tirto.id - Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil berpendapat kerumunan Front Pembela Islam (FPI) di sejumlah tempat setelah kepulangan Rizieq Shihab awalnya dipicu Menkopolhukam Mahfud MD. Beberapa titik kerumunan muncul di Soekarno-Hatta, Megamendung, dan Petamburan.
“Semua kekisruhan yang berlarut-larut ini dimulai sejak adanya pernyataan dari Pak Mahfud yang menyatakan penjemputan HRS (Rizieq Shihab) diizinkan,” kata Emil, sapaan akrab Ridwan Kamil, usai diperiksa Direktorat Reserse Kriminal Umum Polda Jawa Barat, Rabu (16/12/2020).
Oleh karena itu Emil meminta Mahfud ikut bertanggung jawab. Jika dia dipanggil polisi karena kerumunan, maka semestinya Mahfud pun demikian.
Mahfud menjawab kalau dia telah bertanggung jawab. “Saya mengizinkan pulang, mengawal keamanan, tidak boleh merusak, dan tidak ada perusakan. Di bandara itu ada kerusakan, tapi bukan perusakan,” ucap mantan Ketua Mahkamah Konstitusi itu.
Selesaikan yang Lebih Penting
Emil dan Mahfud sempat saling bersahut di Twitter soal perkara ini. Di saat itulah ilmuwan MRI di National Neuroscience Institute Septian Hartono, via akun Twitter @septian, menginterupsi. Dia bilang, alih-alih ribut perkara Rizieq, sebaiknya Emil menyelesaikan masalah lain: perbedaan data COVID-19.
Dia melampirkan cuitan dari akun @KawalCOVID19, inisiatif warga yang punya visi mengawal informasi pandemi, mendorong transparansi data dan komunikasi krisis yang benar, dan mengadvokasi kebijakan berbasis bukti. Dalam cuitan itu KawalCOVID19 menyebutkan per 16 Desember ada perbedaan jumlah kasus sebanyak 11.093 versi Kementerian Kesehatan dan situs daerah masing-masing.
Total kasus meninggal dunia pun berbeda. Di Jabar mencapai 1.036.
Selisih kasus di Jabar ini terdua kebanyak. Di posisi pertama ada Jawa Tengah yang perbedaannya mencapai 23.651.
“Makin ke sini ‘jarak’ antara data daerah dan pusat semakin besar,” ucap co-founder KawalCOVID19 Elina Ciptadi kepada reporter Tirto, Kamis (17/12/2020). Masyarakat akan maklum jika misalnya selisihnya makin kecil setiap hari, misalnya mungkin karena kesalahan saat memasukkan data atau permasalahan sistem. Namun yang terjadi justru sebaliknya.
Jika tak ada usaha menyelaraskan data, ia khawatir publik semakin abai terhadap pandemi yang kurvanya terus meningkat. “Kalau yang belum terdeteksi atau sudah terdeteksi tidak dilaporkan dan ternyata [yang positif] sekian lipatnya dari itu, maka [masyarakat] akan abai.” “Seburuk apa pun, lebih baik masyarakat tahu kondisi yang sebenarnya agar tetap waspada.”
Irma Hidayana, Koordinator LaporCovid19, juga inisiatif warga, mengatakan perbedaan data terjadi karena pemerintah “tidak mau transparan saja.” “Maunya menutupi angka/kasus. Yang dikendalikan justru data statistik, bukan pandeminya,” tutur dia kepada reporter Tirto, Kamis.
Pakar Epidemiologi dari Universitas Airlangga Windhu Purnomo mengatakan seharusnya data berasal dari satu pintu sehingga tidak membingungkan masyarakat. Lantas, data yang telah dipublikasi pun tetap harus dimungkinkan berubah jika memang terbukti keliru setelah diverifikasi.
“Di antara pemerintah pusat dan daerah, juga antarpemerintah daerah, tidak boleh saling silang pendapat dalam informasi. Silang pendapat hanya boleh sebelum informasi dipublikasikan,” ucap Windhu kepada reporter Tirto, Kamis.
Dia juga bilang semua informasi berkaitan dengan kasus COVID-19 harusnya diumumkan secara terbuka. Masalahnya itu juga tak dilakukan. Hingga kini, lanjut dia, perkara kematian probable tidak pernah diumumkan secara rutin.
Data yang baik pada akhirnya berujung pada ketepatan kebijakan penanganan pandemi.
Selain dari publikasi, pemerintah juga harus meningkatkan pengujian dan penelusuran. Tujuannya untuk mencari sebanyak mungkin kasus positif agar dapat segera melakukan isolasi sehingga rantai penularan diputus. “Dibarengi kedisiplinan masyarakat yang tinggi dalam mematuhi 3M (plus vaksin bila sudah ada), maka diharapkan pandemi bisa cepat terkendali.”
Penulis: Adi Briantika
Editor: Rio Apinino