tirto.id - Yaman tengah dihadapkan pada krisis kemanusiaan akibat perang saudara yang tak berkesudahan. Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) bahkan melabeli Yaman sebagai negeri dengan krisis terburuk, yang warganya sangat rawan terserang penyakit.
Label PBB bukannya tanpa dasar, karena jika melihat tren kasus infeksi virus corona di negara tersebut, sejak pertama kali dikonfirmasi pada pertengahan April lalu, kini persebaran kasus terus mengalami lonjakan. Di samping itu, mereka mendapat ancaman dari wabah lain, kolera, yang jumlah korbannya terus meningkat.
Dilaporkan oleh Xinhua, sejak awal tahun 2020 hingga Mei saja, ada lebih dari 110.000 kasus kolera yang dikonfirmasi. Kantor PBB untuk koordinasi urusan kemanusiaan (OCHA) mencatat, setidaknya ada 290 dari 333 distrik di Yaman yang terinfeksi kolera.
Sementara Kementerian Kesehatan Masyarakat dan Penduduk Yaman, pada awal Juni lalu melaporkan kasus kumulatif sejak Januari 2018 hingga Mei 2020. Yaman mencatatkan 1.368.325 kasus kolera, dengan 1.566 kematian, yang mana 23 persen di antaranya menyerang balita dan anak-anak.
Kondisi ini pun makin memprihatinkan, jika melihat situasi di Yaman yang masih dirundung perang, yang menyebabkan beberapa fasilitas kesehatan telah hancur selama konflik. Bahkan, melihat tiga ancaman sekaligus di Yaman: perang, corona, dan kolera, Kepala komisoner tinggi PBB untuk pengungsi (UNCHR), Jean-Nicolas Beuze khawatir "Yaman akan terhapus dari peta".
Kekhawatiran Beuze semakin ditegaskan oleh Oxfam International, organisasi nirlaba yang berfokus pada pembangunan, penanggulangan bencana, dan advokasi. Mengutip rilis resmi-nya pada bulan Maret lalu, mereka menjelaskan bahwa, "Agustus nanti Yaman akan memasuki musim hujan, yang berarti wabah kolera bisa menjadi lebih mengerikan."
Corona dan Kolera di Tengah Krisis Kemanusiaan
Semenjak kasus pertama ditemukan pada pertengahan April, hingga hari ini, Rabu (29/7/2020), negera yang terletak di ujung selatan Kerajaan Saudi itu telah mengonfirmasi 1.703 kasus positif dengan 484 kematian, demikian data yang dihimpun dari Worldometers.
Namun, angka-angka tersebut diragukan. Banyak yang mengklaim bahwa data itu tidak akurat, dan jumlah orang yang terpapar diklaim jauh lebih banyak.
Alasannya, seperti dilaporkan BBC, kebanyakan kasus dilaporkan di daerah yang dikuasai pemerintah, sementara, skala sebenarnya dari wabah itu mustahil untuk diukur.
Pemerintah mengumumkan ada lebih dari 900 kasus virus corona, sementara pemberontak yang menguasai Ibu Kota dan wilayah padat lainnya hanya mendeteksi empat kasus.
PBB memprediksi, jika dilihat dari jumlah alat uji virus yang terbatas, kurang transparansinya data pemerintah maupun pemberontak, jumlah kasus virus corona yang sebenarnya terjadi jauh lebih tinggi daripada yang disampaikan.
Selain itu, konflik yang tak berkesudahan membuat sistem kesehatan di Yaman menjadi rapuh. Banyak rumah sakit yang kekurangan obat, petugas medis juga tidak memiliki alat pelindung diri atau APD seperti masker, jubah, sarung tangan dan lainnya yang berfungsi untuk melindungi dari penyakit.
Sebuah situs berita lokal a Al-Masdar menyebut, puluhan petugas medis telah tewas akibat virus corona di daerah yang baik dikuasai pemberontak maupun pemerintah.
Masih menurut laporan dari BBC, bahkan tiga tahun sebelum virus corona muncul pun, PBB sudah menyatakan Yaman sebagai negara yang paling miskin di dunia. Salah satu alasannya karena sekitar 24 juta orang di sana – sekitar 80 persen dari populasi – bergantung pada bantuan untuk bertahan hidup, dan jutaan berada di ambang kelaparan.
Diperkirakan dua juta anak kekurangan gizi akut, dan negara itu mengalami kesulitan dalam mengatasi penyakit seperti demam berdarah, malaria, serta yang paling parah adalah kolera, sebelum kasus pertama virus corona dilaporkan.
Di samping itu, mengutip rilis resmi Dana Anak-Anak PBB di laman unicef.org, menyatakan bahwa negara ini juga menderita wabah kolera terburuk di zaman modern, dengan 110 ribu kasus antara Januari dan April tahun ini.
Sebanyak 50 persen orang yang menderita kolera tidak pergi berobat selama tiga bulan terakhir, karena menghindari kerumunan yang dapat menyebabkan penularan virus corona.
Sebuah laporan dari The Economist juga menunjukkan bahwa sekitar 20 persen dari 333 distrik di negara itu tidak memiliki dokter karena meninggal akibat virus corona. Jumlahnya juga terus menurun.
Sementara kekhawatiran terus diperparah oleh fakta, bahwa setengah dari mereka yang didiagnosis kolera akan mati jika penyakit itu dibiarkan tanpa pengobatan, kata Badan Kesehatan Dunia (WHO).
Muhsin Siddiquey, direktur Oxfam Yaman, kepada Guardian mengatakan, "Yaman berada di jalur untuk bencana yang benar-benar mengerikan karena kolera dan Covid-19 dapat memuncak dalam beberapa minggu mendatang.”
Ia menambahkan, bahwa rakyat Yaman saat ini sangat membutuhkan akhir dari pertempuran, yang telah menghancurkan fasilitas kesehatan dan membuat masyarakat lebih rentan terhadap virus.
Sementara kepala kemanusiaan PBB Mark Lowcock kepada dewan keamanan PBB mengatakan, pendanaan untuk krisis kemanusiaan di Yaman berada di ambang kehancuran, karena negara-negara Teluk yang memberikan bantuan telah memberikan pendanaan sebelumnya. Sementara kini, negara-negara itu sedang terpukul akibat jatuhnya harga minyak.
Lebih jauh, masih menurut Lowcock, tak adanya bantuan dana serta pembatasan yang lebih ketat pada impor makanan, berarti telah membuat kenaikan harga makanan yang signifikan. Jutaan orang Yaman pun semakin dekat dengan krisis kelaparan.
“Kelaparan telah tiba. Konflik kembali meningkat. Ekonomi kembali berantakan. Badan-badan kemanusiaan, sekali lagi, hampir bangkrut, ” pungkasnya, dikutip Guardian, Selasa (28/7/2020).
Penulis: Ahmad Efendi
Editor: Yantina Debora