tirto.id - Tol Trans Jawa dipastikan siap digunakan saat musim libur Natal 2018 dan Tahun Baru 2019. Presiden Joko Widodo pun telah menjajalnya bersama para pekerja yang turut membangun proyek jalan itu, pada Kamis (20/12/2018).
Pada kesempatan itu, Jokowi juga menandatangani empat prasasti di area Tol Wilayah Jawa Timur meliputi Ngawi-Kertosono (segmen Wilangan-Kertosono sepanjang 37,9 km), Jombang-Mojokerto (Seksi Bandar-Kertosono 0,9 km), relokasi Jalan Tol Porong-Gempol 6,3 km, Jalan Tol Gempol-Pasuruan (Seksi Pasuruan-Grati 13,65 km).
Presiden Jokowi kemudian menjajal Tol Pemalang-Batang segmen Simpang Susun Pemalang-Pasekaran, Tol Batang-Semarang segmen Pasekaran-Simpang Susun Krapyak, dan Tol Semarang-Solo segmen Salatiga-Kartasura.
Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Rini Soemarno yang menemani Jokowi dalam presmian proyek itu menyebutkan Tol Trans Jawa akan dibuka untuk masyarakat umum mulai Jumat (21/12) besok.
“Mungkin besok pagi [Tol Trans Jawa] sudah dibuka untuk umum,” kata Menteri Rini, di Surabaya, seperti dikutip Antara, Kamis (20/12/2018).
Rini menjelaskan jalan Tol Trans Jawa ini sudah mendapatkan sertifikasi dan dalam kondisi sepenuhnya bagus, sehingga bisa dilalui oleh masyarakat umum. “Jalannya sudah rapi dan mendapatkan sertifikasi untuk bisa dilalui masyarakat,” kata Rini.
Dengan demikian, Tol Trans Jawa yang menghubungkan sejumlah wilayah di Pulau Jawa ini dipastikan dapat digunakan saat libur Natal 2018 dan Tahun Baru 2019. Akan tetapi, di samping manfaatnya yang mampu memperlancar mobilisasi masyarakat, kehadiran tol ini membawa sejumlah kekhawatiran.
Wakil Ketua Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Djoko Setijowarno mengatakan seringkali beberapa saat setelah diresmikan, jalan tol kerap dihantui oleh kecelakaan lalu lintas.
Sebab, kata dia, pengguna jalan umumnya menjadi kurang waspada saat menghadapi jalan yang tidak sepadat jalan arteri.
Akibatnya, kata Djoko, ketika pengemudi mendapati jalan di depannya lurus dan cenderung sepi, maka kecepatan pun dipacu melampaui batas kecepatan yang tertera pada rambu jalan. Belum lagi, desain jalan yang dihadapi di Tol Trans Jawa umumnya lurus.
“Lengah enggak waspada. Dari jalan arteri yang sering berhenti, tiba-tiba mulus masuk tol. Jadi nyaman dia nginjek gas. Ketika kecelakaan, ya fatal,” kata Dosen Teknik Sipil Universitas Katolik Soegijapranata ini kepada reporter Tirto, Kamis (20/12/2018).
Untuk mengatasi hal itu, Djoko mengatakan, pemerintah perlu memasang marka jalan yang memuat informasi kecepatan jalan yang dianjurkan.
Di samping itu, kata dia, sejumlah petugas kepolisian juga perlu disiagakan untuk memantau kecepatan. Bilamana pengemudi didapati melanggar batas kecepatan yang diizinkan, maka pengemudi dapat diberi denda.
"Kalau di jalan tol itu maksimal 100 minimal 60, tapi, kan, enggak semua pengemudi tahu,” kata Djoko.
Selain kecepatan, Djoko juga mengingatkan pentingnya beristirahat saat mengemudi jarak jauh. Di samping kesadaran pengemudi, kata Djoko, tersedianya ruang beristirahat juga menjadi penting, terutama bagi pengemudi bus dan truk.
“Harus disiapkan tempat beristirahat khusus pengemudi. Kalau bus bisa di tempat wisatanya karena mereka butuh cepat. Kalau truk, butuh itu di rest area,” kata Djoko.
Kepala Biro Komunikasi Kementerian Pekerjaan Umum dan Rumah Rakyat (PUPR) pun membenarkan hal itu. Menurutnya, saat fasilitas perjalanan jauh dan bebas hambatan disediakan, masyarakat perlu memiliki perubahan kebiasaan berkendara.
"Kalau sekarang Tol Trans Jawa ini dalam banyak ruas pasti kondisi sepi. Bisa mendorong orang secara sadar dan enggak sadar untuk berjalan secepat-cepatnya,” kata Endra.
Menuru Endra perubahan perilaku ini perlu diatasi dengan sosialisasi agar masyarakat mengetahui dan mematuhi peraturan di jalan tol.
Endra mencontohkan perjalanan Merak-Pasuruan memang dapat ditempuh selama 9 jam dengan kecepatan 100 km per jam tanpa beristirahat. Namun, ia mengimbau agar pengemudi memiliki interval istirahat sekitar 20-30 persen dari waktu perjalanan.
Misalnya dari Merak-Pasuruan, kata dia, pengemudi diharapkan beristirahat setiap tiga jam walaupun waktu tempuh akhir menjadi 12 jam.
“Jadi prinsipnya kita harus perhatikan keselamatan pengguna jalan tol ini agar mengurangi risiko kecelakaan akibat human error dan fatigue,” kata Endra.
Menanggapi kekhawatiran itu, Direktur Jendral Perhubungan Darat Kementerian Perhubungan Budi Setyadi mengatakan telah ada pembicaraan antara Kemenhub dengan PT Jasa Marga untuk menyediakan garis-garis kejut agar pengemudi diharuskan mengurangi kecepatannya di titik-titik tertentu.
Garis kejut itu, kata Budi, juga ditujukan bagi pengemudi yang mengalami kelelahan akibat perjalanan panjang. Dengan demikian, kata Budi, pengguna jalan dapat tetap waspada saat berkendara.
"Garis kejut ini akan ditambahkan di tempat-tempat yang menurut kami butuh itu. Jadi masyarakat tidak terlena dengan enaknya jalan tol," ucap Budi.
Penulis: Vincent Fabian Thomas
Editor: Abdul Aziz