tirto.id - Sejumlah warga korban penggusuran dari kawasan Duri Kepa dan Papanggo memelas saat memberikan kesaksian mengenai nasibnya di Sidang ketujuh Uji Materi Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) Nomor 51 Tahun 1960 tentang Larangan Pemakaiaan Tanah Tanpa Izin di Mahkamah Konstitusi pada Senin (20/2/2017).
Mereka merupakan korban penggusuran pada (20/8/2015) silam atau di masa pemerintahan Gubenur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok).
Sidang lanjutan ini membahas gugatan Uji Materi Perpu Nomor 51/1960, yang diajukan oleh tiga warga DKI Jakarta, yakni Rojiyanto, Mansyur Daud dan Rando Tanadi pada (20/9/2016) lalu. Ketiganya merupakan warga korban penggusuran asal kawasan Papanggo (Tanjung Priok, Jakarta Utara) dan Duri Kepa (Kebon Jeruk, Jakarta Barat).
Misalnya, Hasnah, warga Duri Kepa, yang mengaku menempati kediaman yang tak nyaman setelah terpaksa pindah ke Rumah Susun Jatinegara Barat. Padahal, semula ia menempati tanah warisan keluarganya sejak 1950-an.
“Tanah saya digusur, saya sudah tinggal di sana sejak dari ibu saya masih ada, di tahun 50-an, terus saya digusur ke Rusun Jatinegara. Itu tanah orang tua kami. Kini saya harus tinggal di ruang sempit dan pengap. Kadang-kadang air juga susah,” kata Hasna sambil terisak di persidangan tersebut.
Saksi lainnya, warga kawasan Papanggo, Josep, di persidangan itu juga mengatakan penggusuran dan pemindahannya ke rumah susun menggerus pendapatannya. Ia keberatan ketika harus membayar iuran Rp350 ribu per-bulan. Sementara penghasilannya sehari-hari tak menentu.
“Saya pedagang batik. Pendapatan kadang ada kadang enggak. Selain saya, ada 135 warga lain juga menunggak (iuran rusun). Rusun saya disegel karena enggak bisa bayar. Untung dibantu Bazis (Badan Amil Zakat). Dulu, di Duri Kepa kehidupan saya enggak susah kayak gini,” ujar Josep.
Di sidang kali ini, kesaksian diberikan oleh empat warga asal Duri Kepa dan Papanggo, yakni Gandhi, Hasnah, Anshori dan Josep.
Usai penyampaian kesaksian itu, Kuasa Hukum Penggugat dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Alldo Felix Januardy meminta majelis hakim mengambil keputusan dengan mendengar keluhan para korban penggusuran di Jakarta itu.
“Paparan saksi-saksi sudah dihadirkan. Kami berharap jadi pertimbangan majelis hakim dan Pasal 2, Pasal 3 ayat (1) dan (2), Pasal 4 ayat (1) dan (2), Pasal 6 ayat (1) dan (2) di Perpu 51/1960 bisa digugurkan,” kata Felix.
Adapun Ketua Majelis Hakim di persidangan uji materi ini, Arief Hidayat hanya mendengar dan mencatat keterangan para saksi yang disampaikan tanpa tanggapan itu.
Di persidangan sebelumnya, Majelis Hakim MK telah menghadirkan saksi-saksi yang menguatkan warga penggugat maupun Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Sejumlah saksi ahli juga telah dihadirkan, seperti Tenaga Ahli Menteri Agraria dan Tata Ruang, Sadikin Arifin, Sejarawan JJ. Rizal, pakar Epistema Institute, Yance Arizona, Ahli planologi, Deden Rukmana dan Sosiolof, Rita Padawangi. Selain itu, ada Pakar Hukum Agraria, Kurniawarman.
Usai persidangan, Kuasa Hukum Penggugat asal LBH Jakarta lainnya, Hendri Yaneppi berharap Majelis Hakim MK mengabulkan gugatan uji materi ini karena Perpu Nomor 51 Tahun 1960 berkiblat pada hukum kolonial dan bertentangan dengan UU Pokok Agraria.
“Poinnya jelas, kami memohon pencabutan kewenangan penguasa daerah yang dapat memaksa penggunaan lahan untuk mengosongkan lahannya. Mungkin saja bisa hal itu terjadi, tapi kalau dalam keadaaan berbahaya saja,” kata Hendri.
Sebelum gugatan ini dilayangkan ke MK, kata Hendri, LBH Jakarta telah mencatat ada ratusan warga yang secara resmi merasa dirugikan oleh penggusuran di DKI Jakarta pada 20 Agustus 2015 silam, diantaranya 135 warga kampung Papanggo, 120 orang asal Duri Kepa dan 130 warga Kampung Pulo.
Penulis: Dimeitry Marilyn
Editor: Addi M Idhom