalikan tren penurunan angka kasus malaria.
Pendekatan ini didasarkan pada empat pilar yang meliputi: (1) kemauan politik; (2) informasi strategis: (3) panduan, kebijakan, dan strategi yang lebih baik; serta (4) respons nasional yang terkoordinasi.
Hari Malaria dalam Belenggu COVID-19
Tak dimungkiri, dunia kini tengah dilanda pandemi virus Corona (COVID-19) yang hingga hari ini telah menginfeksi lebih dari 2.737.000 orang, sebagaimana dilansir dari Johns Hopkins CSSE, dengan total kasus kematian mencapai angka 192 ribu lebih.
Namun, hal demikian bukan berarti mengesampingkan kampanye penanganan malaria.
Justru, melalui WHO, publik global tengah memberikan prioritas ganda dalam penanganan COVID-19 di negara-negara endemik malaria.
Di Afrika, wilayah endemik malaria, pada 25 Maret lalu 37 negara telah melaporkan kasus positif COVID-19, yang mana, 10 negara di antaranya melaporkan adanya kasus penularan lokal.
Alliance for Malaria Prevention telah memberikan panduan untuk program pengendalian malaria nasional tentang distribusi kelambu berinsektisida (ITN) dalam konteks tanggap darurat COVID-19, rekomendasi ini juga sejalan dengan pedoman global WHO.
Sementara untuk penyemprotan residu dalam ruangan (IRS), telah dilakukan beberapa langkah taktis.
Di antaranya, menyarankan tim IRS untuk meningkatkan jumlah tempat cuci tangan dan sabun di semua lokasi operasi, memperkuat pemeriksaan kesehatan pagi hari untuk semua anggota tim, dan menambahkan pemeriksa suhu badan jika memungkinkan.
Kemudian mengenakan masker N-95 dan peralatan pelindung pribadi sebelum memasuki lokasi operasi, dan sering menyeka permukaan yang disentuh (pegangan pintu, pagar kendaraan, dan lain-lain).
Dua langkah di atas, ITN dan IRS yang menjadi cara terampuh dalam penanganan malaria, tetap dilakukan meski sempat akan ditangguhkan terkait kekhawatiran negara-negara akan paparan COVID-19.
WHO juga meberikan pedoman baru terkait hak, peran dan tanggung jawab petugas kesehatan dalam konteks COVID-19.
WHO telah mengembangkan panduan bagi negara-negara untuk secara aman mempertahankan layanan kesehatan penting selama pandemi.
Panduan tetap sama, diagnosis dan pengobatan dini sangat penting untuk mencegah kasus malaria ringan dari berkembang menjadi penyakit parah atau kematian.
Negara-negara seharusnya tidak mengurangi upaya untuk mendeteksi dan mengobati malaria.
Langkah-langkah ini diambil, sebagai bukti bahwa malaria tak bisa diabaikan, sekalipun dunia tengah terjadi pandemi.
Pengalaman dari wabah penyakit sebelumnya, di mana penanganan malaria sempat diabaikan karena adanya Ebola (2014-2016). Dan ini punya konsekuensi yang tragis.
Di Guinea, Liberia dan Sierra Leone, misalnya, mengesampingkan upaya penanganan malaria menyebabkan peningkatan penyakit dan kematian secera besar-besaran di tiga negara tersebut.
Penulis: Ahmad Efendi
Editor: Dhita Koesno