Menuju konten utama

Warisan Sejarah Toleransi Sultan Agung di Kotagede

Sultan Agung menyesuaikan unsur-unsur budaya asli (Jawa) dengan kebudayaan Hindu, Buddha, juga Islam.

Warisan Sejarah Toleransi Sultan Agung di Kotagede
Masjid Besar Mataram di Kotagede, Yogyakarta. ANTARA FOTO/Hendra Nurdiyansyah

tirto.id - Pemotongan kayu nisan salib makam warga Nasrani di Purbayan, Kotagede, Senin (17/12/2018) lalu, menambah panjang daftar aksi intoleransi di Yogyakarta. Padahal, Kotagede menyimpan rekam jejak sejarah yang berharga, termasuk ihwal toleransi antar-umat beragama yang pernah ditunjukkan oleh Sultan Agung (1613-1645), raja terbesar Kesultanan Mataram Islam.

Di Kotagede inilah Raden Mas Jatmika, lalu dikenal pula dengan nama Raden Mas Rangsang yang nantinya bergelar Sultan Agung Hanyakrakusuma, dilahirkan pada 1593. Saat itu, Kotagede merupakan pusat pemerintahan Kesultanan Mataram Islam yang dipimpin oleh ayahanda Raden Mas Jatmika, Sri Susuhunan Adi Prabu Hanyakrawati (1601-1613).

Pada 1613, Prabu Hanyakrawati meninggal dunia saat berburu di Hutan Krapyak. Kakak Raden Mas Jatmika yang bernama Raden Mas Wuryah sempat dinobatkan sebagai raja selanjutnya namun tidak lama karena ia pendengarannya kurang baik.

Alhasil, yang berikutnya naik takhta adalah Raden Mas Jatmika dengan gelar Sultan Agung Hanyakrakusuma yang ditabalkan pada usia 20 tahun. Kesultanan Mataram Islam pun mencapai puncak kejayaan saat dipimpin Sultan Agung.

Sultan Agung yang seorang muslim amat menghargai toleransi antar-umat beragama. Ia menyadari arti pentingnya kesatuan di seluruh tanah Jawa. Dikutip dari buku Mengenal Sejarah Nasional: Trah Raja-raja Mataram di Tanah Jawa (2017) karya Joko Darmawan, Sultan Agung bahkan menyesuaikan unsur-unsur budaya asli dengan kebudayaan Hindu, Buddha, dan Islam.

Salah satu bukti toleransi yang kini menjadi warisan Sultan Agung adalah Masjid Besar Mataram di Kotagede. Masjid yang dibangun di selatan Pasar Kotagede ini memiliki sejumlah ornamen yang menyerupai candi. Saat pembangunannya, Sultan Agung melibatkan warga yang masih banyak memeluk agama Hindu atau Buddha.

infografik intoleransi jogja

infografik intoleransi jogja

M. Nasruddin Anshoriy Ch. dalam buku Matahari Pembaruan: Rekam Jejak K.H. Ahmad Dahlan (2010) mengungkapkan, Sultan Agung menerapkan kebijakan-kebijakan kultural untuk mengatasi perbedaan tradisi Jawa-Hindu dengan Islam.

Mengadopsi strategi dakwah Walisongo, Sultan Agung tidak segan-segan memasukkan nilai-nilai Islam ke dalam budaya istana dan masyarakat Jawa yang masih kental tradisi lama. Sebagai contoh adalah perayaan Sekaten untuk memperingati Maulid Nabi, juga penyesuaian penanggalan Saka dengan kalender Hijirah yang menghasilkan tahun Jawa.

Kotagede yang sudah menjunjung tinggi toleransi antar-umat beragama sejak zaman Sultan Agung terus berkembang pesat meskipun bukan lagi sebagai pusat kesultanan. Lahirnya Muhammadiyah sejak awal dekade kedua abad ke-20 tidak lantas membuat Kotagede menjadi intoleran. Muhammadiyah digagas oleh K.H. Ahmad Dahlan yang memang dikenal sebagai sosok Islam-moderat.

Kasus pemotongan kayu salib nisan makam warga Nasrani di Kotagede beberapa waktu lalu barangkali menjadi fenomena tersendiri. Yang jelas, para tokoh Muhammadiyah –Kotagede merupakan salah satu basis terbesar Muhammadiyah di Yogyakarta– tidak sepakat dengan tindakan intoleran semacam itu.

Baca juga artikel terkait SEJARAH INDONESIA atau tulisan lainnya dari Iswara N Raditya

tirto.id - Sosial budaya
Penulis: Iswara N Raditya
Editor: Iswara N Raditya