Menuju konten utama

Kontroversi Wong Jing, Sang Penyelamat Industri Film Hong Kong

Film Wong membantu menjaga industri film Hong Kong tetap hidup dalam menghadapi banjir film dari Amerika.

Kontroversi Wong Jing, Sang Penyelamat Industri Film Hong Kong
Sutradara Hong Kong Wong Jing. AP/Ng Han Guan

tirto.id - Baca bagian I: Wong Jing, Sutradara Hong Kong yang Mengubah Vulgar jadi Seni

Dalam kariernya, Wong juga pernah membuat film yang saat itu genrenya belum diketahui oleh industri film Hong Kong. Kelak, jenis film ini dikenal dengan nama eksploitasi.

Naked Killer yang diproduksi pada tahun 1992 dinobatkan sebagai film eksploitasi klasik yang menyandang predikat cult. Naked Killer memberikan penonton adegan kekerasan yang benar-benar jahanam yang kemudian menaikkan tensinya dengan asupan adegan seks berdosis tinggi.

Film ini sangat sukses (terutama di wilayah Amerika dan Eropa) dan masuk dalam Kategori III (setara Hong Kong dengan peringkat NC-17). Film dengan spesifikasi genre femme fatale ini sebagian besar diproduksi, disutradarai, dan ditulis oleh Wong sendiri. Meskipun mendapat apresiasi yang sangat mengesankan dari sebagian besar penonton, Wong harus menghadapi kritik dari sesama pembuat film dan kritikus film Hong Kong yang terkenal keras.

Kritik langsung datang dari sutradara Tsui Hark, yang dengan nada mengecam bilang bahwa film-film yang dibuat oleh Wong itu, "murahan, dibuat cepat, dan tak bagus."

Menanggapi komentar yang dilontarkan oleh para kritikus tentang validitas filmnya, Wong mengatakan di media cetak bahwa, "Saya tidak membuat film untuk menyenangkan para kritikus, saya ingin penonton bahagia dan film-film Hong Kong menghasilkan uang."

Meski dapat banyak kritik, toh Wong jalan terus. Dalam kurun 1990-1996, Wong jadi sutradara di 32 film, produser di 28 film, penulis naskah di 23 film. Dengan kiprahnya ini, Wong pernah dijuluki, “Steven Spielberg From Hong Kong”.

Meski secara estetik banyak dikritik, perlu dicatat bahwa film-film Wong membantu menjaga industri film Hong Kong tetap hidup dalam menghadapi banjir film dari Amerika, yang semakin populer di belahan dunia bagian Timur.

Terbukti pada tahun 1993, setelah film Jurrasic Park menempati posisi nomor satu di jajaran film box office Hong Kong yang menandai berakhirnya "The Golden Age Era" film-film Hong Kong, pembuat film seperti Wong inilah yang menjaga industri film Hong Kong masih hidup sampai sekarang, terutama setelah kepergian orang-orang terkenal seperti John Woo.

Pada pertengahan hingga akhir 1990-an, film Wong menyumbang sebanyak tiga puluh persen dari total pendapatan box office di Hong Kong. Setelah mengalami kemerosotan pada tahun 1995, Wong bertindak lebih jauh dengan mengajukan banding secara terbuka kepada bintang-bintang top untuk mengurangi gaji mereka (yang seringkali sama besarnya dengan harga film itu sendiri) sehingga film-film Hong Kong dapat bersaing lebih baik dengan film-film Holllywood.

Selain itu, banyak perusahaan film besar di Hong Kong mulai mengecilkan anggaran biaya promosi. Di sini, Wong juga dikenal sebagai yang lihai. Misalnya: untuk kembalinya Chow Yun Fat ke seri God of Gamblers dengan judul God of Gamblers Returns pada tahun 1994, trailernya dibuat hanya menampilkan satu bidikan Chow Yun Fat yang memang punya nilai jual untuk series ini. Membuat banyak orang berpikir bahwa Yun Fat akan jadi bintang utama film ini. Padahal sang dewa judi ini hanya muncul sebagai cameo di film tersebut.

Kelihaian berbisnis juga bisa ditengok ketika Wong membeli lisensi manga populer City Hunter, sekaligus hak lisensi video game Street Fighter. Wong menggabungkan keduanya, dan melahirkan salah satu adegan pertarungan paling ikonik dalam karier sang bintang utama, Jackie Chan.

Di Indonesia sendiri, film ini menarik perhatian anak-anak dan remaja saat itu karena komik City Hunter dan video game Street Fighter adalah pegangan wajib mereka dari yang berseragam putih merah sampai putih abu-abu. Siapa di antara mereka yang tidak mengenal dua ikon tersebut pasti akan tersisih dari pergaulan kawula muda rezim Orba yang penuh dengan hasrat gejolak seksual dan menyukai baku hantam. Dan film City Hunter mempunyai semua elemen itu meski dibalut dengan kemasan film komedi.

Segala Kontroversi Wong

Wong dikenal sebagai sutradara yang lempeng. Dia menerima kritik dari para kolega, sekaligus tak segan mengirim balik olokan dengan cara membuat film.

Last Hero in China (1993) adalah parodi serial Once Upon a Time in China karya Tsui Hark (penonton di Indonesia lebih mengenalnya dengan judul Kungfu Masters). Boys Are Easy (1993) mengolok-olok ikatan laki-laki macho yang memparodikan A Better Tomorrow karya John Woo. Film Whatever You Want (1994) dan They Were the Days (1998) menampilkan karakter bernama Wong Jing-Wai, sebagai guyonan terhadap pembuat film arthouse War Kar-Wai dari Hong Kong yang banyak menuai penghargaan di tingkat internasional.

Namun salah satu kontroversi terbesar dari Wong adalah ketika membuat High Risk, menampilkan karakter bintang film aksi yang seolah-olah hebat, tapi ternyata penakut. Ini adalah serangan balasan terhadap Jackie Chan, yang bertengkar hebat dengan Wong ketika membuat City Hunter. Penyebabnya: di film itu Jackie Chan harus berakting sebagai seorang wanita, tapi dia menolak dengan alasan menyelamatkan citra keluarga. Ini membuat Wong kecewa.

Infografik Wong Jing dalam sinema Hong Kong

Infografik Wong Jing dalam sinema Hong Kong. tirto.id/Ecun

Jackie Chan juga tersinggung dengan adegan yang membuatnya harus mempelajari gerakan dari Bruce Lee melalui pemutaran film Game of Death. Di film High Risk, Wong dianggap keterlaluan karena memasukkan karakter yang menyerupai ayah dan manajer Jackie Chan. Ada juga adegan lelucon vulgar soal ukuran penis Jackie.

Selain soal kebiasaannya mengolok para kolega, Wong juga dikenal punya kontroversi terkait pasangan. Ini membuatnya sering dijadikan headline media hiburan dan gosip Hong Kong yang dikenal buas dan tak peduli etika.

Ketika masih menikah, Wong punya affair dengan Chingmi Yau, bintang dari Naked Killer. Pasangan itu akhirnya bubar, karena banyak kehebohan di media hiburan Hong Kong. Yau kemudian menikah dengan seorang perancang busana dan kini telah pensiun, tapi rumor perselingkuhan lainnya terus bermunculan. Aktris Hong Kong lainnya yang dilaporkan memiliki hubungan dengan Wong adalah Loletta Lee dan Ellen Chan, yang kemudian mengecam Wong dengan dugaan kasus "casting sofa" selama wawancara. Mirip dengan kasus video “casting iklan sabun mandi” yang melibatkan artis-artis papan atas Indonesia yang pernah heboh pada dekade awal tahun 2000an.

Berita heboh lainnya lainnya tentang Wong adalah hubungannya dengan triad (gangster Hong Kong). Pada tahun 1992, sebagian besar gigi Wong tanggal (dan akhirnya harus menggunakan kursi roda untuk sementara waktu) karena dipukuli oleh beberapa orang anggota triad.

Rupanya, dia salah ngomong di depan umum tentang seorang aktris, yang kebetulan berkencan dengan salah satu "Big Brothers", kepala triad setempat. Di sisi lain, dikabarkan bahwa Wong telah bekerja dengan triad, yang memiliki saham besar di industri film Hong Kong. Banyak orang mengatakan satu-satunya alasan Jet Li dan Stephen Chow (dua bintang paling populer dan bayaran tertinggi di Hong Kong) mau bekerja dengan Wong adalah karena ada koneksi dengan triad.

Hal ini tampaknya berlanjut hingga sekarang, karena Wong sering bekerja dengan Wins Entertainment Group, sebuah perusahaan produksi yang didirikan oleh anak-anak Triad tingkat tinggi, Charles dan Jimmy Heung.

Di luar segala kontroversinya, Wong diapresiasi karena cara kerjanya yang tidak biasa. Ia mampu membuat hingga lima film sekaligus. Metode pembuatan filmnya pun, hingga kini, masih dianggap tidak ortodoks, bahkan untuk standar perfilman Hong Kong yang sering dianggap nyeleneh. Ia, misalnya, sering mengabaikan adegan aksi atau laga dan mempercayakannya kepada direktur unit kedua (action director).

Bahkan pernah dilaporkan bahwa ketika syuting adegan aksi, Wong lebih memilih mendengarkan siaran langsung pacuan kuda sambil bermain video game, salah satu hobinya selain menonton film, atau tidur siang.

Caranya ini juga dikritik, tapi sekaligus memberikan kebebasan besar bagi para sutradara aksi yang bekerja untuk Wong. Maka nama-nama seperti Yuen Woo-Ping atau Corey Yuen pelan-pelan melejit dan kelak jadi sutradara film aksi yang masyhur

Meskipun film-film Wong kerap dituding sebagai plagiat, vulgar, dan menyerempet pornografi oleh rekan-rekannya sesama pembuat film ataupun kritikus, ada salah satu kutipan paling jitu untuk menggambarkan karakter Wong sebagai sutradara -- dan mengapa film-filmnya memiliki daya tarik yang begitu luas.

"Vulgaritas adalah naluri dasar manusia. Manusia salah mengartikan vulgar. Saya mengubah vulgar menjadi seni agar Anda dapat menikmatinya."

Baca juga artikel terkait FILM atau tulisan lainnya dari Wiwid Coreng

tirto.id - Film
Kontributor: Wiwid Coreng
Penulis: Wiwid Coreng
Editor: Nuran Wibisono