tirto.id - Wakil Presiden Ma'ruf Amin dalam pidatonya pada acara eksekutif meeting Centris Democracy Internasional (CDI) di Yogyakarta menyatakan bahwa Yogyakarta adalah kota yang toleran. Apakah benar demikian?
"Pemilihan kota ini sebagai tempat acara sangat lah tepat, karena Yogyakarta dikenal salah satu kota paling heterogen dan toleran di Indonesia," kata Ma'ruf dalam pidatonya, Jumat (24/1/2020).
Eksekutif meeting CDI di Yogyakarta dipercaya Ma'ruf mampu menjembatani pemahaman terhadap Islam secara lebih proporsional di dunia internasional. Hal ini sesuai dengan pilar CDI.
"Seperti perlindungan hak asasi manusia, dialog lintas agama, partisipasi wanita dan proses perdamaian," kata dia.
Nilai-nilai yang diusung CDI, menurut Ma'ruf, sejalan dengan nilai-nilai demokrasi yang dianut dan dilaksanakan di Indonesia.
Apa yang dikatakan Ma'ruf soal Yogyakarta sebagai kota yang paling heterogen dan toleran perlu dicek kembali. Sebab kasus intoleransi di Yogyakarta terus meningkat.
Hasil penelitian LSM yang fokus mengadvokasi demokrasi, kebebasan politik, dan hak asasi manusia Setara Institute menyimpulkan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) adalah 10 besar provinsi dengan jumlah kasus kebebasan beragama/berkeyakinan (KBB) tertinggi di Indonesia.
"DIY menempati posisi enam dengan jumlah kasus 37," kata Direktur Riset Setara Institute Halili saat dihubungi reporter Tirto, Senin (25/11/2019).
Sebenarnya DIY tidak pernah masuk kategori itu sebelumnya. Tapi semua berubah sejak lima tahun terakhir, tambah Halili.
Beberapa kasus KKB yang dicatat Setara adalah penolakan warga terhadap pendatang non-muslim di Pleret Bantul, pencabutan IMB Gereja Pantekosta di Indonesia (GPdI) Sedayu Bantul, dan pembubaran upacara doa keagamaan di Pajangan Bantul.
"Dari fakta-fakta itu menjelaskan bahwa kasus intoleransi di Yogyakarta itu memang nyata," ujarnya.
Selain di Bantul yang memang ramai terjadi KBB dalam dua sampai tiga tahun terakhir, kasus serupa pernah terjadi di Sleman dan Gunungkidul--berbentuk penolakan gereja.
Kasus-kasus intoleransi ini disebabkan oleh dua faktor, terang Halili, yakni negara dan masyarakat (non-negara).
Penulis: Irwan Syambudi
Editor: Maya Saputri