Menuju konten utama

Wong Jing, Sutradara Hong Kong yang Mengubah Vulgar jadi Seni

Sepanjang era 80an, Wong adalah salah satu penulis dan sutradara Hong Kong yang paling produktif.

Wong Jing, Sutradara Hong Kong yang Mengubah Vulgar jadi Seni
Sutradara Hong Kong Wong Jing berbicara di gala untuk filmnya "Treasure Inn" di Beijing, China, Minggu, 26 Juni 2011. (AP Photo/Ng Han Guan)

tirto.id - "Hari terpenting bagi saya bukanlah hari pertama syuting, melainkan hari pembukaan. Jika penonton menyukai filmnya, maka saya telah melakukan tugas saya. Bagi saya sutradara itu seperti koki. Saya membuat masakan yang ingin disantap oleh penonton. Sebagian besar sutradara menyukai film mereka, tetapi saya tidak pernah jatuh cinta dengan film saya. Saat mereka mengedit, sepertinya mereka bercinta dengan film tersebut. Mereka benci untuk cepat menyelesaikannya. Tapi tidak dengan saya, saya selalu mengedit film saya dengan sangat cepat. Saya mencoba memberikan apa yang diinginkan penonton. Begitulah cara saya melakukannya selama 20 tahun terakhir."

Itulah ungkapan Wong Jing, salah satu pembuat film Hong Kong yang paling produktif dan kontroversial.

Mungkin bagi penonton film di Indonesia, wajah Wong Jing tidaklah asing. Ia memang sering muncul di film-film mandarin era 80an dan 90an sebagai aktor pembantu atau cameo di film-film yang ia sutradarai. Aktingnya yang paling diingat barangkali adalah karakter Ferrari di film The Tricky Master bersama Stephen Chow.

Namun siapa dan bagaimana kiprah Wong Jing dalam dunia perfilman Hong Kong belum banyak diketahui oleh penikmat film di Indonesia. Padahal ia adalah sutradara film God Of Gamblers yang fenomenal di era 90an.

Wong Jing (yang dikenal juga sebagai Wong Ching atau Wang Jing) lahir pada tahun 1956 di Hong Kong dan memulai kariernya di industri hiburan lebih awal karena ayahnya Wong Tin Lam adalah seorang sutradara drama TV. Seperti bunyi pepatah, “Buah jatuh tidak akan jauh dari pohonnya”, Wong Jing dalam mengarungi perjalanan hidupnya juga mengikuti jejak sang ayah.

Namun sebelum masuk ke dalam industri hiburan, Wong kuliah di Chinese University of Hong Kong, jurusan Sastra China. Wong tidak suka kuliah dan sering membolos; beberapa dosennya bilang bahwa mereka tidak pernah melihatnya sama sekali selama masa kuliah. Jeff Yang dalam buku Once Upon a Time in China: A Guide to Hong Kong, Taiwanese, and Mainland Chinese Cinema (2003), menulis bahwa Wong menyebut gelar tidak penting baginya.

Wong percaya bahwa dia belajar lebih banyak tentang membuat film dan menghasilkan uang dengan bolos kelas dan berkeliaran di studio-studio film Hong Kong. Dengan begitu, ia dapat pekerjaan cabutan, mulai dari penulis skrip hingga asisten sutradara.

Pada 1978, berbekal pengetahuan soal film dan etos kerja tinggi, dia resmi terjun ke dunia film dengan menulis naskah Cunning Tendency. Tiga tahun kemudian, Wong menyutradarai film pertamanya, Challenge of the Gamesters.

Sejak itu, Wong nyaris tak terbendung. Dia dianggap punya kemampuan unik: meyakinkan investor untuk mau mengucurkan dana. Tak mengherankan kalau sepanjang 1980 hingga 1990-an, dia menjadi salah satu penulis dan sutradara Hong Kong paling produktif. Jeff Yang menyebut hingga 2003, Wong menulis, menyutradarai, dan memproduseri lebih dari 175 film.

Memang, dibandingkan sekondannya seperti Tsui Hark atau John Woo, film-film Wong tak terlalu diapresiasi oleh para kritikus dan sinefil. Namun, Wong punya keunggulan: dia seolah bisa menjamin filmnya akan masuk deretan box office dalam waktu singkat. Di tengah iklim sinema Hong Kong kala itu yang serba gegas, ini yang dibutuhkan.

Rumus Wong dalam membuat film sederhana: berikan apa yang diinginkan penonton, yang sebagian besar senang dengan film yang berisikan seks berdosis tinggi, aksi kekerasan, dan humor toilet atau yang biasa disebut juga humor skatologi.

Wong juga membentuk perusahaan produksinya sendiri, Wong Jing's Workshop Ltd., dan kemudian menjadi partner di perusahaan BoB (Best of the Best) yang banyak mendulang sukses, bersama dengan sutradara/penulis naskah Andrew Lau dan Manfred Wong.

Wong dengan terang-terangan mengakui, sebagian besar karyanya adalah hasil plagiat/ rip-off dari film lain. Beberapa contoh yang paling terkenal seperti Return to a Better Tomorrow (1994) dan The Last Blood: 12 Hours to Die (1990), yang berganti judul menjadi Hard- Boiled 2 di beberapa negara, termasuk Indonesia.

Contoh lainnya, High Risk yang diproduksi pada tahun 1995 seperti meniru Die Hard-nya Bruce Willis. Sebagian besar settingnya pun terjadi di gedung perkantoran di mana sang pahlawan (versi Hongkong dibintangi oleh Jet Li) harus mengambil peran untuk melawan sekelompok perampok yang menyamar sebagai teroris yang mengepung seluruh isi gedung.

Meskipun metode plagiat ini dianggap sebagai film dengan berkualitas rendah, Wong telah mengubah beberapa "rip-off" ini menjadi film-film yang sangat sukses (baik secara finansial maupun artistik) dengan caranya sendiri.

High Risk (berganti nama menjadi Meltdown untuk rilis video AS) berhasil memasuki jajaran film box office dan tetap menjadi favorit di kalangan penggemar film cult di seluruh dunia. Di zaman itu, metode seperti ini sudah menjadi hal biasa di kalangan pembuat film Asia.

Di Indonesia, nama-nama sutradara seperti Sisworo Gautama Putra, Tjut Djalil, Imam Tantowi atau Arizal kerap melakukan hal serupa dan hasilnya sama, rata-rata film mereka menempati jajaran film-fim box office di Indonesia pada rentang dekade 70an akhir sampai awal 90an.

Setelah mengerjakan King of Gamblers (1980) dan Return of King of Gamblers (1981) bersama ayahnya, Wong melihat bahwa banyak penonton suka dengan tema film-film perjudian. Akhirnya tema-tema judi yang dikombinasikan dengan komedi dan aksi, menjadi salah satu tema favorit Wong.

Infografik Wong Jing dalam sinema Hong Kong

Infografik Wong Jing dalam sinema Hong Kong. tirto.id/Ecun

Pada tahun 1989 ia menyutradarai film Casino Raiders. Kemudian di tahun yang sama ia membuat film God Of Gamblers dengan bintang utama Chow Yun Fat dan Andy Lau yang ia kokohkan sebagai "film perjudian modern" dan menjadi nomor satu di box office Hong Kong, mengalahkan film gangster John Woo, The Killer.

Kesuksesan film God of Gamblers ini merembet ke mana-mana. Gaya rambut klimis ala Chow Yun Fat dan kebiasaan makan cokelat, sempat jadi tren. Di salon-salon, muncul gaya rambut Mandarin, yang merujuk ke gaya rambut Andy Lau. Begitu besarnya kesuksesan yang diraih oleh film God of Gamblers, industri film Hong Kong terus memproduksi sekuel dan spin-off yang berlanjut hingga saat ini.

Conman in Vegas (1999) adalah film pertama yang merekam langsung adegan perjudian di dalam kasino Caesar's Palace yang terkenal di Las Vegas, dan Wong terus menggunakan formula tersebut hingga dekade 2000an awal, dengan film-film seperti The Conman (2002).

Wong juga membuat versi parodi dari God Of Gamblers dengan judul All for the Winner (beredar juga di pasaran internasional dengan judul Saint of Gamblers) pada tahun 1990. Wong kemudian mencoba mengadaptasi series God Of Gamblers dengan pendekatan yang lebih banyak komedi. Dia lantas memacak Stephen Chow, aktor komedian Hong Kong yang membintangi juga God of Gamblers II bersama Andy Lau. Lagi-lagi, ini sukses besar.

David Bordwell dalam bukunya Planet Hong Kong pernah berkomentar: "Wong Jing menemukan formulanya yang paling sukses. Wong Jing telah menggasak gaya Wong Jing sendiri."

Setelah sukses dengan tema perjudian, Wong kembali memperbarui genre film populer. Kali ini ia membuat rip-off film kriminal ala Hollywood, diubah menjadi ala Hongkong, yaitu kisah hidup para anggota Triad. Hasilnya adalah Young and Dangerous (1996), yang diproduksi oleh Jing's Production dan disutradari oleh anak didiknya, Andrew Lau.

Film ini menuai kontroversi karena dianggap mengglorifikasi kekerasan ala Triad. Namun, di sisi lain, film ini sukses besar, melahirkan belasan film sekuel dan spin off lain.

Baca juga artikel terkait WONG JING atau tulisan lainnya dari Wiwid Coreng

tirto.id - Film
Kontributor: Wiwid Coreng
Penulis: Wiwid Coreng
Editor: Nuran Wibisono