tirto.id - Indonesia Corruption Watch (ICW) mengkritisi kinerja Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) selama 100 hari di bawah komando Firli Bahuri. Firli dilantik sebagai Ketua KPK RI pada 20 Desember 2019.
Peneliti ICW, Kurnia Ramadhana menilai KPK menilai KPK terlalu banyak kontroversi ketimbang prestasi.
"Alih-alih menunjukkan kinerja yang lebih baik dari periode sebelumnya, justru yang dihasilkan adalah berbagai kontroversi. [KPK] gagal menangkap buronan," ujarnya melalui keterangan tertulis yang diterima Tirto, Selasa (24/3/2020).
KPK memang masih mengejar dua tersangka DPO untuk dua kasus berbeda. Pertama, Harun Masiku buron atas suap pergantian antarwaktu (PAW) DPR RI. Kedua, eks Sekretaris Mahkamah Agung, Nurhadi masih buron atas kasus penanganan perkara di MA.
Kurnia menyesali kinerja KPK yang lambat menangkap kedua buron itu. Padahal KPK selama ini dikenal cepat dalam menemukan buron.
"Sebagai contoh, mantan bendahara Partai Demokrat M Nazarudin dalam waktu 77 hari dapat ditangkap KPK di Kolombia," ujarnya.
KPK juga dianggap tidak transparan ke publik dalam menangani perkara. KPK menolak menjabarkan kronologi secara benderang terkait kejadian penyekapan penyidik KPK di PTIK, saat memburu Harun Masiku.
Tak sampai disitu, Kurnia juga melihat KPK seolah sengaja memotong kasus PAW yang melibatkan eks Komisioner KPU Wahyu Setiawan dengan tetap melanjutkan persidangan tanpa ditemukannya Harun Masiku lebih dulu. Pimpinan KPK menghendaki sidang secara in absentia.
"Metode menyidangkan perkara korupsi tanpa kehadiran terdakwa hanya dimungkinkan ketika terkait langsung dengan kerugian negara. Sedangkan perkara yang menjerat Harun Masiku merupakan tindak pidana suap," ujarnya.
Kurnia juga menyoroti pelbagai intrik internal KPK. Salah satunya insiden dicopotnya penyidik KPK dari unsur kepolisian, Kompol Rossa Purbo Bekti tanpa mekanisme yang jelas.
Serta terlalu seringnya pimpinan KPK melakukan kunjungan ke pertemuan dengan berbagai lembaga/kementerian dan pejabat legislatif. Kurnia mencatat kunjungan KPK sudah mendatangi 17 instansi negara sejak Januari hingga Februari 2020.
"Para komisioner KPK tidak memahami pentingnya menjaga independensi kelembagaan," ujarnya.
Perihal penindakan yang kian menurun di era Firli juga menjadi sorotan ICW. Kurnia membandingkan dengan kepemimpinan KPK periode 2016-2019, ketika itu KPK berhasil menggelar operasi tangkap tangan (OTT) 87 kali dengan total tersangka 327. Namun Firli baru dua kali OTT, yakni Komisioner KPU RI dan Bupati Sidoarjo.
"Akan tetapi dua perkara itu bukan murni dimulai oleh lima Komisioner KPK baru, namun sprindiknya sudah ada sejak era Agus Rahardjo cs," tandasnya.
Sementara itu, Plt Juru Bicara Bidang Penindakan KPK Ali Fikri memaklumi kritikan yang dilontarkan ICW. Ia menganggapnya sebagai bentuk perhatian terhadap KPK dan pemberantasan korupsi di Indonesia.
"Kritik, saran dan masukan yang disampaikan oleh pihak manapun termasuk dari ICW, tentu KPK terima sebagai perbaikan kerja-kerja mendatang," ujar Ali pada Tirto, Selasa.
Penulis: Alfian Putra Abdi
Editor: Zakki Amali