tirto.id - Sejak Juni tahun lalu, Vivo, produsen ponsel pintar asal Cina menjadi sponsor resmi gelaran Piala Dunia 2018 di Rusia. Vivo diperkirakan merogoh jutaan Euro pada FIFA untuk ajang sepakbola bergengsi dan terakbar itu.
Langkah berani Vivo ini memang patut diapresiasi di tengah masih adanya stigma citra miring produk Cina. Keputusan mengeluarkan anggaran jorjoran oleh Vivo tentu saja tak terpisahkan untuk membangun merek, citra positif, dan tentunya ujung-ujungnya adalah pemasaran.
Paper berjudul “Made In China’ Political and Cultural Valuation of Brand Images, Trade, and Commodities” (2009) yang ditulis Liones Obadia, profesior Antropologi pada University Lyon, mengungkapkan bahwa merek Cina atau produk-produk berlabel “made in China” memang kadung diberi cap negatif oleh masyarakat. Label “made in China” berkorelasi dengan produk murah, cepat jadi, kualitas rendah, hingga yang paling menonjol terkait isu pembajakan.
Edy Kusuma, Manajer Brand Vivo Indonesia, mengklaim bahwa stigma negatif produk Cina kini telah luntur, terutama di Indonesia. “Sekarang stigma itu sudah tidak lagi sejak 2014.”
Namun, untuk mengukur sejauh mana stigma itu telah luntur tentu hal yang sulit. Data International Data Corporation (IDC) bisa sedikit memberi gambaran melalui laporan tentang pengapalan smartphone di kuartal I-2018 secara global. Dari lima besar produsen yang mengapalkan smartphone terbanyak, tiga di antaranya merupakan produsen Cina. Ketiga produsen Cina itu ialah Huawei, Xiaomi, dan OPPO, yang sukses mengapalkan smartphone sebanyak 91,2 juta unit.
Pengapalan smartphone pada kuartal I-2018 dimenangkan oleh Samsung. Perusahaan asal Korea Selatan tersebut, mengapalkan 78,2 juta unit smartphone atau 23,4 persen pangsa pasar. Capaian Samsung ini lebih kecil dibandingkan kuartal yang sama tahun sebelumnya. Saat itu, produsen yang terkenal dengan seri Galaxy tersebut mengapalkan 80,1 juta unit smartphone, memperoleh pangsa pasar sebesar 23,3 persen, atau ada penurunan pangsa pasar 2,4 persen secara year on year (yoy).
Apple ada di urutan nomor kedua. Perusahaan yang dipimpin Tim Cook tersebut mengapalkan 52,2 juta unit smartphone. Capaian ini ada kenaikan 2,8 persen (yoy), Apple mengapalkan 50,8 juta unit smartphone pada kuartal I-2017.
Huawei, perusahaan teknologi yang didirikan pada 1987 oleh Ren Zhengfei, duduk di posisi ketiga sebagai produsen yang paling banyak mengapalkan smartphone di dunia, dengan pangsa pasar 11,8 persen. Huawei mengapalkan 39,3 juta unit. Capaian tersebut meningkat 13,8 persen dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Saat itu, perusahaan yang bermarkas pusat di Shenzhen tersebut mengapalkan 34,5 juta unit smartphone.
Xiaomi yang Meroket
Capaian gemilang para perusahaan smartphone kuartal I-2018 tak segemilang Xiaomi. Xiaomi, perusahaan yang didirikan Lei Jun, mengapalkan 28 juta unit smartphone atau berada di peringkat keempat. Secara jumlah pengapalan memang lebih kecil, tapi angka tersebut meningkat dibandingkan pengapalan sejumlah 14,8 juta unit, ada peningkatan sebesar 87,8 persen, tertinggi dibandingkan produsen manapun.
Salah satu alasan di balik melejitnya Xiaomi adalah strategi harga produk. Dibandingkan produsen lain, Xiaomi menjual produknya, dikomparasikan dengan produk sejenis dari kompetitor, lebih murah.
Redmi 5A, smartphone yang diluncurkan di akhir tahun 2017 lalu, misalnya. Smartphone yang satu kelas dengan Smasung J1 Ace dan Lenovo Vibe C dijual hanya seharga Rp999 ribu.
“Untuk (uang) sejumlah Rp1 juta (kita akan mendapatkan) Samsung J1 Ace dengan harga Rp1,299 juta dan Lenovo Vibe C dengan harga Rp1,330 juta. Lihat spesifikasi (dua smartphone tersebut) tidak berada di level yang sama (dengan Redmi 5A). Kedua prosesor smartphone tersebut berada satu dan dua generasi di belakang prosesor yang digunakan Redmi 5A,” kata Donovan Sung, Director of Product Management & Marketing Xiaomi, dalam presentasi peluncuran Redmi 5A.
Jejak strategi murah Xiaomi, tak dimulai melalui Redmi 5A. Semenjak perusahaan tersebut berdiri, Xiaomi lebih suka membanderol produknya lebih murah dibandingkan kompetitor. Model Mi 1 misalnya, produk yang meluncur di tahun 2011 dijual seharga ¥1999 pada saat peluncuran setara dengan Rp4 jutaan.
Mi 1, smartphone dengan spesifikasi Snapdragon S3, memori 1GB, baterai 1.930 mAh, dan 2 kamera (depan 2MP dan belakang 8 MP), lebih murah dibandingkan HTC Sensation 4G, smartphone dengan spesifikasi yang hampir serupa dan dirilis di waktu yang tak berbeda jauh. HTC Sensation 4G dijual seharga $649,99 atau sekitar Rp8,6 juta.
Terlemparnya Vivo
Dari lima besar produsen yang paling banyak mengapalkan smartphone pada kuartal I-2018 tidak ada nama Vivo. Padahal, dalam kuartal yang sama tahun sebelumnya produsen tersebut duduk di posisi kelima, dengan mengapalkan 18,1 juta unit smartphone, atau menguasai 5,2 persen pangsa pasar. Kini, posisi kelima justru dikuasai oleh OPPO dengan capaian pengapalan 23,9 juta unit atau setara menguasai 7,1 persen pangsa pasar.
Artinya Vivo sudah terlempar dari posisi lima besar. Padahal, strategi yang dilakukan Vivo tidak main-main. Mereka merupakan sponsor resmi ajang Piala Dunia 2018 di Rusia.
Edy Kusuma, Manajer Brand Vivo Indonesia, dalam sebuah kesempatan kepada Tirto, mengatakan strategi sponsor di Piala Dunia merupakan siasat untuk “menunjukkan kepada konsumen Vivo di seluruh dunia tentang brand tersebut, yang penuh dengan kreativitas, menegangkan, dan memiliki citra internasional.”
“Ini bagian strategi pemasaran yang sudah kami bikin, kami rencanakan. Kami, kan, brand baru,” kata Edy.
“Kami punya mimpi tidak hanya merajai pasar Asia Tenggara saja, tapi juga di benua lain. Untuk World Cup, semua orang suka football, ini investasi jangka panjang,” katanya.
Vivo tak mengungkap berapa nilai investasi yang dikeluarkan untuk menjadi sponsor Piala Dunia. Namun, Forbes menyebut Vivo telah menggelontorkan dana sekitar 60 juta Euro atau setara Rp968 miliar untuk menempatkan namanya sebagai sponsor utama.
Meskipun nilainya fantastis, ini sebanding dengan kekuatan Piala Dunia sebagai magnet masyarakat dunia. Menurut klaim FIFA, sebagaimana dikutip dari laman resmi mereka, Piala Dunia 2014 lalu yang diadakan di Brazil, sukses menyedot perhatian 3,2 miliar orang di seluruh dunia.
Vivo maupun FIFA hingga kini belum membeberkan nilai kontrak kerja sama ini. Namun, Investasi promosi yang terbilang fantastis ini semata demi menancapkan nama Vivo masyarakat penjuru dunia.
Dengan asumsi Piala Dunia Rusia sukses menarik jumlah orang yang sama dengan Piala Dunia Brazil, membaginya dengan nilai yang dikeluarkan untuk menjadi sponsor, Vivo hanya membayar Rp302,5 per penonton Piala Dunia. Setara dengan biaya cetak satu brosur yang lalu dibagikan pada satu orang.
Namun bila membandingkan tersingkirnya Vivo di 5 besar dengan kesuksesan Xiaomi melejit di kuartal I-2018, strategi harga bisa jadi pembanding. Mengutip situsweb belanja online JD.id dan Blibli.com, Xiaomi memiliki produk di bawah Rp1 juta, Vivo tak melakukannya. Harga termurah produk Vivo berada di angka Rp1,8 jutaan. Sementara itu, rata-rata produk Vivo dibanderol antara Rp2,5 hingga Rp3,5 jutaan.
Terlemparnya Vivo dari posisi lima besar, memunculkan tanda tanya apakah strategi promosi di Piala Dunia tak sukses mendongkrak pemasaran Vivo. Sejauh ini hajatan Piala Dunia memang belum dimulai, dan masih ada waktu bagi Vivo unjuk gigi membangun citra merek.
Namun, yang pasti kini Xiaomi sudah berhasil merangsek dengan strategi harga miring, dan tentu ini patut diwaspadai oleh Vivo yang kini membangun citra di Piala Dunia yang menurut mereka lebih sekadar sebagai "investasi jangka panjang".
Penulis: Ahmad Zaenudin
Editor: Suhendra