tirto.id -
Menurur Tulus usulan Menhub, Budi Karya ini dapat memancing masyarakat untuk semakin menjauhi transportasi massal.
"Wacana pengecualian taksi online juga merupakan langkah mundur, bahkan merupakan bentuk inkonsistensi. Pengecualian ini akan memicu masyarakat berpindah ke taksi online dan upaya mendorong masyarakat berpindah ke angkutan massal akan gagal," ucap Tulus dalam keterangan tertulis yang diterima reporter Tirto pada Kamis (15/8/2019).
Tulus menjelaskan bila pemerintah serius membenahi masalah kemacetan dan polusi di Jakarta maka peralihan ke angkutan massal tidak bisa ditunda. Apalagi saat ini pemerintah sudah membangun Mass Rapid Transit (MRT), Bus Rapid Transit (BRT) sampai Commuter line. Menurutnya justru jenis transportasi inilah yang seharusnya didorong.
Meskipun Kemenhub telah mengakui taksi online sebagai transportasi publik melalui Permenhub No. 118 Tahun 2018, perlakuan tetap harus dibedakan dengan taksi konvensional. Menurut Tulus berangkat dari desain awal taksi online, mereka adalah angkutan milik pribadi berplat hitam yang tidak bisa langsung disetarakan dengan taksi online.
Plat kuning yang dimiliki taksi konvensional kata Tulus juga tidak hanya sekadar berbeda warna. Namun, ada sederet kewajiban dan prasyarat seperti izin dan pajak trayek sampai badan usaha.
"Taksi online tetap diberlakukan sebagai obyek ganjil genap. Sebab pada dasarnya taksi online adalah angkutan sewa khusus berplat hitam, setara dengan kendaraan pribadi, kecuali taksi online mau berubah ke plat kuning," ucap Tulus.
Tulus pun merekomendasikan agar pemerintah menaruh perhatian utama pada angkutan massal. Bahkan jika perlu angkutan yang sudah ada seperti BRT semakin diberi keistimewaan dan peningkatan layanan.
"Memperkuat jaringan dan pelayanan transportasi umum, khususnya Trans Jakarta di sterilkan jalurnya, agar waktu tempuhnya makin cepat. Dan adanya sarana transportasi pengumpan ke halte-halte Trans Jakarta yang lebih memadai," ucap Tulus.
Penulis: Vincent Fabian Thomas
Editor: Nur Hidayah Perwitasari