Menuju konten utama

Zuckerberg Tetap Tenang Walau Facebook Diboikot Pengiklan

Facebook diboikot pengiklan karena dianggap membiarkan ocehan Trump.

Zuckerberg Tetap Tenang Walau Facebook Diboikot Pengiklan
CEO Facebook Mark Zuckerberg tiba untuk audiensi Komite Jasa Keuangan House di Capitol Hill di Washington, 23 Oktober 2019. AP / Andrew Harnik

tirto.id - Sejak beberapa waktu lalu, Facebook berada dalam sorotan. Ini setelah gerakan #StopHateForProfit, gerakan berhenti beriklan di Facebook ramai dibicarakan. Gerakan ini bermula dari tindakan Mark Zuckerberg, pendiri Facebook, yang dianggap tidak mau melakukan langkah berarti menghadapi kicauan dan unggahan sang presiden, Donald Trump, yang bernada mengancam dan memecah persatuan Amerika Serikat. Unggahan itu antara lain slogan, "Saat penjarahan dimulai, penembakan akan dimulai", juga ocehan tentang pemungutan suara via pos yang dianggapnya “curang”.

“Saya telah berjuang sungguh-sungguh menanggapi kicauan dan unggahan Presiden sepanjang waktu," ujar Zuckerberg. Menurutnya, ia bereaksi negatif atas apa yang diucapkan Trump di media sosial, baik di Twitter atau platform miliknya. Namun Zuckerberg beranggapan dirinya harus bertindak atas nama institusi, bukan pribadi.

“Saya paham, banyak orang kesal karena Facebook membiarkan ucapan presiden,” tulis Zuckerberg, “tetapi, posisi kami di Facebook adalah tetap membuka sebanyak mungkin ekspresi, kecuali jika suatu unggahan menyebabkan risiko yang berbahaya (secara langsung).”

#StopHateForProfit merupakan gerakan yang mengajak perusahaan-perusahaan berhenti beriklan di media sosial, wabilkhusus yang tetap mempertahankan ujaran kebencian demi meraih klik dan keuntungan, paling tidak selama bulan Juli 2020. Facebook, yang menolak bertindak atas tingkah laku buruk Trump--juga akun-akun penebar kebencian lain, jadi sasaran utama boikot yang digagas kelompok pejuang hak-hak sipil, seperti Anti-Defamation League, NAACP, dan Sleeping Giants and Common Sense Media ni.

Di awal gerakan ini diluncurkan, sebagaimana diwartakan BBC, Coca-Cola, Unilever, dan Starbucks ikut serta dalam gerakan ini. Lambat laun, perusahaan-perusahaan lain, seperti Ford, Adidas, HP, The North Face, Verizon, Home Depot, Walmart, Microsoft, AT&T, dan Disney ikut dalam rombongan.

Brian Fung, dalam laporannya untuk CNN, menyebut, hingga saat ini paling tidak ada tiga perusahaan pembeli iklan di Facebook yang masuk daftar 100 pengiklan terbesar. Itu adalah Unilever, Verizon, dan REI. Fung, yang mengutip laporan belanja iklan dari Pathmatics, menyatakan bahwa pada 2019 silam, Unilever menghabiskan uang sekitar 42,4 juta dolar untuk beriklan di Facebook, membuat perusahaan itu berada di posisi ke-30 pengiklan terbesar Facebook. Verizon dan REI, yang menduduki posisi ke-88 dan 90, masing-masing, menghabiskan uang sekitar 23 juta dolar untuk Facebook.

Alex Hern, yang melaporkan untuk The Guardian, menyebut bahwa gerakan memboikot Facebook juga didukung World Association of Advertisers, kumpulan agensi yang mewakili banyak perusahaan dan secara total menghabiskan uang sebesar 100 miliar dolar untuk iklan. Dalam survei internal yang mereka lakukan, 58 persen anggota World Association of Advertisers akan ikut serta berhenti sementara waktu beriklan di Facebook, sementara 40 persen lainnya sedang pikir-pikir.

Nasdaq, dalam salah satu laporannya, menyatakan bahwa Facebook merupakan perusahaan yang menghidupi dirinya dari iklan. Pada 2018, 98,5 persen pendapatan Facebook disumbang iklan. Persentase itu meningkat dari 97,3 persen di tahun 2016, dan diperkirakan sumbangsih iklan bagi pendapatan Facebook akan meningkat hingga 99 persen di tahun 2020 ini. Di sisi lain, melansir laporan keuangan Facebook pada kuartal 1-2020, Facebook memperoleh pendapatan sebesar 17,7 miliar dolar, dengan 17,4 miliar dolar di antaranya berasal dari iklan.

Bersama Google dan Amazon, Facebook merupakan perusahaan penengguk uang iklan digital terbanyak. Di Amerika Serikat saja, hampir 70 persen belanja iklan dikuasai Google-Facebook-Amazon. Lebih spesifik, Facebook merupakan penguasa iklan digital di ranah media sosial, menguasai 83 persen kue iklan digital media sosial.

Juru bicara Ford menegaskan bahwa keikutsertaan Ford berhenti beriklan di Facebook setidaknya selama satu bulan dilakukan untuk “memberantas keberadaan konten ujaran kebencian, kekerasan, dan ketidakadilan rasial di media sosial.” Sementara itu Honda, melalui juru bicaranya, menegaskan bahwa bergabungnya mereka memboikot Facebook dilakukan karena gerakan ini “sejalan dengan nilai-nilai perusahaan Honda, yang didasarkan pada rasa hormat pada manusia.”

Boikot beriklan di Facebook, tentu sangat memengaruhi dompet Facebook. Di awal gerakan dicetuskan, saham Facebook bahkan turun hingga 8 persen--yang membuat kekayaan Zuckerberg mengempis 7,5 miliar dolar.

Nick Clegg, VP Global Affairs and Communications Facebook, dalam email yang dibagikan ke media--termasuk Tirto.id--menegaskan bahwa “Facebook tidak memperoleh keuntungan dari kebencian.” Menurutnya, dikarenakan Facebook punya lebih dari 3 miliar pengguna, semua hal baik-buruk, positif-negatif dari masyarakat dapat dijumpai di sana.

Clegg mengklaim Facebook telah berupaya banyak mencegah konten negatif eksis di platformnya, misalnya dengan memproses 95,7 persen laporan ujaran kebencian dalam tempo kurang dari 24 jam setelah laporan diterima, yang menurutnya “lebih cepat dibandingkan Youtube dan Twitter.”

Selain itu, pada kuartal 1-2020 kemarin, Facebook telah mengambil tindakan pada 9,6 juta konten negatif, termasuk terkait ISIS dan Al Qaeda. Sayangnya, catatan yang cukup apik dalam membendung konten negatif tersebut tak berlanjut ketika menghadapi unggahan-unggahan Trump.

Ciutnya nyali Facebook atas unggahan Trump berbanding terbalik dengan apa yang dilakukan Twitter. Pada kicauan Trump soal pemungutan suara via pos yang dianggapnya “curang”, Twitter melakukan periksa fakta. Lantas, pada ocehan “saat penjarahan dimulai, penembakan dimulai”, Twitter melabeli twit sebagai “glorifying violence.”

Langkah tegas Twitter itu mendapat serangan balik dari Trump. Melalui akun Twitternya, Trump menyebut bahwa langkah Twitter merupakan upaya “membungkam suara konservatif”. Trump mengancam, jika kelakuan Twitter berlanjut ia akan “sangat mengatur” atau bahkan “menutup” bukan hanya Twitter, tetapi media sosial secara keseluruhan.

Zuckerberg, dalam wawancaranya dengan Fox News--media terbaik dalam kapasitas otak Trump--mengungkap bahwa langkah platformnya memilih jalan berbeda dibandingkan Twitter dilakukan karena “kami pikir tidak tepat bagi Facebook melakukan pengecekan fakta terhadap politisi (apalagi seorang pemimpin dunia), dan tidak ingin menjadi wasit kebenaran."

Mike Isaac, dalam tulisannya di The New York Times, menyebut bahwa kebijakan komunitas Facebook dan Twitter secara garis besar mirip. Artinya, ketika Twitter berani mengambil langkah tegas pada Trump, selayaknya Facebook melakukan langkah yang sama. Langkah Facebook membiarkan Trump dianggap Isaac “mengalienasi pengguna Facebook” sendiri, bahwa aturan yang dimiliki Facebook tidak diterapkan merata ke semua pengguna.

Tentu, langkah Facebook diam terhadap Trump tak bisa dibaca hanya karena Trump seorang politikus pemimpin dunia. Paul Hitlin dan Lee Rainie, yang melakukan analisis untuk Pew Research, menyebut bahwa melalui teknologi yang mereka miliki, Facebook bisa melakukan pelabelan pada para penggunannya. Pada survei terhadap 963 pengguna Facebook di Amerika Serikat yang berusia lebih atau sama dengan 18 tahun, 51 persennya punya haluan politik. Dan yang paling banyak, sekitar 35 persen, punya haluan konservatif atau sangat konservatif, yang merupakan basis utama pendukung Trump.

Kenapa jumlah itu jadi penting? Karena pendapatan Facebook berbanding lurus dengan jumlah penggunanya. Facebook mendapat sekitar 4,83 dolar per pengguna di seluruh dunia pada kuartal 4 2016. Sedangkan rata-rata ongkos operasional per pengguna yang ditanggung Facebook hanya 2,3 dolar. Artinya, Facebook mendapat keuntungan 2,5 dolar per pengguna. Ini artinya: makin besar pengguna, makin besar pula untung Facebook. Ini artinya, Facebook yang tidak bertindak apapun terhadap ocehan Trump, berusaha menjaga pendukung-pendukung Trump tetap menggunakan Facebook supaya kas Facebook tetap lancar.

Tak mengherankan kalau Zuckerberg merasa biasa-biasa saja terhadap gerakan boikot beriklan di Facebook. Dilansir dari BBC, Zuckerberg sesumbar bahwa para pemboikot itu akan segera kembali ke Facebook tak lama lagi.

"Kami tidak akan mengubah aturan di Facebook hanya karena ancaman dari persentase yang kecil dari pendapatan kami."

Baca juga artikel terkait FACEBOOK atau tulisan lainnya dari Ahmad Zaenudin

tirto.id - Teknologi
Penulis: Ahmad Zaenudin
Editor: Nuran Wibisono