tirto.id - Morris Kahn ingat bagaimana program Apollo membuat warga dunia antusias dengan sains, teknologi, keinsinyuran, dan penjelajahan luar angkasa. Antusiasme yang kerap disebut “Apollo effect” itu mencapai klimaksnya saat kaki Neil Armstrong melangkah di permukaan Bulan pada 1969 dan tercatat sebagai yang pertama dalam sejarah dunia.
Untuk itu, Morris mendirikan SpaceIL, organisasi swasta untuk proyek pendaratan wahana luar angkasa di Bulan. Mereka bekerja sama dengan Badan Antariksa Israel (ISA) dalam misi menancapkan bendera Israel di Bulan pada 2019.
SpaceIL lahir pada 2011 sebagai bagian dalam kompetisi mendaratkan wahana di bulan yang diselenggarakan oleh Google Lunar X Prize. Dengan total hadiahnya $30 juta, kompetisi ini telah menarik perhatian lima tim. Selain SpaceIL, kompetisi diikuti Moon Express (Amerika Serikat), Synergy Moon (internasional), Team Indus (India), dan Hakuto (Jepang).
Morris didampingi oleh tiga insinyur yang mencanangkan ide kompetisi, yakni Yariv Bash, Kfir Damari, dan Yonatan Winetraub. Meski kompetisi dibatalkan pada Maret 2018 karena tidak ada satu pun peserta yang memenuhi tenggat waktu, proyek SpaceIL tetap dilanjutkan.
Selain disokong Morris, SpaceIL turut didukung oleh pegiat filantropi lain. Salah satunya adalah pengusaha properti asal AS, Sheldon Adelson. Pemerintah Israel melalui ISA baru bergabung pada 2017, dan sejak saat itu SpaceIL makin dicanangkan sebagai misi yang membawa reputasi Israel.
Pada Juli 2018 Morris menggelar konferensi pers di gedung Industri Dirgantara Israel (IAI) di Kota Yehud, Israel. Di kesempatan itulah ia berbicara soal program Apollo yang menginspirasi SpaceIL. Pemerintah Israel telah berjanji akan menalangi 10 persen pendanaan proyek, kata Morris.
“Kita sedang membuat sejarah. Ini proyek yang dahsyat. Saat roket diluncurkan ke luar angkasa, kita semua akan mengingat momentum di mana Israel mendarat di Bulan,” imbuhnya, sebagaimana dilaporkan Stuart Winner dan Shoshanna Solomon untuk The Times of Israel.
IAI menunjukkan optimisme yang sama. Direktur IAI Yossi Weiss menyebutnya sebagai sejarah nasional karena jalur menuju Bulan tidak mudah. Baginya SpaceIL membuat satelit bumi kini terasa lebih bisa dijangkau, tidak seperti kesan yang timbul di masa lalu. SpaceIL adalah proyek yang memakan biaya $95 juta.
CEO SpaceIL Ido Anteby menjelaskan wahana SpaceIL adalah yang terkecil di antara wahana-wahana lain yang berhasil mendarat di Bulan. Diameternya hanya dua meter. Tingginya 1,5 meter, didukung oleh empat kaki, dengan berat mencapai 600 kilogram.
Roket akan mengantarkan wahana menjalani rute sejauh 384.000 kilometer atau 10 kali jarak antara Bumi dan Bulan. Pasalnya roket tidak melalui jalur lurus, yang bisa ditempuh dalam durasi beberapa hari saja. Roket akan melintasi orbit membulat untuk secara bertahap mendekati Bulan. Waktu tempuhnya periode dua bulan, tapi akan menghemat bahan bakar.
Sesampainya SpaceIL di titik pendaratan, lanjut Ido, wahana akan lepas dari roket sebelum akhirnya mendarat dengan mulus di permukaan Bulan. Wahana kemudian menjalankan agenda riset Wiezmann Institute of Science (termasuk soal medan magnet Bulan) selama dua hari.
“Dalam tahap pertama, akan ada prosesi penancapan bendera Israel. Selama pendaratan wahana juga akan mendokumentasikan area pendaratan dengan foto dan video.”
Jika berhasil, Israel akan menjadi negara keempat yang mampu mendaratkan wahananya di Bulan. Uni Soviet adalah negara pertama yang menaklukkan misi tersebut pada Februari 1966. Nama wahananya Luna 9. Amerika Serikat menyusul dengan Surveyor 1 pada Juni di tahun yang sama. Cina menjadi yang ketiga dengan mendaratkan Chang’e 3 pada 2013.
SpaceIL sedianya akan diluncurkan pada Desember 2018 dan mendarat pada Februari 2019. Roket yang membawanya diproduksi oleh SpaceX, perusahaan eksplorasi ruang angkasa kepunyaan Elon Musk. Namun, pada pertengahan bulan ini muncul kabar bahwa jadwal peluncuran telah ditunda. Wahana baru akan dibawa ke Florida, markas SpaceX, pada Februari 2019.
Laporan Associated Press via Japan Times menyebutkan tidak ada penjelasan jelas mengenai penyebab penundaan tersebut. Jadwal peluncuran sepenuhnya ada di bawah koordinasi SpaceX. Pihak SpaceIL hanya bisa menurut.
Kepada awak media massa, mereka justru memberi kabar soal “kapsul waktu” yang bentuknya seperti DVD. Isinya foto-foto warga Israel, gambar bikinan anak-anak Israel, dan memorabilia nasional lain, termasuk kisah-kisah para penyintas Holocaust.
ISA telah mensponsori usaha mendaratkan wahana ke Bulan sejak sekitar satu dekade belakangan. Mereka menjalin kerja sama dengan Badan Penerbangan dan Antariksa AS (NASA) saat pengembangan Jaringan Israel untuk Eksplorasi dan Sains Bulan (INLSE). Selain mempelajari Bulan, lembaga ini juga berfokus pada studi tata surya.
Jerussalem Post melaporkan pada Januari 2010 sebuah deklarasi bersama ditandatangani oleh ISA dan NASA, menjadikan Israel sebagai anggota Pusat Penelitian Bulan NASA. Kerja sama terkait INLSE makin solid. Deklarasi tersebut juga makin mendukung kerja-kerja NASA, terutama di bidang laser, sensor canggih dalam riset tata surya, dan navigasi transportasi otomatis.
Penjelajahan Bulan hampir tidak mungkin tidak bersifat politis. Program Luna Soviet dan Surveyor AS menjadi bagian dari kompetisi teknologi selama Perang Dingin. Soviet menang di awal, namun AS bisa menyusul sekaligus mengklaim sebagai pemenang dengan menjejakkan kaki duluan di permukaan Bulan.
Cina juga menjadikan program Chang’e-nya sebagai strategi unjuk gigi. Negeri Tirai Bambu diprediksi akan menjadi superpower di masa depan. Program luar angkasa dipakai untuk menggenapi kemajuan pesat ekonominya. India tak jauh berbeda. Mereka bahkan telah mengirim wahana ke orbit planet Mars.
Di antara negara-negara Asia lain, program eksplorasi ruang angkasa Israel barangkali masih dianggap underdog. Meski demikian, merujuk pendapat salah satu pendiri SpaceIL Yonatan Winetraub di dalam laporan Japan Times, misi ke Bulan adalah soal investasi kebanggaan di masa depan.
“Kami harap, jauh di masa depan, ketika perjalanan ke Bulan sudah seumum perjalanan trans-Atlantik, anak-anak di Israel bisa memahami bahwa arsip tentang leluhur mereka ada di Bulan.”
Editor: Windu Jusuf