tirto.id - “Ini pertemuan terburuk sepanjang sejarah OPEC yang saya ketahui,” tegas Bijan Zanganeh, Menteri Urusan Perminyakan Iran, mengomentari pertemuan OPEC+ di Vienna, Austria.
OPEC+, gabungan negara anggota OPEC dan yang bukan, mengadakan pertemuan darurat awal Maret 2020 lalu. Agendanya 'sederhana'. Karena ekonomi dunia tengah sekarat akibat virus Corona namun produksi minyak terlalu berlebihan, Arab Saudi mengusulkan agar produksi minyak harus dipotong.
Usulan Saudi--de facto pemimpin OPEC--merupakan respons lanjutan atas situasi terkini terkait penyebaran COVID-19. Pada awal Februari, dan atas inisiatif Saudi pula, OPEC menetapkan kebijakan pemotongan produksi minyak dunia sebesar 2,1 juta barel per hari. Namun, kebijakan OPEC itu hanya berlaku hingga akhir Maret. Ekonomi ternyata tak juga membaik menyusuk merebaknya pandemi COVID-19. Saudi ingin pemotongan produksi minyak dilanjutkan dan angka pemangkasannya ditambah 1,5 juta barel per hari.
Rusia menolak. Penolakan muncul karena negeri beruang merah ragu apakah pemotongan kapasitas produksi bisa dianggap kebijakan yang tepat.
Namun, sebelum pertemuan OPEC+ resmi berakhir, Saudi mengejutkan semua pihak. Mereka resmi memutuskan memangkas produksi minyak, dan berharap anggota OPEC melakukan langkah serupa. Sementara itu, negara non-OPEC mau memotong kapasitas produksi hingga 500 ribu barel per hari.
Tidak ada kesepakatan lahir dalam OPEC+. Saudi dan Rusia kukuh dengan pendiriannya masing-masing.
Karena situasi OPEC+ inilah harga minyak mentah dunia anjlok. Minyak Brent, yang jadi patokan harga minyak internasional, memasang harga minyak mentah di angka $34,36 per barel, lebih rendah $10,91 sebelum pertemuan Wina dilakukan. Di Amerika Serikat, melalui April West Texas Intermediate, harga minyak mentah per barel berada di angka $31,13, merosot $10,15 dari harga sebelumnya.
Harga minyak mentah pasca-pertemuan di Wina adalah yang terendah sejak 2016, dan besaran persentase penurunannya merupakan yang terparah sejak Perang Teluk, Januari 1991 silam.
Jason Bordoff, mantan Direktur Senior U.S. National Security Council dan penasihat khusus Presiden Barack Obama, dalam kolomnya di Foreign Policy menyatakan: mungkin benar bahwa kebijakan pemangkasan produksi yang dilakukan Saudi dilakukan dalam rangka merespons pandemi COVID-19, namun jika dilihat lebih dalam, Saudi--dan juga juga Rusia sebagai duo negara produsen minyak terbesar--sebetulnya menyasar Amerika Serikat.
Selalu Gagal Kehabisan Minyak
Pada 1957, dalam rangka bermain dengan kapsul waktu, masyarakat di Tulsa, Oklahoma, AS mengubur mobil Plymouth Belvedere, beserta benda-benda lainnya yang populer di zaman itu. Tak lupa, karena yakin bahwa di tahun 2007 (tahun yang direncanakan untuk membongkar kapsul waktu) dunia akan kehabisan minyak, mobil dikubur dengan menyertakan beberapa botol bensin.
Ketika kapsul waktu dibongkar, bensin masih berlimpah di AS.
Sebagaimana ditulis Matt Novak di Gizmodo, Amerika Serikat sering memprediksi akhir kelangsungan minyak mereka. Uniknya, prediksi-prediksi itu selalu berakhir gagal. Koran Titusville Herald menyatakan pada 1909: “Minyak bumi telah digunakan tidak kurang dari 50 tahun dan diperkirakan cadangan minyak hanya akan cukup 25 atau 30 tahun lagi.
Hingga 1939, tahun sesuai prediksi, minyak bumi AS aman-aman saja.
Sebagaimana diberitakan Brooklyn Daily Eagle, pada 9 Maret 1937, Kapten H. A. Stuart, Direktur Naval Petroleum Reserves, menyatakan bahwa minyak bumi “diperkirakan hanya cukup hingga 15 tahun mendatang.”
Pada 1952, lagi, minyak bumi AS aman-aman saja.
Dalam pemberitaan Corpus Christi Times tertanggal 9 Maret 1957: “Berdasarkan M. King Hubbert dari Shell Development Co, batas puncak produksi minyak akan muncul dalam 10 hingga 15 tahun mendatang dan selepasnya produksi akan kian menurun.”
Pada 1972, lagi-lagi, minyak bumi AS aman-aman saja.
Terakhir, termuat dalam Bulletin of the ATomic Scientist yang terbit pada Mei 1972, tegas menyatakan bahwa “bagaimanapun, kapasitas produksi minyak AS hanya akan bertahan dalam 20 tahun.”
Pada 1992, tahun yang diprediksi menjadi akhir riwayat perminyakan AS, minyak justru berlimpah.
Prediksi dan hasil akhir yang menyatakan sebaliknya--yang jelas membuat AS senang--terus terulang. Kok bisa?
Sejak pertama kali melakukan pengeboran minyak pada tahun 1859 di Drake Well, Titusville, Pennsylvania, Paman Sam tak berhenti berinovasi untuk menghasilkan minyak. Adam Cole, dalam penjelasannya di Vox, menyebut teknologi berperan besar untuk menemukan ladang baru pengeboran minyak. Awalnya, AS hanya menggunakan seismic scans guna mengetahui lebih presisi ada apa di balik kulit Bumi. Perlahan, perusahaan-perusahaan minyak Amerika menggunakan satelit, LIDAR, hingga pendekatan magnetik untuk mendeteksi keberadaan minyak bumi di tanah Paman Sam.
Namun, salah satu teknik yang paling mencengangkan dan sukses membuat minyak bumi AS berlimpah adalah hydraulic fracturing. Teknik ini mengandaikan suatu proses di mana cairan bertekanan tinggi disuntikkan ke dalam formasi batuan yang mengandung minyak atau gas untuk membuat rekahan. Melalui teknik ini, batuan sedimen berbutir halus kaya organik yang mengandung kerogen, mencuat dan mendapatkan hidrokarbon cair. Lalu muncullah minyak serpih.
Tentu, teknik hydraulic fracturing saja tak cukup. Perusahaan-perusahaan minyak AS bekerjasama dengan perusahaan-perusahaan teknologi asal Silicon Valley seperti Google, IBM, Amazon, hingga Microsoft untuk menghasilkan minyak. Google bahkan mendirikan divisi minyak, gas, dan energi yang dikepalai Darryl Willis, seorang veteran eksekutif British Petroleum (BP).
Setelah pembentukan divisi baru, Google bekerjasama dengan Anadarko Petroleum, salah satu perusahaan eksplorasi minyak terbesar di AS. Google dan Anadarko, menurut laporan Financial Times, akan “memanfaatkan kecerdasan buatan untuk menganalisis data seismik dan operasional yang sangat besar untuk mencari, memaksimalkan, dan meningkatkan efisiensi produksi minyak.”
Kecerdasan buatan alias artificial intelligence alias AI memang sangat bermanfaat digunakan untuk industri minyak bumi. Mehdi Mohammadpoor, dalam studi berjudul “Big Data analytics in oil and gas industry: An emerging trend" (Maret 2020) menyebut bahwa Big Data, salah satu ranah di AI, merupakan perangkat yang sangat baik untuk digunakan menganalisis data seismik, yang dihasilkan dari 60 sensor--jumlah yang umum digunakan perusahaan minyak masa kini ketika hendak melakukan pemetaan suatu wilayah pengeboran.
Data yang melimpah itu paling baik dianalisis menggunakan AI. Pada 1989 misalnya, geolog asal Belanda melakukan pemetaan terhadap wilayah pengeboran minyak di Laut Utara selama berbulan-bulan. IBM, dengan kekuatan AI-nya, sanggup memetakan ulang kerja sang geolog sekaligus menyempurnakannya hanya dalam waktu 10 menit.
Hydraulic fracturing dan bantuan silicon valley inilah yang memicu shale revolution di Amerika Serikat.
Sejak 2009, sebagaimana diberitakan Market Watch, kapasitas produksi minyak AS terus meningkat. Disokong terutama oleh minyak serpih, Amerika menghasilkan 7,7 juta barel minyak per hari di tahun 2019.
Revolusi minyak di AS sukses membuat Paman Sam memiliki kekuatan ekonomi dan geopolitik yang lebih baik, dan melepaskannya dari bayang-bayang kuasa minyak Arab Saudi dan Rusia.
Namun, Saudi dan Rusia sadar, kesuksesan AS atas produksi minyaknya memiliki kelemahan: harga murah.
Minyak serpih (shale oil) berbeda dengan crude oil atau minyak konvensional, terkait biaya produksi. Minyak serpih membutuhkan biaya yang lebih besar karena minyak harus diekstraksi dari sedimen padat. Kerjasama perusahaan-perusahaan minyak AS dengan Silicon Valley juga menambah biaya. Investopedia memperkirakan, biaya produksi per barel shale oil berada di kisaran $40 hingga $90. Di sisi lain, biaya produksi minyak konvensional hanya berada di angka $30 hingga $40 per barel. Bahkan, Arab Saudi diyakini hanya butuh $10 untuk menghasilkan minyak per barel.
Goldman Sachs memperkirakan, jika Saudi dan Rusia tidak akur soal kapasitas produksi minyak, harga minyak mentah dunia dapat jatuh ke angka $20 per barel.
Editor: Windu Jusuf