tirto.id - Daftar tindak kriminal terhadap perempuan di Ibu Kota bertambah satu lagi baru-baru ini. Anna Yulia, seorang pengunjung Mal Pondok Indah, Jakarta Selatan, dilaporkan mengalami pembiusan oleh oknum tak dikenal ketika hendak masuk ke mobilnya di area parkir. Kabar ini menyebar di media sosial setelah suami korban, Yosef Kurniawan, memaparkan kronologi peristiwa buruk yang menimpa sang istri.
Berdasarkan cerita Yosef, pembiusan terhadap istrinya terjadi pada hari Minggu (2/4) lalu pukul 8 malam di area parkir Lower Ground Mal Pondok Indah 2 area B18. Anna sedang memasukkan barang ke dalam mobil dan hendak menutup pintu ketika tiba-tiba seorang laki-laki berpenutup wajah membekap mulutnya dengan kain hitam yang telah dibubuhi obat bius.
Secara refleks, Anna menekan tombol klakson yang kontan membuat pelaku melarikan diri dengan meninggalkan sandal dan kainnya. Perempuan itu sempat merasa pusing dan sesak napas setelahnya, tetapi tetap berupaya mencari pertolongan dengan berteriak sampai pihak keamanan datang.
Lantaran tidak ada barang yang diambil, Yosef dan istri belum mengetahui pasti motif pelaku melakukan tindak kejahatan tersebut. Saat ini, pihak Polsek Kebayoran Lama sedang berusaha memburu pelaku.
Sementara di belahan bumi lain, percobaan tindak kejahatan terhadap perempuan juga terjadi belum lama ini, tetapi dengan cara menghadapi yang berbeda. Diwartakan People pada 13 Maret silam, Kelly Herron (36), baru saja usai berolahraga saat ia hendak menggunakan toilet umum di Golden Gardens Park, Seattle. Tanpa diduga, ia diserang oleh laki-laki tak dikenal yang telah berjaga di dalam toilet tersebut.
Perkelahian antara dua orang tersebut pun tak terhindarkan. Berkali-kali Herron menerima pukulan di wajahnya, tetapi ia tetap berjuang menyelamatkan diri seraya berteriak, “Tidak hari ini, bedebah!” Beruntung ia sempat mengambil kelas pertahanan diri sehingga laki-laki yang menyerangnya itu berhasil dilumpuhkan dan kemudian diamankan polisi. Belakangan diketahui bahwa laki-laki tersebut pernah terdaftar di catatan kepolisian sebagai pelaku kejahatan seksual.
Berita seputar Herron sebagai perempuan penyintas tindak kejahatan ini pun viral di media massa setelah ia membagikan kisahnya di Instagram. Tak hanya itu, kelas-kelas pertahanan diri spesial perempuan pun merasakan implikasi positif darinya.
Diwartakan Reuters, kisah Herron berhasil menginspirasi para perempuan untuk mengambil kelas pertahanan diri yang sama dengannya. Pencarian di internet seputar hal ini pun sempat meningkat sepuluh kali lipat menurut Jordan Giarrantano, pemilik Fighting Chance Seattle, sekolah karate dan kickboxing tempat Herron bergabung. Kisah herois Herron juga memicu sejumlah perusahaan menyewa jasa Giarratano untuk memberi pelatihan pertahanan diri kepada para karyawan.
Tak hanya itu, 200 perempuan hadir dalam kelas promosi setelah insiden Herron terjadi. Sang penyintas sempat datang pada kelas promosi tersebut dan memberikan penguatan dengan berkata, “Berdiri dan katakan ‘tidak hari ini’.” yang mengundang simpati para perempuan.
Berawal dari Pelatihan Pertahanan Diri
Kasus-kasus di atas mengingatkan kembali bahwa perempuan belum bisa bebas dari ancaman tindak kejahatan setiap kali beraktivitas, terlebih saat tidak ada pendampingan siapa pun. Tak cuma di luar rumah, kekerasan terhadap perempuan pun dapat dialami di ranah domestik. Lebih lanjut, kejahatan semacam ini lebih sering ditemui di perkotaan dibanding pedesaan. Berdasarkan data Survei Pengalaman Hidup Perempuan Nasional (SPHPN) 2016 yang dirilis Badan Pusat Statistik 30 Maret 2017 terkait tindak kriminal seksual oleh pasangan dan nonpasangan, prevalensi di perkotaan tercatat 36,3%, sementara pedesaan sebesar 29,8% pedesaan.
Catatan ini sepatutnya menjadi motivasi perempuan untuk waspada, salah satunya dengan membekali diri dengan keahlian khusus yang sewaktu-waktu dapat dipergunakan untuk melawan kejahatan yang menimpa mereka.
Scott Bonn, Ph.D., Associate Professor of Sociology and Criminology di Drew University, New Jersey, menguraikan sejumlah alasan mengapa perempuan perlu mempelajari teknik-teknik pertahanan diri dalam situs Psychology Today. Berdasarkan data yang didapatkan dari National Institute of Justice, Bonn berargumen bahwa pertahanan diri baik verbal maupun fisik efektif mencegah perkosaan. Pelatihan pertahanan diri juga membangun persepsi orang yang mengikutinya bahwa peristiwa penyerangan seksual senantiasa merupakan kesalahan pelaku, bukan korban atau penyintas. Bonn mengimbuhkan, pelatihan pertahanan diri untuk perempuan juga mencoba menentang stigma-stigma bahwa perempuan selalu tak berdaya menghadapi kekerasan dan serangan laki-laki tak dapat dihentikan.
Penanaman persepsi yang memperkokoh mentalitas perempuan menjadi hal penting yang kadang luput dari para awam. Kebanyakan berpikir, pelatihan pertahanan diri hanya berdampak pada kemampuan fisik semata. Padahal, secara beriringan, hal ini mampu meningkatkan penilaian serta kepercayaan diri perempuan.
Sehubungan dengan hal ini, Merry Magdalena, salah satu pendiri M&M Women Self Defense Class, menyampaikan pendapatnya kepada Tirto, “Dengan memahami trik-trik menghadapi serangan, otomatis kita punya bekal rasa percaya diri bahwa kita bukan mahluk lemah. Secara psikologis akan terbentuk keberanian untuk menghadapi berbagai kemungkinan terburuk.”
Kelas yang dibentuknya bersama Muthia Esfandari—yang memiliki rekam jejak sebagai pelatih pencak silat—ini tidak hanya mengajarkan teknik-teknik mempertahankan diri secara fisik saja. Merry mengatakan, kelasnya dilengkapi dengan sesi curhat dan tanya jawab yang belum jamak ditemukan di kelas-kelas pertahanan diri untuk umum.
“Peserta yang sempat punya pengalaman buruk di masa lalu terkait pelecehan seksual atau perkosaan atau serangan lain bisa berbagi dan kami sebisa mungkin akan membantunya memulihkan diri sehingga ia punya keberanian untuk bepergian seorang diri saat terpaksa,” imbuhnya.
Meski sejumlah manfaat positif dari pelatihan pertahanan diri kerap disampaikan oleh orang-orang seperti Merry, terdapat beberapa anggapan miring mengenai hal ini yang lantas membuat perempuan enggan menjajalnya. Banyak di antara mereka yang merasa kelas pertahanan diri adalah bentuk latihan yang keras, melelahkan, dan memakan waktu. Nyatanya justru tidak demikian menurut Merry. “Kelas ini justru fun dan menenangkan. Banyak kisah seru yang dibagikan para peserta perempuan kepada sesamanya, apalagi terkait pelecehan seks yang dialami. Sesi latihannya pun nggak melelahkan. Lebih ke tekniknya, bukan fokus kekuatan fisik,” jabar perempuan yang sempat mengampanyekan #womenselfdefense di Twitter pada 2013 silam ini.
Ia juga menambahkan, pelatihan pertahanan diri yang dibentuknya ini tak menyita banyak waktu sebagaimana distigmakan, hanya butuh beberapa jam untuk mempelajarinya dengan catatan tekun dilatih setiap hari.
Penulis: Patresia Kirnandita
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti