Menuju konten utama

Yang Fana adalah Yu Djum, Gudeg Abadi

Jika dunia masak memasak diibaratkan sebagai Star Wars, maka Yu Djum adalah Yoda.

Yang Fana adalah Yu Djum, Gudeg Abadi
Foto Yu Djum dalam baliho kuliner Khas Jogja. Pengusaha gudeg terkenal dari Yogyakarta Djuwariah atau biasa dikenal dengan nama Yu Djum, tutup usia, sekitar pukul 18.10 di Rumah Sakit (RS) Bethesda. [Foto/gudegyudjumpusat.com]

tirto.id - Memasak gudeg yang benar-benar enak membutuhkan waktu yang cukup lama. Dan Yu Djum berpuluh-puluh tahun lamanya tetap menekuni pekerjaan memasak gudeg dengan cara lama yang memakan waktu itu. Saat Yu Djum akhirnya benar-benar mangkat, ia pantas mendapatkan penghargaan itu: dikenang untuk waktu yang lama.

Sejarah gudeg bisa ditarik hingga abad 16 silam. Menurut Murdjiati Gardjito, peneliti di Pusat Kajian Makanan Tradisional, Pusat Studi Pangan dan Gizi UGM, gudeg muncul bersamaan dengan pembangunan kerajaan Mataram Islam di daerah yang sekarang dikenal sebagai Kotagede.

"Saat pembangunan di alas Mentaok itu, banyak pohon yang ditebang. Di antaranya pohon nangka, kelapa, dan melinjo," kata Murdjiati dalam wawancara dengan National Geographic Indonesia.

Karena banyak nangka muda, juga kelapa, maka para pekerja mencoba membuat makanan dari bahan itu. Karenanya, selain ada gudeg yang dibuat dari nangka muda, ada pula gudeg manggar yang terbuat dari bunga kelapa yang masih muda.

Membuat gudeg membutuhkan kesabaran karena cara memasaknya yang lama itu. Seperti rendang, gudeg pada dasarnya dimasak lama supaya awet. Cara memasak yang lama ini yang justru menghadirkan rasanya yang khas. Gudeg harus dimasak lama jika ingin disebut sebagai gudeg. Jika dimasak dalam waktu pendek, tak ada bedanya dengan sayur nangka. Rendang harus dimasak hingga kering supaya tak sama dengan kalio.

Pembuatannya pun harus diudek dengan alat yang mirip dayung perahu. Proses mengudeg (bahasa Jawa untuk "mengaduk") ini yang membuatnya dinamai gudeg.

Karena prosesnya yang rumit dan lama, tidak heran jika gudeg sekian lama tidak diproduksi untuk dijual. Bahkan hingga abad ke-19 belum banyak penjual gudeg di Ygyakarta. Namun saat kampus UGM berdiri, gudeg mulai banyak dijual. Gudeg juga makin dikenal karena pariwisata Jogja yang berkembang pesat.

Pada dasarnya, gudeg adalah tipikal makanan acquired taste alias belum tentu cocok untuk semua orang. Bagi kebanyakan orang di luar Yogyakarta, gudeg terlalu manis. Bahkan bagi orang Jawa pun belum tentu cocok, apalagi yang berasal dari bagian Timur, gudeg dibilang seperti kolak: rasa manisnya terlampau pekat dan bikin lidah bergidik.

Sri Owen, penulis beberapa buku masak, termasuk Indonesian Regional Food & Cookery, mengatakan gudeg adalah makanan unik. Ia berasal dari Yogyakarta yang dikenal sebagai kota pariwisata. Namun, wisatawan yang tak terbiasa dengan rasa manis pasti membutuhkan waktu untuk beradaptasi. Masalahnya: para wisatawan datang dan pergi dengan cepat. Lidah mereka tak punya cukup waktu untuk menyesuaikan diri dengan rasa manis yang menggigit itu.

"Gudeg adalah makanan paling enak dan memuaskan di antara semua makanan Yogyakarta. Tapi rasanya terlalu manis (sebagai makanan gurih) bagi kebanyakan orang. Sebagian besar wisatawan menganggap rasanya perlu waktu untuk disukai. Tapi sekali mereka sudah mencoba gudeg di tempat yang tepat, mereka akan menyadari betapa enaknya gudeg ini," kata Sri Owen.

Dan salah satu tempat makan gudeg "yang tepat" itu adalah gudeg Yu Djum. Bahkan hingga sekarang, rasa-rasanya nama Yu Djum adalah jaminan mutu untuk rasa gudeg yang Jogja banget. Saat para penjaja gudeg lain berusaha beradaptasi dengan lidah non Yogyakarta, Yu Djum tetap saja dengan manisnya yang pekat itu. Gudeg Yu Djum masih seperti yang dulu ketika gudeg-gudeg lain mulai menghadirkan rasa gudeg yang gurih untuk berkompromi dengan keragaman lidah para pendatang atau wisatawan.

Saya masih ingat betapa kagetnya lidah saya sewaktu pertama kali mencicipi gudeg yang warnanya kecokelatan itu. Waktu itu ayah yang mengajak saya mencicipi gudeg. Mungkin pada pertengahan tahun 1990-an.

Gudeg Yu Djum adalah langganan ayah sejak akhir 1976. Saat itu ayah datang ke Yogyakarta untuk mengikuti ujian masuk di Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada. Ia gagal dalam tes masuk karena alasan mendasar yang sialnya baru ia ketahui persis di hari tes: dia buta warna. Karena malu untuk kembali ke Jember, ayah memutuskan tinggal di Yogyakarta sebagai pencuci piring di sebuah restoran.

Saat itulah untuk pertama kalinya Ayah mengenal gudeg berkat rekomendasi saudaranya. Reaksinya sama persis seperti ketika saya, puluhan tahun kemudian, mencicipi gudeg untuk pertama kali: kaget dengan legitnya yang asing. Sebagai orang dengan darah Madura, lidah ayah lebih cocok dengan rasa asin. Sayur nangka yang dia bayangkan adalah sayur nangka yang dimasak dengan rasa asin-pedas. Bukan manis dan bertekstur lembek.

Tapi ayah ternyata jatuh cinta dengan gudeg, khususnya dengan krecek dan telur gudeg Yu Djum. Krecek Yu Djum bertekstur lembut. Ia seperti bisa leleh di lidah. Kalau gudeg ibarat Ying yang manis, maka sambal krecek adalah Yang yang pedas. Krecek memberikan penyeimbang yang kuat untuk rasa gudeg yang jelas mengejutkan bagi siapapun yang tak terbiasa.

Sedangkan telurnya? Alamak! Ini hidangan terbaik dari Yu Djum. Telur bebek dimasak dalam waktu lama, direbus dengan berbagai bumbu selama minimal 4 jam. Telurnya harus telur bebek, supaya tak hancur saat direbus dalam waktu yang lama. Hasilnya adalah mahakarya boga: tekstur putih yang mengeras, bumbu yang meresap, dan kuning telur yang padat namun tetap creamy.

Ayah tinggal di Yogya sekitar setahun. Waktu yang cukup lama untuk membuatnya jatuh cinta pada gudeg. Selama setahun itu pula ayah mencoba gudeg di berbagai penjual. Kesimpulannya satu: gudeg Yu Djum adalah yang paling enak.

Tentu enak atau tak enak perihal selera, tak bisa diperdebatkan. Namun apa yang hebat dari Yu Djum adalah kesetiaannya pada rasa yang dia munculkan sejak awal berjualan gudeg pada 1950an: gudeg yang manis. Dia tak merasa perlu memodifikasi rasa untuk mengakomodasi para pelanggan baru (baca: wisatawan). Baginya, gudeg ya harus manis. Begitu pula dengan cara memasaknya. Yu Djum tetap setia menggunakan kayu bakar sebagai bahan bakar utama tungku gudeg.

Sikap yang keras pada "jalan gudeg" ini tentu tidak praktis bagi zaman kiwari yang mengutamakan kecepatan dan juga kelarisan.

Infografik Gudeg Yu Djum

Sekarang di Yogyakarta ada berbagai jenis gudeg dengan rasa gurih, atau dengan rasa manis yang tak terlalu pekat. Ada pula varian gudeg mercon dengan pedasnya yang meledak di mulut. Apakah itu salah? Tentu tidak. Apalagi jika ingin meletakkan gudeg sebagai komoditi kontemporer, mau tak mau memang harus beradaptasi.

Justru karena itu, Yu Djum jadi terasa menjulang di antara penjual gudeg yang lain. Sebab memang perlu usaha dan keteguhan yang penuh untuk tetap setia pada rasa.

Sri Owen sendiri pernah menuliskan bahwa ada banyak sekali makanan Indonesia yang terancam punah. Salah satunya adalah gudeg. Penyebabnya, antara lain, gudeg dianggap tidak sesuai dengan zaman yang makin berkembang. Maka rasa gudeg yang "asli" terancam hilang.

Anglo digantikan dengan kompor. Kayu bakar digantikan dengan gas. Masak berjam-jam? Lupakan saja, asal warna nangka muda sudah cokelat, maka bisa disajikan. Bumbu yang diulek? Ah terlalu boros waktu, ada food processor. Jangan heran jika hasilnya sering kali tanggung. Tak punya karakter. Bahkan dibilang enak pun belum bisa.

Semakin berkembangnya pariwisata juga membuat permintaan gudeg makin tinggi. Penjual gudeg yang sudah mapan pun berlomba membuat cabang. Malah kadang terlalu banyak cabang. Hasilnya jelas: inkonsistensi rasa.

Ironisnya, ini juga dilakukan gudeg Yu Djum. Kini setidaknya ada 7 cabang Yu Djum di seluruh Yogya, sehingga embuat konsistensi rasanya menjadi kedodoran. Saya pernah beberapa kali mencoba gudeg Yu Djum di cabang yang berbeda. Apa boleh buat: rasanya memang berbeda. Saya sendiri merekomendasikan gudeg Yu Djum yang ada di Mberek, Jalan Kaliurang.

Malam ini kabar duka itu datang. Yu Djum, si pelaku "jalan gudeg", meninggal dunia dalam usia 85 tahun.

Ini kehilangan besar. Kita menyaksikan para perintis makanan yang kemudian menjadi ikon makanan tersebut, satu per satu mangkat. Di tahun ini, di Jakarta, Ajo Ramon yang beken sebagai ikon sate Padang, juga meninggal dunia.

Akan ada lubang yang tak bisa ditambal selepas Yu Djum pergi. Bagi para penerusnya, ada banyak pilihan yang bisa diambil. Para anak cucunya bisa mempertahankan resep dan cara lama yang digunakan. Atau mengembangkan gudeg ala mereka dengan cara baru (termasuk inovasi pengemasan) tapi dengan risiko rasa yang berubah.

Risiko ini pernah diambil oleh penerus gudeg Bu Tjitro. Mereka membuat gudeg dalam kemasan kaleng. Inovasi ini membelah dua pihak: para penggemar lawas yang menyukai gudeg konservatif, dan para wisatawan yang lebih menyukai gudeg ini karena bisa tahan lebih lama.

Pilihannya untuk terus bersetia dengan "jalan gudeg", sejak berjualan gudeg pada usia 15 tahun, membuat Yu Djum tak ubahnya Yoda -- jika dunia masak memasak diibaratkan sebagai Star Wars.

Bahwa gudeg mungkin tidak akan sama lagi pada tahun-tahun mendatang, demikianlah memang hukum alam. Tidak ada yang abadi, selain perubahan itu sendiri. Biarlah cita rasa legit gudeg Yu Djum akhirnya hanya akan tertinggal di ujung lidah orang-orang yang pernah mencecapnya saja.

Dengan atau tanpa Yu Djum, gudeg akan tetap ada. Sebab lembek pada nangka, dan krecek pada gudeg, akan tetap di sana -- apa pun rasanya.

Baca juga artikel terkait GUDEG atau tulisan lainnya dari Nuran Wibisono

tirto.id - Humaniora
Reporter: Nuran Wibisono
Penulis: Nuran Wibisono
Editor: Zen RS