tirto.id - KM Sumut I berhenti tepat di koordinat tenggelamnya KM Sinar Bangun 5 setelah 25 menit perjalanan dari Dermaga Tigaras, Simalungun, Sumatera Utara. Mesin kapal yang nyaring berhenti bersuara, membuat suara obrolan antar penumpang di kabin penumpang yang samar jadi terdengar lebih jelas.
Di antara penumpang tersebut terdapat Li Anwar, ayah Ardi Wardana. Ardi adalah salah satu dari 164 orang yang hilang bersama KM Sinar Bangun 5 yang tenggelam pada Senin (18/6). Namun, pada Kamis (5/7) lalu, Anwar hadir sebagai salah satu perwakilan keluarga untuk menabur bunga penghormatan kepada para korban bersama Menteri Perhubungan, Budi Karya Sumadi.
Bersama Budi dan rombongan, Anwar turun dari kabin menuju geladak kapal. Langkahnya tampak berat dan pelan. Raut mukanya tampak menyembunyikan kepedihan. Saat berpapasan dengan saya di tangga, ia cuma tersenyum.
Di pinggir geladak, sambil menghadap ke Danau Toba yang luas dengan air biru berombak kecil dan berpayung awan putih berarak, Anwar menelungkupkan kedua telapak tangannya ke muka. Lama sekali, sampai Budi Karya menghampirinya untuk memberikan sekeranjang kembang.
Dengan tangan gemetar Anwar menaburkan bunga ke danau. Angin kencang menyapu setiap bunga yang ditebarkannya. Mirip bunga sakura yang gugur menyentuh tanah, bunga-bunga itu jatuh pelan satu demi satu ke air.
"Saya sudah ikhlas. Saya lihat sendiri setiap hari Basarnas dan pemerintah sudah bekerja keras mencari anak saya. Memang enggak bisa," kata Anwar pada saya usai menabur bunga.
Anwar tinggal di Desa Nagore Lambao, Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara. Selama 25 hari—sejak 18 Juni sampai 3 Juli—ia menetap di posko di Dermaga Tigaras, mengawasi setiap upaya Basarnas, Kemenhub dan Polisi air untuk menemukan korban.
"Setiap bangun tidur saya merasa dia (korban) pulang, tapi belum," kenangnya.
Jeritan hatinya ini berawal, kala pada pagi hari sebelum kejadian, Ardi Wardana, anaknya berpamitan saat hendak berpelesir ke Pulau Samosir bersama teman-temannya. Setelah akan kembali pulang, anaknya menumpang KM Sinar Bangun 5 dari Dermaga Simanindo, Pulau Samosir menuju Dermaga Tigaras pada pukul lima sore.
"Yang aneh itu waktu mau berangkat dia pamit ibunya sampai tiga kali. 'Aku berangkat ya, mak.' Dia keluar rumah, lalu balik lagi, bilang begitu lagi sampai tiga kali. Mungkin itu pesan terakhirnya," kenang Anwar.
Lelaki paruh baya ini baru mendapat kabar anaknya menjadi korban tenggelamnya KM Sinar Bangun 5 beberapa jam setelah melihat berita di televisi yang menayangkan seorang kawan anaknya yang tak jadi naik kapal nahas itu.
"Jadi kawan anak saya ini tertinggal karena kapalnya enggak muat lagi. Cuma dia saja, lainnya ikut hilang," kata Anwar yang tak mampu lagi mencegah air matanya tumpah, lalu lekas menyekanya.
"Saya ikhlas. Ikhlas," sambungnya sambil mencoba kembali tegar.
Sebagai seorang bapak Anwar memang telah ikhlas, namun sebagai seorang warga negara ia tetap mengutuk kelalaian pemerintah mengawasi keselamatan kapal yang membuat 164 orang hilang, tiga meninggal dunia dan hanya 18 yang selamat dari tragedi ini.
Menurutnya, sebagai salah satu moda transportasi utama di Danau Toba, pemerintah semestinya memperhatikan kesiapan kapal-kapal motor yang ada. Seperti ketersediaan jaket pelampung, pendataan penumpang, standar muatan kapal dan sinyal tanda bahaya. Hal-hal ini tidak ada atau minim ditemukan di KM Sinar Bangun 5 dan kapal-kapal lain yang beroperasi di Danau Toba.
"Ke depan supaya lebih diperhatikan keselamatannya. Biarlah anak-anak kami yang jadi korban. Jangan ada korban selanjutnya," kata Anwar.
Anwar juga menyoroti kondisi dermaga yang minim pelayanan. Tak ada loket karcis. Tak ada pos keselamatan. Tak ada pusat informasi terpadu. Bahkan, tak ada petugas yang benar-benar cakap mengawasi hilir mudik arus kapal.
"Saya berharap ke depan dermaga-dermaga ini bisa diperbaiki dan ditingkatkan jadi pelabuhan. Kami tidak keberatan membayar kalau memang dari dulu sudah begitu diberlakukannya," kata Anwar.
Sama hal dengan Anwar, Osde Manikasih Manurmata juga mengaku telah mengikhlaskan suaminya, Robert Hutahurug. Robert adalah satu-satunya anggota TNI yang menjadi korban dalam kecelakaan ini. Menurut Osde, suaminya itu telah bertugas selama delapan tahun di Harian Boho, Pulau Samosir, dan selalu pulang sebulan dua kali menggunakan kapal dari Dermaga Simanindo (Pulau Samosir) menuju Dermaga Tigaras (Simalungun).
"Sempat saya telepon dia. Itu di kapal. Dia bilang, 'sudah dulu ya nanti telepon lagi ini ramai," kata Osde.
Nasib buruk tak bisa dihindari. Pukul 12 malam di hari nahas itu, atasan Robert sempat menghubungi Osede, mengabarkan kalau suaminya ikut bersama KM Sinar Bangun 5 yang tenggelam. Keesokan harinya, pukul lima pagi, Osde segera berangkat dari rumahnya di Pematang Siantar.
"Saat itu saya cuma bisa meyakinkan diri sendiri dia masih hidup. Itu saja."
Selama 25 hari penuh Osde meninggalkan pekerjaan demi menunggu suaminya. Hingga akhirnya Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Luhut Binsar Panjaitan memutuskan menghentikan proses evakuasi karena keterbatasan alat dan kedalaman kapal yang tidak terjangkau penyelam manusia, sejak Selasa (3/7).
"Pemerintah memutuskan begitu ya kami hanya bisa pasrah. Tapi saya tetap berdoa suatu saat jenazahnya bisa muncul ke permukaan. Supaya bisa dimakamkan. Kenangan dia sekarang cuma keretanya (motor) saja," kata Osde.
Osde mengutuk fasilitas dermaga dan kondisi kapal-kapal penumpang di Danau Toba. Menurutnya, pemerintah wajib membenahi semuanya agar ke depan tidak ada kecelakaan lagi. Ia mau semua warga pengguna moda transportasi itu bisa aman.
"Jangan sikik saja pemerintah itu. Benahi betul kondisi dermaga dan kapal di sini," kata Osde dengan dialek Batak yang kental.
Membenahi Dermaga dan Kapal di Danau Toba
Kritik yang disampaikan Anwar dan Osde berbanding lurus dengan temuan lapangan dari tim ad hoc peningkatan keselamatan dan pelayaran yang terdiri dari Kemenhub, Pemerintah Daerah, Komite Nasional Keselamatan Transportasi, Badan Kualifikasi Indonesia, serta Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika.
Tim yang mulai bertugas pada 25 Juni lalu hingga 25 Juli mendatang ini telah menginventarisasi masalah-masalah pelayaran di Danau Toba. Dari 215 unit kapal yang beroperasi di sana, sudah 154 kapal yang mengalami ramp check (pemeriksaan lapangan). Hasilnya, seluruhnya mempunyai masalah.
Masalah-masalah itu di antaranya, seperti yang tertulis di data tim ad hoc yang saya terima, kapal tidak membawa dokumen saat beroperasi, nakhoda belum mempunyai sertifikat kecakapan, tempat duduk di dek tidak terpasang secara permanen, masih ada kapal yang memiliki tiga dek penumpang dengan teralis, akses darurat terhalang kendaraan bermotor, jaket pelampung kurang dan tidak ada, tangki BBM dekat ruang penumpang, tidak ada radio, tidak ada simulasi keamanan, tidak ada pengeras suara pengumuman, tidak ada alat pemadam api ringan dan instalasi listrik di tempat penumpang berantakan. Semua masalah itu persis dengan kondisi KM Sinar Bangun 5 sebelum tenggelam.
Sementara dari 36 dermaga yang ada di sekitar Danau Toba, tim ini menemukan masalah seperti fasilitas di titik keberangkatan tidak mumpuni, lingkungan belum steril, jumlah petugas pos terbatas, tidak ada ruang komunikasi dari dan ke kapal, pengaturan dan pengendalian kurang, tidak tersedia sistem informasi, tidak ada loket tiket, dan tidak ada pendataan manifes. Untuk sisi perairan, masalahnya adalah fasilitas standar minim dan tidak ada sarana bantu navigasi pelayaran.
Masalah-masalah dermaga tersebut yang mengakibatkan evakuasi korban KM Sinar Bangun 5 berjalan lambat. Bahkan, kabar kecelakaan juga tidak bisa langsung diterima pihak dermaga.
Mengenai ini, Menhub Budi Karya mengaku dalam sebulan ini akan melakukan perbaikan total terhadap sistem pelayaran di Danau Toba. Baik dari sisi kapal, dermaga, maupun SDM petugas pelaksananya.
"Makanya dalam skala kecil, di Toba ini kami menyekolahkan 100 orang. Supaya ada SDM yang mampu dan bisa mengelola pelabuhan itu sesuai prosedur standar," kata Budi, di Dermaga Tigaras, Kamis (5/7/2018).
Budi Karya mengusulkan kepada Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi dan Menteri Dalam Negeri (Menpan) agar pengelolaan dermaga bisa ikut ditangani pemerintah pusat, bukan hanya oleh pemda seperti halnya yang selama ini terjadi atas nama amanat otonomi daerah.
Ini diusulkan karena menurut Budi Karya perbaikan pelayaran di Danau Toba dan tempat lainnya membutuhkan banyak personel, terutama untuk melakukan ramp check berkala pada kapal dan dermaga.
"Fungsi-fungsi permanen atas pengawasan itu butuh tiga sampai empat bulan setelah kami mendapatkan rekomendasi dari Menpan dan persetujuan dari Mendagri."
Ia juga menegaskan akan mengetatkan perizinan kapal penumpang di Danau Toba dan tidak akan mentolerir pelanggaran seringan apa pun.
"Tidak akan ada surat izin untuk yang tidak memenuhi SOP," kata Budi.
Penulis: M. Ahsan Ridhoi
Editor: Rio Apinino